Hambatan tarif yang Uni Eropa (UE) terhadap biodiesel CPO melalui rencana pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) ternyata baru diberlakukan untuk Indonesia. Sementara Malaysia yang juga produsen CPO terbesar belum dikenai hambatan serupa sehingga bisa mengambil alih pasar Indonesia di Eropa.
“Bisa saja kinerja ekspor biodiesel kita kalah dari Malaysia. Negara tersebut juga bisa masuk mengisi celah yang kita tinggalkan di UE. Namun, UE selama ini tidak mengganggu biodiesel Malaysia, lantaran Negeri Jiran itu belum sama sekali mengekspor produk itu ke Eropa,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor seperti dilansir Bisnis, Selasa 30 Juli 2019.
Tumanggor mengakui, harga biodiesel Malaysia jauh lebih mahal dibandingkan dari Indonesia, sehingga sulit untuk dikenai tuduhan subsidi. Namun, apabila Malaysia berhasil memasok biodiesel ke UE, produk tersebut juga akan dikenai hambatan dagang oleh blok negara terbesar Eropa tersebut.
Menurut dia, kini UE sedang berusaha menangkal produk CPO dari negara manapun untuk masuk ke kawasannya.
Asosiasi sebelumnya telah memprediksi Indonesia dapat mengekspor sekitar 432.000 ton biodiesel ke UE tahun ini. Namun, target tersebut berpeluang terkoreksi lantaran pengenaan BMAS oleh UE terhadap biodiesel Indonesia.
Ekonom Core Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus bergerak lebih cepat untuk menyelamatkan pasar ekspor CPO dan produk turunannya ke UE. Sebab, jika dibandingkan dengan Malaysia, tekanan kinerja ekspor CPO Indonesia jauh lebih besar.
“Malaysia jauh lebih siap menghadapi gempuran UE terhadap CPO karena mereka punya produk manufaktur yang jauh lebih siap diekspor dibandingkan dengan Indonesia. Sementara kita, masih menjadikan komoditas perkebunan tersbeut sebagai sumber utama ekspor. Jadi tidak ada pilihan lain dalam jangka pendek untuk terus memperjuangkan CPO,” ujar Faisal.
SOURCEl tempo, bisnis