PEMBERIAN mandat Pemerintah Kota Bekasi kepada anggota organisasi kemasyarakatan untuk memungut retribusi parkir di minimarket sungguh tak bisa diterima akal sehat. Tak efektif menambah kas daerah, praktik ini justru mempersubur premanisme dan meresahkan masyarakat.

Pemberian izin itu terungkap setelah unjuk rasa ormas di minimarket yang berada di pompa bensin di Jalan Raya Narogong, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, pada 23 Oktober lalu. Massa yang sempat memblokade jalan itu menuntut pengelolaan parkir di minimarket tersebut. Bukannya menolak tekanan massa, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi Aan Suhanda dalam video yang viral di media sosial malah meminta pengelola minimarket bekerja sama dengan ormas.

Belakangan, terungkap Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi sudah mengeluarkan surat tugas penarikan retribusi parkir di 150 minimarket untuk sejumlah ormas yang berlaku mulai pertengahan Agustus hingga akhir September lalu. Menerapkan sistem bagi hasil, pemerintah daerah mendapat 40 persen dari jumlah duit yang ditarik. Setelah menuai kecaman, Pemerintah Kota Bekasi menyatakan surat izin itu sudah dicabut karena jumlah duit yang masuk ke kas daerah tak signifikan.

Pemakaian jasa ormas untuk memungut uang parkir di minimarket tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pajak Daerah. Penarikan uang parkir dan pajak parkir seharusnya dilakukan untuk penyelenggaraan parkir resmi berbayar. Minimarket umumnya menyediakan tempat parkir gratis. Mereka tidak boleh dipaksa mengadakan parkir berbayar, apalagi menyetor pajak parkir.

Boleh jadi pengerahan ormas dalam urusan parkir merupakan balas jasa Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi terhadap pihak yang menyokongnya dalam pemilihan kepala daerah. Salah satu penerima “surat sakti” adalah Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi alias Gibas, yang tercatat beberapa kali terlibat bentrokan fisik dengan ormas lain. Dalam pemilihan Wali Kota Bekasi 2018, Gibas ikut mendukung Rahmat Effendi.

Wali Kota Bekasi seharusnya menyadari bahwa melibatkan ormas yang identik dengan premanisme dalam urusan parkir justru menjadi bumerang. Minimarket bakal dibanjiri juru parkir dengan karakter memaksa dan mengandalkan otot. Tak jarang pula terjadi perebutan lahan parkir di antara mereka. Kehadiran juru parkir yang dibekingi ormas hanya akan meresahkan masyarakat sekaligus membebani konsumen. Pemerintah Bekasi semestinya melindungi tempat usaha dari premanisme.

Kecerobohan pemerintah Bekasi juga terlihat dari ketiadaan mekanisme setoran duit yang diterima juru parkir. Mereka pun tidak dibekali dengan tiket parkir, yang bisa menjadi alat kontrol penerimaan. Alih-alih memberdayakan ormas seperti disampaikan Wali Kota, sistem itu malah memanjakan preman yang tak perlu berkeringat untuk mendapat duit.

Rahmat Effendi tak hanya harus membuang jauh-jauh kelanjutan kerja sama pemungutan retribusi parkir dengan ormas bergaya preman. Sepatutnya dia juga menghentikan politik patronase yang memberikan keistimewaan kepada individu atau organisasi. Pola yang juga terjadi di banyak daerah ini menimbulkan mudarat bagi masyarakat.

Pemerintah pusat pun harus turun tangan memerangi premanisme dalam urusan parkir dengan memaksimalkan peran polisi. Bukan cuma di Kota Bekasi, fenomena ini terjadi di hampir semua kota dan kabupaten. Negara tidak boleh menyerah, apalagi kalah, melawan premanisme demi menjamin kemudahan berbisnis dan menjaga ketenteraman masyarakat.

source: tempo