Pada prinsipnya Islam menganut asas monogami, sedangkan poligami hanyalah suatu alternatif kalau seandainya tujuan pernikahan yang sebelumnya tidak tercapai. Islam mendambakan kebahagiaan bagi keluarga, (sakinah, wawaddah wa rahmah), kebahagiaan itu antara lain didukung oleh cinta kepada pasangan.

Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mendua, dalam artian tidak mencintai kecuali pasangannya itu. Dalam khazanah keagamaan, ada ungkapan klasik yang mengatakan “tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada di dalam wujud ini dua Tuhan.” Di Indonesia sendiri amat populer sekali ungkapan “tidak mungkin dalam satu pondok ada dua cinta.” Hal seperti inilah yang didambakan oleh istri kalau enggan dikatakan pasangan suami istri. Bila seseorang benar-benar mencintai pasangannya, bukan hanya mengorbankan apa yang boleh atau dapat dimilikinya, melainkan ia mau mengorbankan jiwa raganya demi cinta.

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 1, yang artinya:

“Dan jika kamu takut untuk tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka nikahilah yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga, atau empat. Lau jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat anaiaya.”

Ayat di atas tidak menganjurkan apalagi mewajibkan untuk berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang amat membutuhkannya, dengan syarat yang tidak ringan. Seandainya poligami itu dianjurkan apalagi diwajibkan, pastilah Allah dengan kebijaksanaan-Nya, akan menciptakan perempuan empat kali lebih banyak daripada laki-laki.

Karena, tidak mungkin Allah menganjurkan seasuatu sementara yang dianjurkan itu tidak tersedia. Spirit yang terkandung di dalam ayat di atas, hanya memberikan solusi bagi mereka yang menginginkannya ketika ia menghadapi kondisi atau kasus tertentu. Dalam hal ini tentu saja masih banyak kondisi atau kasus lain yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh wahyu dengan syarat yang tidak ringan.

Selama ini ada anggapan keliru yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. menikahi perempuan lebih dari satu (berpoligami) dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani.

Perlu diingat tidak semua yang dilakukan oleh rasulullah itu perlu dan harus diteladani. Sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Misalnya rasul wajib shalat malam, tidak boleh menerima zakat, tidak batal wudhu’ beliau bila tertidur, beliau dilarang untuk menerima zakat dan dilarang pula mendo’akan kedua orang tuanya. Hal ini tentunya tidak berlaku bagi umat Islam, hanya spesifik untuk Nabi.

Sangat wajar dipertanyakan kepada mereka yang berdalih bahwa “poligami mentauladani Rasulullah”. Apakah mereka benar-benar ingin meneladani Rasul dalam pernikahannya? Kalau benar demikian, perlu mereka sadari bahwa rasul saw. baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama yakni setelah meninggalnya istri beliau Khadijah ra. Muhammad menikahi Khadijah dalam usia 25 tahun. Lima belas tahun setelah itu beliau diangkat menjadi Nabi. Khadijah wafat pada tahun ke-9 kenabian.

Ini berarti beliau bermonogami dengan Khadijah ra selama lebih kurang 24 tahun. Lalu setelah itu baru beliau berpoligami pada tahun kedua atau ke-3 H. Sedangkan beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikalkulasikan bahwa nabi berpoligami hanya dalam waktu sekitar 8 tahun, jauh lebih pendek daripada beliau bermonogami. Beliau–baik dihitung berdasarkan pada masa kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani ? Dan mengapa mereka tidak meneladani rasul saw. itu dalam memilih calon-calon istri yang telah mencapai usia senja, seperti Khadijah ra, Saudah binti Zam’ah ra, Ummu Salamah ra, Ramlah ra, Huriyah binti Al Haris ra, Hafshah binti Umar Ibnu al-Khathab ra, Syafiyah binti Huyar ra, Zainab binti Jahesy ra, Zainab binti Khuzairah ra, yang kesemuanya itu adalah janda dan sebagian besar sudah tidak cantik lagi.

Satu-satunya gadis yang beliau nikahi adalah Aisyah ra. Dan perlu diingat pernikahan yang beliau lakukan adalah bukan dilandasi hawa nafsu syahwat melainkan untuk menyukseskan dakwah, membantu dan menyelamatkan kehidupan para perempuan yang kehilangan suaminya dalam peperangan.

Di samping itu, mengapa mereka tidak meneladani nabi dalam hal kesetiaannya yang demikian besar terhadap istri pertama beliau, Khadijah ra. sampai-sampai beliau menyatakan kecintaan dan kesetiaannya di hadapan istri-istri beliau yang lainnya. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, pada suatu sore Nabi bersama Aisyah ra di datangi oleh seorang tamu. Nabi berkata “Siapa itu, ketuk pintunya seperti ketuk pintu Khadijah, saya yakin ini adalah salah seorang keluarga Khadijah”. Kejadian ini menunjukkan rasa cinta Nabi yang mendalam kepada istri pertama beliau, sampai-sampai ketuk pintunya pun beliau hafal. Pertanyaannya adakah orang mereka yang mengaku ingin mentauladani Nabi dalam bidang pernikahan.

Poligami, menurut M. Quraish Shihab, mirip dengan pintu gawat darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu, yang duduk di samping pintu gawat darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya pada saat mendapatkan izin dari pilot.

Dalam hal ini ada benarnya apa yang dikatakan oleh Nashiruddin al-Thusi, ia mengatakan “kalau bisa kita (suami) semestinya hanya punya satu istri, hal ini didasarkan pada pertimbangan filosofis, bahwa suami diibaratkan dengan jiwa, sedangkan istri dengan badan, jiwa yang memiliki hanya satu badan akan lebih dapat dikelola daripada satu jiwa dengan dua atau tiga badan”. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan rumah tangga, seorang suami dianjurkan untuk memiliki hanya satu istri.