kasus kekerasan seksual pada perempuan pernah terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Beberapa waktu lalu di negara Belanda pernah terjadi kasus perkosaan yang terjadi pada seorang mahasiswi asal Indonesia.
Ada juga di Jambi, seperti pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’, seorang bocah berusia 15 tahun diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri, dan ironisnya, si korban juga harus mendapatkan sanksi hukum karena telah mengaborsi janin yang dikandungnya. Sungguh hal yang tragis.
Kasus kekerasan seksual, dari zaman penjajahan hingga era serba teknologi seperti sekarang rupanya masih aja banyak terjadi. Dua kisah di atas tadi, hanya segelintir kasus yang terungkap dari jutaan kasus serupa yang terjadi di muka bumi.
Lantas apa sih sebenarnya yang membuat kasus perkosaan itu makin marak terjadi? Apa benar karena perempuan yang terlalu mengumbar fisiknya? Atau karena hasrat seksual yang berlebihan? Dilihat dari sisi psikologis, berikut beberapa penjelasan mengapa bisa terjadi tindakan pemerkosaan.
Ekspresi Kemarahan dan Dominasi
Banyak orang beranggapan kalau tindakan kekerasan seksual itu terjadi karena tingginya hasrat seksual seseorang. Padahal, kata riset justru hal itu bukan jadi motif utama. Dr Jiemi Ardian, seorang ahli kejiwaan sekaligus hipnoterapis sempat membuat cuitan di akun twitternya @jiemiardian mengenai hal ini. Katanya, motif terjadinya perkosaan lebih kepada ekspresi marah dan memandang rendah, ketimbang nafsu seks.
Dr Jiemi menjelaskan lagi, kalau ternyata secara psikologis seorang pemerkosa bukan terpengaruh karena melihat baju seksi, video porno, atau sikap seseorang yang menggoda, tapi adanya rasa otoritas atas orang lain. Pemerkosaan terjadi karena pelaku dengan sengaja ingin menyakiti korbannya yang Ia anggap lebih rendah dan lemah.
Faktor Lingkungan dan Pendidikan
Meningkatnya tindakan pemerkosaan juga dilatarbelakangi karena kurangnya pengetahuan sex pada seseorang. Dalam hal ini faktor lingkungan juga memegang peran penting, karena lingkungan yang negatif dapat memicu munculnya keinginan untuk berbuat kejahatan, termasuk tindak kekerasan seksual.
Victim Blaming
“ya salah sendiri sih pake baju kebuka banget gitu, gimana ngga digodain,”
Terkadang ketika tindakan kekerasan seksual terjadi justru si korban lah yang banyak disalahkan, seperti contohnya kalimat di atas tadi. Melansir dari Tirto.id, memang stigma negatif kepada korban kekerasan seksual biasanya lebih besar dibandingkan kepada si pelakunya sendiri. Alhasil, rasa takut ‘disalahkan’ oleh lingkungan membuat banyak korban memilih diam, dan membuat kasus kekerasan seksual menjadi kejahatan yang dianggap ‘wajar’ di tengah masyarakat.
Itulah beberapa alasan yang melatarbelakangi maraknya kasus kekerasan seksual. Intinya, perilaku pemerkosaan terjadi memang karena pelaku punya gangguan psikologis, bukan semata-mata karena stimulus dari luar dirinya.
Source: www.ibunda.id