Banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada tahun baru menyebabkan kerugian sementara yang diestimasikan melebihi Rp10 triliun, menurut Bhima Yudhistira, peneliti di Institute For Development of Economics and Finance (INDEF).
“Yang pertama yang paling dirasakan itu adalah dampak dari infrastruktur fisik, baik rumah-rumah yang rusak ringan maupun yang rusak berat, kemudian juga infrastruktur dari Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat yang terkena dampak karena banyak yang rusak,” ujar Bhima kepada BBC News Indonesia.
“Dan pembiyaan-pembiyaan infrastruktur tadi relatif memakan biaya yang cukup besar,” kata Bhima.
Ia menjelaskan bahwa estimasi kerugian dimulai dari perkiraan angka pengungsi, yang awalnya masih sekitar 30,000 orang dan tersebar di 264 titik. Namun, angka itu terus mengalami eskalasi.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari Jumat, jumlah pengungsi mencamapi 187.000 orang. Pada hari Minggu (05/01), jumlahnya berkurang menjadi sekitar 92.000 orang.
Bhima mengatakan, “Jadi untuk [kerugian] warga itu setidaknya Rp2 triliun. Termasuk di situ ada harta benda, selain dari rumah yang harus direnovasi yang rusak ringan maupun rusak berat, ada juga soal kendaraan yang terendam air. Kemudian, belanja masyarakat juga berpengaruh.”
Lebih lagi, kata peneliti INDEF itu, kerugian juga terjadi di sektor aktivitas ekonomi spesifik, termasuk industri.
Ia sebut di daerah Jabodetabek terdapat banyak kawasan-kawasan industri, termasuk di Pulo Gadung dan Cakung di Jakarta Timur, serta di Kota Bekasi yang terkena dampak banjir.
“Ini banyak yang sempat tergenang oleh air, sehingga aktivitasnya pasti lumpuh dan kalau itu memproduksi industri manufaktur, pastinya tingkat produksinya berkurang juga karena Bekasi, Jakarta ini juga pusat industri secara nasional, sehingga menjadi barometer,” kata Bhima.
Ia juga menyebutkan bahwa banjir telah menyebabkan banyak pusat perbelanjaan yang tutup, sehingga sektor ritel termasuk yang mengalami kerugian yang besar dari estimasi kerugian keseluruhan itu, atau sekitar Rp1 triliun.
Seberapa besar dampak pada sektor ritel?
Kerugian dari potensi transaksi yang hilang akibat toko yang tidak beroperasi di Jabodetabek diperkirakan mencapai sekitar Rp1,2 triliun, ujar Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Ia menjelaskan bahwa angka indikator itu belum mencakupi nilai kerugian aset pada pihak peritel.
“Itu untuk prediksi terhadap potensi transaksi, jadi itu udah pasti rugi kan. Belum termasuk yang sifatnya barang-barang dagangan, kemudian kerusakan peralatan [misalnya] chiller, cash register maupun peralatan elektronik, dan juga merenovasi kembali toko yang sudah rusak karena banjir,” kata Roy kepada BBC News Indonesia.
Roy mengatakan perkiraan kerugian tersebut hanya mencakup dua hari, atau 1-2 Januari, saat banjir melanda wilayah ibu kota dan sekitarnya dan menyebabkan puluhan ribu orang untuk mengungsi.
Menurut data yang ia peroleh, ada lebih dari 400 toko di sekitar Jabodetabek yang terdampak karena banjir, yang sehingga tidak mungkin buka, termasuk 300 di antaranya yang berada di Jakarta.
Roy menambahkan bahwa angka toko itu belum termasuk toko para anggota Aprindo yang berlokasi di dalam mal.
Sejak air surut di beberapa wilayah mulai hari Kamis (02/01), kata Roy, hanya sekitar 20% dari jumlah pertokoan buka kembali pada akhir pekan.
Namun angka kerugian akan terus meningkat akibat sebagian besar toko-toko yang masih tutup, bahkan berpotensi mengalami kerusakan lagi dalam jangka waktu dekat akibat prediksi cuaca pada musim hujan beberapa waktu ke depan.
Menurut Kepala Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Gofisika (BMKG), Fachri Radjab, puncak musim hujan diperkirakan baru akan datang pada pertengahan Januari hingga awal Maret.
Sedangkan hujan deras yang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan masih akan berlangsung hingga pekan kedua Januari.
Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan hujan yang ekstrem dikhawatirkan juga akan lanjut menyebabkan kerugian bagi para pengusaha.
Walaupun ia sebut pihaknya belum bisa menyatakan nilai kerugian karena masih dalam proses mengumpulkan.
“Di sisi yang paling berat itu adalah kehilangan opportunity revenue–nya. Misalnya ritel dan jasa, hari itu dia hilang, ya nggak bisa balik lagi,” jelas Haryadi
Bagaimana dengan sektor asuransi?
Kerugian yang meluas telah mendorong para korban yang memiliki asuransi untuk mengakukan klaim.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyatakan proses pengajuan klaim asuransi akibat musibah banjir sudah berlangsung.
Angka klaim tahun atas kerugian banjir dipastikan meningkat, walaupun angka total klaim yang diajukan pemegang polis belum dapat dipastikan.
Dody Dalimunthe, Direktur Eksekutif AAUI ,mengatakan jenis aset yang diklaim sebagian besar adalah properti dan kendaraan bermotor.
“Kebetulan risiko banjir ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat. Jadi yang pasti nilai klaim akibat banjir untuk properti dan kendaraan bermotor akan naik. Tapi berapa kenaikannya itu, saya belum bisa memastikan,” kata Dody.
source: BBC