Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebut ada lebih dari 50 ribu warga DKI yang berstatus positif HIV. Namun tidak semua penderita HIV merupakan pengidap AIDS. “Sekitar 50 ribu lebih warga Jakarta positif HIV, AIDS-nya sendiri tidak banyak. Orang dengan status HIV positif kita harapkan bisa bekerja,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Widyastuti. Penularan tertinggi berasal dari hubungan seks.
Komisi E DPRD DKI Jakarta mempertanyakan penanganan yang dilakukan dinkes terkait hal tersebut.
“Dinkes sebut lebih dari 50 ribu warga Jakarta terinfeksi HIV/AIDS, kita mau tahu penanganan terpadunya dari dinas kesehatan seperti apa?” ujar anggota Komisi E Yudha Pratama dalam rapat di DPRD DKI Jakarta.
Widyastuti membenarkan bahwa DKI Jakarta merupakan epidemi terkonsentrasi dan sebagai populasi kunci. Ia menyebut populasi kunci merupakan kondisi di mana orang-orang memiliki perilaku seksual tidak aman.
“Betul, jadi DKI Jakarta termasuk epidemi terkonsentrasi, ada 6 persen populasi, angka HIV adalah 5 persen tidak lebih adalah populasi kunci. Populasi kunci adalah populasi dengan medis orang dengan perilaku seksual tidak aman, penggunaan narkoba suntik dan lain-lain, termasuk ini cukup memprihatinkan,” kata Widyastuti.
“Angka DKI yang dulu tertinggi adalah penularan dari jalur suntik yang tidak steril, sekarang sudah bergeser, sekarang angka tertinggi penularannya adalah melalui seksual yang tidak aman. Lebih memprihatinkan, terjadi progres yang sangat luar biasa, angka positif di golongan LSL yaitu kelompok laki-laki suka laki-laki,” tuturnya.
Untuk masalah penanganan, Widyastuti menyebut pihaknya memiliki program pemutusan rantai penularan pada ibu hamil. Nantinya ibu hamil dapat melakukan pengecekan HIV di puskesmas.
“Kami punya program pemutusan rantai penularan untuk ibu hamil, semua ibu hamil yang datang ke puskesmas DKI dicek. Sehingga kalau positif kita terapi, kita kawal, kita dampingi, sehingga bayi yang dilahirkan negatif,” tuturnya.
Penanganan juga dilakukan dengan cara memberikan layanan antiretroviral (ARV) di puskesmas. Menurutnya, DKI menjadi satu-satunya provinsi yang melayani ARV di puskesmas.
“DKI satu satunya provinsi yang pertama kali mendorong ARV bisa di puskesmas. Kalau dulu, provinsi lain hanya bisa di rumah sakit,” kata Widyastuti.
Apakah HIV sama dengan AIDS?
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang bisa merusak sistem kekebalan tubuh manusia hingga tidak bisa bekerja secara efektif lagi. Meskipun gejalanya sering tidak terlihat, tapi biasanya pengidapnya akan mengalami flu sekitar 2-4 minggu setelah penularan. Virus ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merusak sistem imun tubuh.
Sedangkan AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah suatu kondisi yang disebabkan virus HIV dan kerusakannya semakin berkembang, serius, dan kompleks. Orang dengan AIDS bisa dideteksi dengan pemeriksaan jumlah sel imunnya. Jika jumlahnya di angka 200, dipastikan ia mengidap kondisi ini.
Orang yang positif HIV masih bisa mengakses obat-obatan yang tersedia di layanan kesehatan supaya bisa tetap produktif. Rutin berobat memungkinkan mereka bisa beraktivitas dan bekerja seperti biasa.
Menurut para ahli medis, orang dengan HIV yang secara konsisten menjalani pengobatan tidak dapat menularkan virus kepada orang lain.
“Ketika seseorang secara konsisten menjalani pengobatan yang efektif melawan infeksi HIV mereka, jumlah virus HIV dalam darah dan cairan seksual mereka hampir selalu berkurang menjadi jumlah yang tidak terdeteksi,” jelas profesor dari Universitas Auckland, Mark Thomas.
Memiliki “jumlah yang tidak terdeteksi” berarti bahwa seseorang dengan virus HIV tidak dapat menularkannya melalui hubungan seks atau melalui proses melahirkan anak, menurut Thomas.