Indonesiar.com, Batam.  Pulau Amat Belanda di Belakangpadang atau biasa disebut Pulau Babi sempat sangat terkenal di awal tahun 90-an. Di sanalah surga prostitusi di batam sebelum adanya lokalisasi Teluk Pandan atau disebut Sintai dan Nagoya. Dahulu biasa dikunjungi warga Singapura dan pelaut. Kini setelah lebih dari 20 tahun tahun berlalu, detak kehidupan Pulau Amat Belanda hampir mati.

Pulau Amat Belanda merupakan perkampungan berpenduduk sekitar 60 kepala keluarga. Pulau itu masuk wilayah Kelurahan Sekanak Raya, tepatnya di RT 03 RW 04. Luas pulau yang dulu juga pernah menjadi kawasan ternak babi itu tak diketahui pasti. Pasalnya, rumah-rumah di sana berdiri di atas laut mengelilingi pulau itu. Yang benar-benar bisa disebut darat, mungkin hanyalah segundukan bukit tempat berdirinya surau Nurul Iman.

Rata-rata perumahan di sana adalah rumah panggung yang ditopang kayu-kayu kokoh, seperti perumahan nelayan pada umumnya. Mini bar dan kamar-kamar tempat pekerja seks komersial dan tamu-tamunya berasyik masyuk terbuat dari papan, juga berdiri di atas ketinggian air laut. Jika gelombang sedang menderu, alunan musik dari bar-bar yang ada di Pulau Amat Belanda bisa bersahutan dengan suara air laut.

Dari Batam, Pulau Amat Belanda bisa dikunjungi lewat Belakangpadang. Dari pelabuhan Belakangpadang naik becak atau ojek ke Kebun Tempang. Di ujung perkampungan Kebun Tempang, sudah menunggu sejumlah penarik sampan bermesin tempel yang siap mengantar ke kawasan lokalisasi Amat Belanda.

Kebetulan, Sabtu (10/5) siang itu, pancung yang mengantar saya tidak bersandar di pelabuhan. Tapi, langsung menuju bagian belakang Karisma Bar. Rupanya, di bagian belakang setiap bar sudah tersedia pelantar kecil tempat perahu-perahu bisa menaikkan dan menurunkan penumpang.

Begitu naik ke atas pelantar, langkah langsung dihadang lorong selebar kira-kira satu setengah meter. Lorong itu membelah Karisma Bar seperti dua bagian terpisah, yang di kanan kirinya penuh kamar-kamar. Dulunya, kamar-kamar itu merupakan tempat para pelaut atau warga Singapura menginap menghabiskan akhir pekan. Namun, Sabtu lalu, bar itu begitu sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat. Di ruang utama bar, ada petak berukuran kira-kira dua kali dua meter yang lantainya disemen. Di dinding tertulis nama Karisma Bar. Di lantai bersemen itulah tamu-tamu bar berjoget mengikuti irama musik.

Keluar dari Karisma Bar, jalan-jalan perkampungan terlihat. Layaknya perkampungan nelayan, jalan utama di Amat Belanda adalah pelantar-pelantar atau jembatan kayu dengan lebar kira-kira satu setengah meter. Tak ada jalan bersemen, apalagi beraspal. Semua jalan di sana dipacak dari kayu-kayu yang mulai lapuk dimakan zaman.

Suasana kumuh menyeruak. Sampah-sampah plastik bertebaran di bawah rumah-rumah panggung. Sampah-sampah itu dipermainkan air laut. Jika air laut bergerak ke darat, sampah-sampah itu menumpuk di pinggir dan di bawah rumah-rumah itu. Bau tak sedap pun muncul.

Di tengah perkampungan, suasananya juga sepi. Kesunyian yang dirasakan saya di Karisma Bar, ternyata juga hampir melanda seluruh perkampungan. Sejumlah pekerja seks komersial (PSK) alias WTS memilih beristirahat dengan duduk-duduk di depan rumah dan bar, atau tetap menunggu tamu sambil menghisap rokok dalam-dalam.

Yang membedakan Pulau Amat Belanda dan kampung nelayan lainnya, mungkin karena adanya perempuan-perempuan bercelana pendek yang lalu lalang atau duduk-duduk di depan rumah. Cara berpakaian mereka tak benar-benar vulgar. Tak ada dandanan menor. Cuma, rata-rata mengenakan pakaian ketat atau tank top dengan membiarkan bagian lengan mereka terbuka.

Mengelilingi seluruh Pulau Amat Belanda, hanya butuh waktu kira-kira sepuluh menit. Ada kira-kira 60 bangunan rumah dari blok A sampai Z, yang luasnya beragam. Ada rumah besar berukuran sekitar 8 x 25 meter. Bentuk bangunannya seperti pemukiman nelayan pada umumnya. Yang membedakan adalah letak kamar-kamarnya yang berjejer panjang saling berhadap-hadapan. Satu rumah, ada yang memiliki kamar sekitar 20 kamar.

Tak semua rumah di sana merupakan mini bar atau tempat penginapan untuk para PSK. Ada juga rumah warga biasa, yang biasanya ditandai dengan adanya tulisan ‘’rumah tangga” di depan pintu depan rumahnya. Jumlah bar yang masih aktif di Pulau Amat Belanda, hanya enam bar. Yang paling besar, KTV and lounge Sky Dog yang lokasinya tepat di pintu masuk Pulau Amat Belanda.

Warga Amat Belanda terbuka pada pengunjung yang datang. Panggilan manja dari pramuria-pramuria langsung memanggil, begitu melihat ada orang asing masuk ke sana. Begitu juga saat saya bertandang, seorang gadis berumur kira-kira 28 tahun menawari duduk di depan rumah.

Yang laki-laki juga menyapa ramah. Senyum hangat bersahabat hampir saya temui di sejumlah rumah, saat mengelilingi pulau itu. Tapi, rata-rata mengeluhkan sepinya pengunjung yang datang ke sana.

Menurut Calak (52), Ketua RT 03 RW 04 Sekanak Raya atau biasa disebut Ketua Kampung Pulau Amat Belanda, lokalisasi Pulau Amat Belanda memang sedang mati suri. Kesunyian tak hanya dirasakan di siang hari, tapi juga di malam hari. Di malam-malam biasa, kadang tak ada satupun tamu yang datang ke Amat Belanda.

Suasana itu, tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan Pulau Amat Belanda di tahun 90-an. Saat itu, katanya, Pulau Amat Belanda merupakan tempat favorit bagi pelaut-pelaut yang bersandar di Pulau Sambu maupun bagi warga Singapura. ”Pokoknya dulu ramai. Tak hanya tamu-tamu yang berdatangan, pramuria-pramuria juga banyak berdatangan mencari rezeki di sini,” kata Calak.

Lokalisasi Pulau Amat Belanda sendiri, katanya, dulunya adalah pindahan dari lokalisasi di Pulau Lengkana, berjarak kira-kira 300 meter di seberang Pulau Amat Belanda. Pada tahun 1990, mereka pindah ke Amat Belanda yang awalnya adalah bekas peternakan babi. Jadi, hingga saat ini lokalisasai tersebut sudah bertahan kurang lebih 18 tahun. ”Yang ikut pindahan dari Pulau Lengkana dulu, sampai saat ini masih banyak bertahan di sini,” tukasnya.

Soal nama Amat Belanda, Calak mengaku tak tahu pasti. Ia hanya pernah mendengar cerita kalau dulu pulau itu ditempati seseorang bernama Ahmad atau biasa dipanggil Amat. Karena perawakan Ahmad baik wajah dan tubuh seperti perawakan orang Belanda, berkulit putih, berbadan tinggi dan berhidung mancung, maka ia dipanggil Amat Belanda.

Penduduk di sekitar situ menyebut pulau tersebut pulaunya Amat Belanda. ”Saya sendiri belum pernah bertemu sama orangnya,” kata pria kelahiran bekasi yang merantau ke Belakangpadang tahun 1978, itu.

Lokalisasai Pulau Amat Belanda pernah mengalami masa kejayaan di tahun 1997 hingga akhir 1998, saat krisis ekonomi menimpa Indonesia. Anjloknya nilai tukar rupiah, membuat penghuninya kecipratan dolar. Apalagi, tamu-tamu yang datang rata-rata para pelaut dan warga Singapura yang barang tentu masuk ke Pulau Amat Belanda bawa dolar.

Kondisi di tahun 1997, kata Calak, sungguh sangat meriah. Pulau Amat Belanda seperti sebuah kota yang menawarkan kehidupan glamour di tengah-tengah gugusan pulau kosong di sekitarnya. Penghuni PSK di Amat Belanda pernah mencapai 400-an orang. Mereka datang dari berbagai tempat, seperti Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Sumatera. ”Saat itu, kami benar-benar merasakan cipratan dolar. Tiap malam ramai terus,” tuturnya.

Lokalisasi di Pulau Amat Belanda berbeda dengan lokalisasi di Teluk Pandan. Di Amat Belanda, kata Calak, menggunakan sistem kekeluargaan. Para pramuria yang tinggal di bar-bar maupun di rumah-rumah tak dikenai bayaran seperti sewa untuk penggunaan kamar short time maupun long time. Tapi, disewakan seperti kos-kosan alias bulanan.
”Jadi, berapa pun yang didapat oleh pramuria itu setiap malamnya, kami tidak hitung. Yang penting mereka bayar sewa kamar setiap bulan,” katanya.

Menurut seorang pemilik bar, ia hanya mengenakan bayaran Rp200 ribu per bulan kepada sejumlah pramurianya. Uang sebesar itu, katanya, ia gunakan untuk membayar listrik dan air. ”Saya hanya dapat dari minuman saat tamu datang.

Anak-anak tak saya tekan. Biar mereka dapat sejuta pun, saya hanya minta Rp200 ribu per bulan,” tuturnya.