Ibnu Battuta mengembara dengan keledainya meninggalkan kota kelahirannya di Tangier, Maroko. Ia pergi seorang diri ke arah timur di sepanjang wilayah Afrika Utara, melewati lembah sungai dan daratan-daratan kering yang diapit serangkaian pegunungan.

Tujuanku untuk berziarah ke Kabah (di Makkah), dan untuk mengunjungi makam Nabi,” ungkapnya dalam Rihla. Ketika meninggalkan rumah, Ibnu Battuta berusia 21 tahun. Gairahnya berpetualang ke dunia luar begitu membara. Ia berharap bisa belajar lebih banyak. Menurut Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, Ibnu Battuta tak lebih sebagai musafir kesepian yang berhasrat bergabung dengan siapa saja yang dapat menerimanya sebagai teman.

Aku sudah dipengaruhi keinginan yang mendadak menguasai batin dan sebuah hasrat yang sudah lama berkembang dalam dada untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang semarak itu,” ujar Ibnu Battuta.

Setelah dua atau tiga pekan, Ibnu Battuta beroleh kawan seperjalanan. Bersama pedagang Ifriqiya (kini, Tunisia), ia tiba di pelabuhan Aljir. Ini adalah pemandangan Laut Tengah yang pertama kali baginya.

Selama beberapa kali perjalanan, Ibnu Battuta beruntung terhindar dari para penyamun. Ia sering mampir di beberapa tempat, salah satunya untuk menunggu musim haji. Hampir satu setengah tahun kemudian, ia dengan senang memasuki lembah sempit Makkah yang berwarna cokelat. Ia segera menuju Rumah Suci yang tak terlukiskan itu.

Setelah tujuan naik haji tercapai, Ibnu Battuta pergi ke Baghdad bersama peziarah asal Irak. Tujuan pengembaraannya bukan lagi religi, tapi petualangan. Dari sinilah, ia memulai penjelajahan dunia.

Dampak apapun yang menggetarkan ibadah hajinya yang pertama mungkin telah melandanya,” catat Dunn. “Ia bukan lagi anak muda yang berdiri putus asa di pusat Kota Tunis tanpa tujuan dan tanpa orang untuk diajak bicara.”

Dari Keluarga Cendekiawan

Seperti diungkapkan dalam memoarnya, Rihla, Ibnu Battuta mendadak sangat berhasrat pergi ke Tanah Suci. Dengan berat, ia meninggalkan rumah dan orang tua, seperti burung meninggalkan sangkar. Ia pergi pada 2 Rajab 725 Hijriah atau 14 Juni 1325.

Keputusan Ibnu Battuta melanjutkan pengembaraan usai naik haji membawanya ke pusat-pusat utama Islam pada waktu itu. Bahkan, ia sampai ke perbatasan dunia Islam di Asia (India dan Cina) dan Afrika (Mali).

Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn’ Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati Ibn Battuta lahir pada 25 Februari 1304. Ia besar dalam keluarga keturunan suku Berber yang terkenal dengan nama suku Lawata. Orangtuanya masih hidup ketika ia meninggalkan Maroko.

Ia dan beberapa keluarganya mendapat pengajaran ilmu hukum. “Selama tahun-tahun masa remajanya, ia memperoleh nilai-nilai dan kepekaan seorang lelaki yang berpendidikan,” tulis Dunn.

Pada abad ke-14, Tangier bukanlah pusat kegiatan pendidikan di Afrika Utara. Waktu Ibnu Battuta tumbuh, kota ini belum punya lembaga pengajaran, yang baru didirikan oleh penguasa baru, Dinasti Marinid.

Namun, Tangier tetap punya keluarga-keluarga cendekiawan, pejabat agama di masjid-masjid dan lembaga agama lainnya, pejabat administrasi, penasihat hukum dan hakim, serta guru dan guru besar bagi para putera keluarga kaya dari kalangan pedagang dan tuan tanah.

Pendidikan yang diterima Ibnu Battuta adalah suatu yang berharga bagi seorang anggota keluarga ahli hukum,” jelas Dunn. “Keluarganya berkedudukan terhormat sebagai anggota elite para cendikiawan kota”.

Diduga, meski berasal dari suku Berber, Ibnu Battuta menggunakan bahasa Arab di rumah dan pergaulannya. Di usia remaja, ia telah mampu bertata krama dalam kehidupan seorang sarjana dan menjadi lelaki beradab penopang budaya kota.

Separuh Hidup Berkelana

Ibnu Battuta bukan seorang turis yang datang untuk menikmati alam, budaya, atau apapun. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, ia adalah seorang ulama yang terpelajar. Dalam pengelanaannya, ia tak ubahnya seorang ulama yang berkelana sambil menyebarkan ilmunya.

Di berbagai tempat, ia tampil sebagai penasihat atau kepercayaan sang penguasa. Tak jarang pula, ia menjadi pejabat keagamaan atau utusan seorang penguasa ke penguasa lainnya. Di atas segalanya, ia adalah seorang ulama yang selalu ingin memperdalam ilmunya dari ulama lain,” kata Taufik Abdullah dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018.

Kisah perjalanan Ibnu Battuta merentang hampir tiga puluh tahun. Dalam waktu itu, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur, mengunjungi daerah-daerah yang luasnya sama dengan luas 44 negara pada zaman modern.

Menurut Taufik, hampir seluruh hidupnya berkelana di dalam batas yang disebut Dar al-Islam, negeri-negeri yang penduduknya mayoritas muslim atau paling tidak raja dan para pangeran yang memerintah mayoritas muslim lalu memberlakukan syariat Islam. Dimulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelancong barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok.

Ia adalah pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu,” kata Taufik.

Suatu hari, saat mampir di Damaskus dalam perjalanannya kembali ke Maroko, Ibnu Battuta mendapat kabar ayahnya telah meninggal dunia 15 tahun lalu. Lalu disusul ibunya yang ia dengar baru meninggal beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu ia sedang ibadah haji. Mampir untuk kesekian kalinya ke Makkah.

Bisa dimengerti kalau setelah beberapa hari sampai di Tangiers hatinya terdorong untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Andalus di Semenanjung Iberia,” kata Taufik.

Petualangan Ibnu Battuta diakhiri usai bersafari dengan rombongan unta, melintasi Gurun Sahara menuju Kerajaan Mali di wilayah Sudan, Afrika Barat. Pada 1355, ia akhirnya benar-benar pulang kampung untuk menetap.

Pengelana Terbesar

Selama mengembara, Ibnu Battuta tak pernah membuat jurnal. Sultan Abu ‘Inan, penguasa Marinid dan Maroko, meminta Ibnu Juzayy, sarjana sastra Andalusia yang masih muda, untuk mencatat pengalaman Ibnu Battuta. Ibnu Battuta menghabiskan dua tahun berikutnya untuk mendiktekan kisahnya kepada Juzayy.

Hasilnya adalah sejarah lisan yang disebut “Hadiah untuk Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keajaiban Perjalanan” atau yang lebih dikenal dengan Rihla (Perjalanan).

Dalam pengembangan ilmu geografi Arab-muslim, Luiz Eduardo Panisset Travassos, dosen geografi Pontifícia Universidade Católica de Minas Gerais, Brazil, menyejajarkan Ibnu Battuta dengan al-Muqaddasi (945-988), al-Idrisi (1099-1180), dan Ibn Khaldun (1331-1406), yang mendeskripsikan geografi regional secara terperinci.

Al-Muqaddasi adalah orang pertama yang mengadopsi praktik kerja lapangan, karena para pendahulunya melaporkan hanya berdasarkan data sekunder,” tulis Travassos dalam “Ibn Battuta, Travel Geography, Karst and the Sacred Underground,” terbit di Jurnal Mercator.

Menurut Travassos ada dua faktor yang membuat orang-orang muslim terlibat langsung dan tak langsung dalam kemajuan luar biasa ilmu geografi. Pertama, ada kebutuhan untuk membuat peta wilayah taklukkan agar dapat mengelolanya lebih baik. Ini terkait pula dengan tindakan militer mereka.

Kartografer muslim menghasilkan atlas perintis yang mencatat rute dan kerajaan, yang mengarah ke tradisi kartografi yang sangat populer dalam Islam,” jelasnya.

Kedua, ini justru faktor tertua yaitu prinsip perjalanan suci ke Makkah, sebagaimana yang mendorong pengembaraan Ibnu Battuta.

Musafir itu tidak punya latar belakang profesional atau pengalaman sebagai penulis geografi, sejarah, atau etnografi. “Ia adalah seorang muslim yang punya keinginan besar naik haji, tetapi dengan begitu saja memulai kariernya sebagai seorang penjelajah dunia,” tulis Dunn.

Dijuluki sebagai pengelana terbesar sepanjang sejarah, Ibnu Battuta sering dibandingkan dengan Marco Polo, penjelajah asal Italia. Namun, ia biasanya disebut sebagai Marco Polo dunia muslim atau Marco Polo wilayah tropis.

Sama halnya degan Marco Polo, orang kini hampir tak mengetahui kehidupan pribadi Ibnu Battuta. Bahkan, tak pasti di mana letak pusaranya setelah ia meninggal pada 1368 atau 1369. “Pemandu wisata di Tangier hanya akan menunjukkan sebuah kuburan sederhana yang diduga keras menyimpan sisa-sisa kematian sang musafir,” tulis Dunn.