Pendidikan kesehatan dan reproduksi (kespro) terutama mengenai seks sangat penting diberikan sejak dini termasuk oleh institusi terkecil yakni keluarga. Tentunya setiap jenjang usia memiliki pendekatan yang berbeda-beda.
Di usia anak, pendidikan tersebut seperti misalnya pengenalan organ-organ seks yang harus dilindungi, cara membersihkan vagina atau penis setelah membuang air kecil, tidak membiarkan orang lain menyentuhnya kecuali saat pemeriksaan dokter, dan lain sebagainya. Di usia remaja, pendidikan pun harus ditingkatkan seperti pemahaman perbedaan biologis (bukan perbedaan peran) perempuan dan laki-laki. Pada usia-usia selanjutnya, diperlukan pendidikan mengenai hubungan seks yang aman dan bertanggungjawab.
Di Indonesia, pendidikan kespro terlebih membahas seks sangat dianggap tabu oleh masyarakat. Alih-alih mendapatkan pemahaman, menanyakan ke orangtua aja bisa-bia kamu dimarahi! Tak jarang, para remaja yang memiliki rasa keingintahuan tinggi, secara diam-diam mencari tahu tentang seks dari video porno. Alhasil seks yang tak aman dan nihil tanggungjawab pun dilakukan dan yang menjadi korban adalah perempuan.
Ingatan saya tertarik pada masa SMA, saya memiliki teman yang mengalami “kehamilan tidak diinginkan”. Sebut saja Jingga. Saya dan teman-teman bertanya-tanya, “eh dimana Jingga? Kok dia tidak muncul di sekolah sih!?”. Pertanyaan itu terus muncul bagi kami, kawan-kawan dekat Jingga. Saat jam penyampaian materi, guru kami menyampaikan, “Jingga tidak berangkat karena dia hamil”. Sontak seisi ruangan kelas kaget. Gosip pun merambah sampai ke ruang-ruang pelosok sekolah : kantin pojok, ruang parkir, hingga UKS mungil milik sekolah kami.
Sebagai kawan yang baik, kami pun menjenguk Jingga sembari membawakan kebutuhan untuk bayi yang telah dilahirkannya. Sebagai remaja yang belum mengetahui seluk beluk kehamilan secara detail, kami hanya berbincang menanyakan kabar, rasanya melahirkan, hingga menciptakan tawa riang agar tak terlalu tegang.
Sampai menjelang pendidikan SMA hampir usai, Jingga tak lagi duduk di bangku sekolah. Saya dan teman-teman berpikir, “yah Jingga telah sibuk mengurus keluarga kecilnya”.
Waktu pun terus bergulir, aku duduk di pendidikan tingkat Perguruan Tinggi. Lagi, temanku sebut saja Siska. Ia memiliki kasus yang sama dengan Jingga, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Saat itu adalah masa-masa awal kuliah, kami mencoba menjelajah kegiatan positif seperti organisasi kampus. Ternyata Siska berpacaran dengan kakak kelas, anggota organisasi kampus, yang menjadikan Siska tak kunjung berangkat ke kampus dan tiba-tiba datang dengan kondisi perut sudah membesar. Ternyata usia kehamilan Siska sudah sampai 8 bulan dan ia hendak menyiapkan pernikahannya,
Di kasus yang sama, temanku yang lain pun juga menjadi korban. Ia menceritakan permasalahannya kepadaku. Ternyata ia sudah hamil dengan usia kandungan sekitar 6 bulan.
“Aku belum siap, aku masih ingin kuliah. Aku takut menyampaikan ini ke orangtua!”, kekhawatiran dan ketakutan yang ia rasakan disampaikan kepadaku. Bahkan berbagai cara aborsi pun telah ia lakukan, tapi gagal. Aku pun menyampaikan bahwa aborsi secara tak aman rentan bagi perempuan, bahkan pada beberapa kasus mengakibatkan kematian.
Sehari kemudian sambil mencari waktu luang, aku menemaninya untuk berkonsultasi ke salah satu lembaga yang fokus dan melindungi hak-hak perempuan. Konsultan lembaga tersebut menyampaikan bahwa temanku tidak bisa melakukan aborsi karena usia kehamilannya sudah besar. Ia menyampaikan kepada temanku, “kamu jaga baik-baik bayi itu karena usia kehamilanmu sudah 7 bulan, 2 bulan lagi kamu melahirkan. Dalam waktu 2 bulan terakhir, kamu bisa tinggal di rumah aman milik kami agar kesehatan kamu dan si bayi terpenuhi. Kamu bisa melahirkan disini dan kami bisa mencarikan adopter bagi bayi kamu. Ya itu jika kamu sepakat”.
Untungnya, kami bisa berkonsultasi ke lembaga tersebut dan mendapatkan pemahaman-pemahaman mengenai kesehatan reproduksi termasuk mengenai aborsi. Bahwa aborsi dapat dilakukan secara aman dengan batas usia kehamilan tertentu.
Kasus mengenai kehamilan tidak diinginkan pun kian bergulir dan banyak dialami oleh teman-teman perempuan. Kurangnya pendidikan kespro menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, bisa juga karena paksaan pasangannya, sebagaimana kita tahu bahwa konstruksi sosial menempatkan posisi perempuan sebagai second sex.
Dari segala pengalamanku mengenai perempuan-perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, aku pun dapat belajar dari hal itu. Sebagai perempuan aku tidak menyalahkan atau menghindari mereka yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Dukungan dari teman dekat adalah perlu dan penting! Sebagai sesama manusia yang saling membutuhkan, janganlah kita merendahkan dan memberi stigma negatif pada mereka!
Terutama sebagai sesama perempuan kita harus sama-sama mendukung dan menyampaikan bahwa meskipun perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan hingga sebentar lagi melahirkan, perempuan berhak mendapatkan masa depan.