Saat ini, salah satu teman dari youtuber tersebut sudah tertangkap. Namun, sang youtuber itu bersama temannya yang lain masih dalam pencarian. Meski sedang diburu polisi, youtuber tersebut baru-baru ini malah mengunggah “story” di Instagram yang berisi permintaan maaf dirinya dan mengaku akan menyerahkan diri jika pengikutnya di Instagram mencapai 30 ribu. Lantas, apa tanggapan psikolog mengenai hal ini?
Permintaan Maaf yang Tidak Tulus Mempengaruhi Kondisi Psikologis
Melansir dari Kompas, Linda Setiawati, psikolog klinis dari Personal Growth permintaan maaf yang disertai embel-embel bisa saja berarti individu tersebut belum benar-benar sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan dan meminta maaf dengan tulus. Dari kasus youtuber tersebut, terlihat bahwa 30 ribu pengikut sangat berarti dan dapat memberikan keuntungan kepadanya, sehingga ia mau menyerahkan diri ke polisi. Hal ini menunjukkan bahwa ia masih fokus terhadap kepentingan dirinya semata dan tidak punya empati dengan kondisi orang lain.
Melansir dari Psychology Today, Matthew Hornsby dan rekan-rekannya dari University of Queensland mengatakan, permintaan maaf tulus umumnya ditandai dengan seberapa baik gerak-gerik yang diperlihatkan oleh individu dan kata-kata yang diutarakan tampak selaras. Menurut Hosby dan rekan-rekan penulisnya, manusia memiliki daftar isyarat yang luas untuk menandakan penyesalan yang ada di luar kata-kata.
Permintaan maaf yang tidak tulus mungkin terlihat membosankan, janggal atau tidak peduli. Sedangkan ketika seseorang minta maaf secara tulus, kata-kata yang diutarakan biasanya membuahkan sinyal nonverbal yang menyentuh ke dalam hati. Selain itu, seseorang yang meminta maaf dengan tulus dan benar-benar menyesal biasanya berusaha untuk sungguh-sungguh menyatakan penyesalannya.
Tanda Bahwa Seseorang Meminta Maaf Secara Tulus
Melansir dari Psychology Today, ada sembilan tanda dari permintaan maaf tulus yang bisa dikenali. Ketika kamu mengajukan permintaan maaf atau menerima permintaan maaf mungkin perlu mengingat panduan berikut ini:
- Permintaan maaf yang tulus tidak dibubuhi kata “tetapi”. Kata “tapi” secara otomatis membatalkan permintaan maaf dan hampir selalu menimbulkan kritik atau alasan.
- Permintaan maaf yang tulus membuat fokus pada tindakan dan bukan pada respons orang lain.
- Permintaan maaf yang tulus tidak berlebihan. Permintaan maaf tetap fokus pada perasaan pihak yang terluka.
- Permintaan maaf yang tulus tidak melihat pada siapa yang harus disalahkan atau siapa yang “memulainya”.
- Permintaan maaf yang tulus didukung oleh tindakan korektif.
- Permintaan maaf yang tulus mengharuskan individu agar melakukan yang terbaik untuk menghindari tindakan berulang. Jadi, ketika kamu melakukan kesalahan dan meminta maaf, kamu juga harus berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.
- Permintaan maaf yang sebenarnya tidak seharusnya membungkam orang lain. Jadi, permintaan maaf bukan digunakan sebagai jalan keluar cepat untuk keluar dari percakapan atau perselisihan yang sulit.
- Permintaan maaf yang sebenarnya tidak harus ditawarkan untuk membuat seseorang merasa lebih baik. Hal ini berisiko membuat pihak yang terluka merasa lebih buruk.
- Permintaan maaf yang tulus tidak akan meminta atau menagih kapan orang yang terluka bisa memaafkannya. Luka membutuhkan perbaikan dari waktu ke waktu untuk memulihkan kepercayaan seseorang.
Jika kamu membutuhkan bantuan profesional, kamu dapat berkomunikasi dengan para ahli yang memiliki ilmu tentang hal tersebut di daerah kamu.