Suatu ketika di tahun 2006 saya pernah menghadiri acara seminar di Bandung. Karena acara ini dimulai pagi-pagi, oleh panitia acara, sehari sebelumnya saya diinapkan di sebuah rumah di sebelah biara susteran milik Tarekat St.Dominikus yang terletak di Jl. Baros, Cimahi, Bandung.
Saya berangkat dari Jakarta pagi hari dan tiba di lokasi pada sore hari menjelang malam.
Pada waktu saya menginap di sana, bangunan hotel di sebelah kanan belum ada dan gedung utama bagian depan masih belum dipugar seperti saat ini.
Setiba di lokasi, saya disambut dengan ramah oleh perwakilan panitia dan suster Katolik kenalan saya. Saya lalu dibawa ke biara dan diajak berkeliling singkat. Setelah berkeliling, saya dijamu makan sambil dijelaskan bahwa malam itu saya akan diinapkan di rumah tua yang berlokasi di depan biara, yang selama ini memang digunakan untuk para tamu biara. Hal ini buat saya sangat beralasan, mengingat peraturan di dalam biara susteran memang ketat, laki-laki dilarang menginap.
Setelah makan, saya pun diantar oleh salah seorang suster ke rumah tua itu.
Rumah itu tampak sedikit gelap karena penerangan yang terbatas. Setelah membuka pintu masuk rumah, tampak lorong panjang semacam lorong rumah kost yang di kanan-kirinya terdapat beberapa pintu kamar. Saat berjalan menyusuri lorong yang diterangi oleh lampu neon temaram, saya memperhatikan di atas langit-langit yang ukurannya agak tinggi itu terdapat banyak sarang laba-laba, dan juga seekor kelelawar yang sedang bertengger terbalik. Sebagai tamu, saya memilih tidak berkomentar apa-apa.
Saya lalu dipandu ke sebuah kamar di arah pojok lorong, dekat kamar mandi. Setelah menyerahkan kunci dan menjelaskan sedikit mengenai tata letak kamar saya dan kamar mandi, suster kenalan saya ini lalu memberitahukan bahwa di beberapa kamar di rumah itu ada yang sudah tidak dipakai dan difungsikan sebagai gudang, namun ada juga yang masih dihuni oleh petugas penjaga sekolah dan seorang ibu perawat yang bekerja di rumah sakit. Tetapi menurut suster saat itu mereka tidak berada di rumah karena mereka bertugas di malam hari, biasanya mereka baru pulang menjelang subuh. Dan saat itu tidak ada tamu susteran lainnya di rumah tersebut. Dari penjelasan suster itu saya mengambil kesimpulan bahwa saat itu hanya sayalah satu-satunya tamu di rumah tua tersebut. Setelah itu sang suster lalu pamit pulang ke biara untuk menjalankan rutinitas ibadah malamnya.
Saya lalu masuk ke dalam kamar tamu yang tampak sederhana namun bersih dan cukup nyaman itu. Jendela kamarnya berbingkai kayu berbentuk kotak tanpa kaca dan hanya dilapisi jaring kawat nyamuk dan bisa dibuka tutup ke arah luar, sehingga praktis saya bisa mengintip ke arah lorong di luar kamar. Langit-langitnya yang tinggi pun cukup bersih, tak ada sarang laba-laba seperti di lorong tadi. Hanya ada satu lampu di kamar saya, lampu bohlam yang tergantung di plafon kamar dengan kabel yang cukup panjang.
Saat saya menyapukan pandangan berkeliling, saya melihat ada sebuah pintu di dalam kamar yang rupanya merupakan connecting door dengan ruangan sebelah. Saya lalu mengetuk dan mencoba menekan gagangnya untuk memastikan pintu itu tidak bisa dibuka dari sisi luar. “Ceklek… Krieeeetttt….” bunyi khas pintu kayu tua pun terdengar. Setelah pintu terbuka lebar, hawa khas barang-barang tua tercium di hidung saya. Saya bisa melihat bahwa ruangan sebelah kamar saya itu ternyata gudang tempat menyimpan barang-barang.
Di dalam gudang yang tampak cukup terawat tersebut tampak banyak barang-barang yang kelihatannya sudah lama tidak terpakai. Ada tumpukan buku-buku tua, kain, baju-baju, sampai alat-alat masak. Namun dari semua barang yang ada di dalam gudang itu, perhatian saya terpaku pada sebuah barang yang cukup besar yang agak tertutup kain, barang tersebut ternyata adalah sebuah mesin jahit tua.
Merasa sudah cukup, saya lalu menutup kembali pintu kamar gudang itu dan mengunci gagangnya. Saya lalu duduk di tepi ranjang, membongkar isi tas saya, mempersiapkan baju dan celana yang hendak saya pakai saat tidur peralatan mandi. Setelah siap, saya lalu beranjak keluar kamar dan berjalan ke arah kamar mandi.
Setibanya di area kamar mandi, ternyata ada dua kamar mandi tanpa atap yang bersebelahan. Keduanya kosong. Pertama-tama saya melihat kondisi kamar mandi di sebelah kanan yang letaknya lebih dekat dengan kamar saya. Kamar mandi dan airnya tampak bersih, tetapi… banyak kodok kecil-kecil seukuran ibu jari! Kodok-kodok kecil berwarna hijau tua tersebut berada di sudut lantai hingga ke sudut kakus, bahkan sampai ke permukaan bak mandi. Saya segera mengurungkan niat memakai kamar mandi pertama dan beranjak ke kamar mandi kedua di sebelahnya.
Di kamar mandi kedua, keadaannya lebih baik. Hanya ada 2–3 kodok kecil yang nongkrong di lantai. Tidak ada yang sampai naik ke permukaan bak mandi. Tadinya saya sempat hendak batal mandi, tetapi karena badan sudah terasa lengket dan gerah karena perjalanan panjang dari Jakarta sejak pagi hari, saya memilih untuk mandi.
Saat mulai mandi, air di dalam bak mandi terasa sangat dingin, tapi itu masih wajar mengingat udara di Bandung yang memang dingin. Saya pun mandi sambil sesekali memperhatikan beberapa kodok kecil di lantai yang sesekali berlompatan dan entah mengapa sepertinya ada juga yang diam melotot menyaksikan saya mandi (perasaan saya saja). Toh saya juga tidak berniat mengusir mereka.
Setelah selesai menyikat gigi, saya pun mulai berpakaian. Pada saat itulah… saya mendadak mendengar seperti ada suara orang berbicara di kamar mandi sebelah saya… Bagaimana mungkin, pikir saya, bukannya tadi kamar mandi sebelah kosong? Apa mungkin ada perawat atau penjaga sekolah yang sudah pulang? Entahlah, yang pasti saya tidak mau berlama-lama menebak-nebak, segera saya menyambar handuk dan berlari keluar kamar mandi. Saat melewati kamar mandi kedua, tampak pintu kamar mandi itu terbuka dan dalamnya masih kosong! Saya pun bergegas masuk ke dalam kamar tidur saya. Aneh.
Di dalam kamar, saya segera merapikan diri bersiap untuk tidur. Namun kejadian di kamar mandi tadi masih terus mengusik saya. Saya pun berdoa sambil mengucap dalam hati bahwa saya hanya tamu yang menumpang dan ingin beristirahat, sebagai ungkapan “permisi”.
Saya lalu merebahkan diri saya di ranjang mencoba untuk terlelap. Tetapi karena badan yang letih, saya tidak bisa langsung tidur. Karena cahaya lampu bohlam di kamar cukup terang, saya pun mencoba melanjutkan membaca buku novel yang saya bawa dari Jakarta.
Sebelum saya melanjutkan, rekan-rekan Quora masih ingat tentang mesin jahit tua yang berada di gudang sebelah kamar saya tadi? Nah, di tengah asyik membaca novel, tiba-tiba saya mendengar suara mesin jahit tua di sebelah kamar saya seperti sedang digunakan. Suara engkolan kaki mesin jahit terdengar jelas di telinga saya. “Ngiikk…ngiikk..ngiikk…” demikian kurang lebih bunyinya. Darimana saya tahu bahwa itu bunyi engkol? Karena sejak kecil saya sering mendampingi Mama saya menjahit menggunakan mesin jahit jenis itu. Saya hafal sekali dengan bunyi engkolan kaki tersebut.
Saat mendengar bunyi “Ngiikk…ngiikk..ngiikk…” mesin jahit dari ruang sebelah itu, saya masih ber-positive thinking, saya meyakini itu pasti bunyi tikus-tikus gudang yang menginjak/bermain di engkolan kaki mesin jahit. Saya mencoba mengabaikannya. Tapi karena bunyi mesin jahit itu masih terus terdengar, saya pun penasaran.
Saya bangkit dari ranjang dan berjalan ke pintu connecting door di kamar saya lalu membuka gagangnya. Mendadak suara mesin jahit beroperasi tadi hilang. Di dalam gudang juga tidak tampak tikus atau hal-hal yang mencurigakan. Saya pun menutup kembali pintu itu dan kembali ke tempat tidur, melanjutkan membaca novel.
Selang beberapa waktu kemudian, bunyi “Ngiikk…ngiikk..ngiikk…” mesin jahit dari ruang sebelah kembali terdengar. Kali ini saya langsung gerak cepat membuka pintu kamar ke arah gudang, untuk memastikan apa benar ada tikus. Setelah pintu dibuka, bunyi mesin jahit tadi kembali hilang. Saya lalu menggeser sedikit selubung kain yang menutupi mesin jahit itu. Tidak ada apa-apa. Tidak ada juga bunyi tikus berlarian. Perhatian saya terpaku pada engkolan kaki mesin jahit tua itu. Saya melihat dengan jelas bahwa engkolan kaki yang terbuat dari besi itu tampak sudah agak berkarat dan kaku, tanda lama tidak dipakai. Kalaupun memang ada tikus yang bermain-main di atas engkolan ini, mestinya saat saya “gerebek” tadi, engkolan ini masih berputar sedikit, tapi ini kok tidak ada bekasnya sama sekali. Aneh.
Saya bergegas kembali ke kamar saya, mengunci pintu connecting door dan berhenti membaca buku. Saya minum sedikit air putih dan memutuskan untuk memaksakan tidur. Setelah beberapa waktu, saya pun berhasil tidur. Entah berapa lama saya tertidur, yang pasti saya kemudian terjaga setelah mendengar bunyi jendela kayu kamar saya berbunyi “Krieeetttt…”
Saya terbangun karena bunyi itu menandakan ada seseorang yang menggeser jendela kamar saya dari luar. Tapi saat saya duduk terbangun dan melihat, jendela saya masih tertutup. Aneh.
Saya melihat jam, baru sekitar pukul 2 pagi. Saya pun mencoba tidur lagi.
Selang beberapa waktu saat saya mulai terlelap, saya mendengar dari salah satu kamar di arah lorong, ada suara radio dan senandung perempuan. Saya pikir, “Ah, akhirnya ada orang yang pulang, lumayan lah ada teman, jadi saya tidak sendirian di rumah tua ini…” Saya pun melanjutkan tidur.
Sekitar jam 5 subuh, saya terbangun lagi. kali ini karena mendengar ada suara “cebar-cebur” khas orang mandi pakai gayung dari arah kamar mandi. Saya pikir, “Oh, itu si penjaga sekolah atau perawat sudah pulang juga rupanya…” Saya pun duduk sebentar di tepi ranjang sambil “ngulet”. Tak lama kemudian suara orang mandi itu terhenti, pertanda sudah selesai mandi. Lalu terdengar suara langkah kaki orang berjalan di lorong. Saya pun menyempatkan diri mengintip dari sudut kawat nyamuk di jendela kamar saya, untuk melihat siapa penghuni yang habis mandi dan hendak kembali ke kamarnya itu. Tetapi karena suasana yang temaram, saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosoknya.
Saya akhirnya memilih bersiap-siap. Dan seperti kebiasaan saya selama ini, saya bangun pagi, mencuci muka, dan keluar rumah berolahraga sejenak. Saat mencuci muka, saya tidak melihat ada kodok-kodok kecil lagi di lantai kamar mandi. Setelah mengganti alas kaki untuk olahraga, saya lalu berjalan melewati lorong menuju ke arah pintu keluar. Tidak ada bunyi atau suara apa pun dari kamar-kamar yang saya lewati.
Setibanya di luar rumah, saya menikmati dingin dan segarnya udara Cimahi, Bandung. Setelah berolahraga sekitar 1 jam di taman depan biara, saya lalu berjalan kaki menuju pintu gerbang utama. Di sana saya bertemu dengan pak satpam penjaga biara. Saya menyapanya dan kami pun berbincang-bincang sejenak.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan si pak satpam, saya iseng bertanya, “Pak, ngomong-ngomong ibu perawat dan penjaga sekolah yang tinggal di rumah tamu tempat saya nginap itu memang biasa pulangnya pas subuh ya?” yang lalu dijawab oleh si pak satpam, “Oh, iya benar pak, mereka tugasnya shift malam, jadi kalau pulang biasanya setelah subuh atau bahkan sampai di atas jam 7 pagi…”
“Oh, begitu, lalu kalau tadi pagi mereka pulang jam berapa tuh pak?” tanya saya lagi.
“Kurang tahu juga pak, setahu saya mereka belum pulang, karena saya dari semalam jaga di pos ini belum lihat mereka pulang. Kalau pulang pasti kan lewat pos ini…”
Jawaban pak satpam tersebut membuat saya terhenyak.
Aneh.
Kalau mereka belum pulang, jadi siapa dong yang tadi pagi mandi cebar-cebur di kamar mandi tamu? terus langkah kaki siapa yang berjalan di lorong melewati kamar saya? Lalu siapa yang menyanyi di kamar lorong? Bunyi radio yang saya dengar itu dari mana asalnya? Segudang pertanyaan memenuhi kepala saya.
Saya memilih untuk tidak menceritakan semua yang telah saya alami ke si pak satpam. Saya lalu permisi kembali ke dalam. Saat berjalan kembali menuju rumah tua, saya bertemu dengan suster biara yang kemarin mengantar saya, yang lalu mengajak saya untuk sarapan bersama di biara.
Saya duduk di meja makan bersama dengan beberapa suster tarekat, selama sarapan kami berbincang-bincang mengenai persiapan acara hari itu. Setelah makan, saya mengutarakan kepada suster kenalan saya bahwa saya mengalami beberapa kejadian misterius saat menginap di rumah tamu. Uniknya, mendengar cerita saya tersebut, suster kenalan saya hanya tersenyum sambil berkata “Wah, ramai juga ya rupanya…” Saya tidak paham maksudnya.
Suster tersebut bersama seorang suster lainnya lalu mendampingi saya berjalan kembali ke rumah tamu. Saat sedang berjalan bersama, mereka lalu menjelaskan kepada saya bahwa di rumah tua yang kini dijadikan rumah tamu sementara itu memang kadang-kadang terjadi hal-hal yang “unik”. Menurut cerita yang mereka dengar, rumah tua itu dulunya peninggalan orang Belanda. Beberapa tamu biara yang pernah tinggal di situ juga kadang-kadang mengalami hal-hal yang diluar nalar, tapi tidak pernah sampai benar-benar mengganggu.
“Anggap saja nambah ‘kenalan’ baru di Bandung ya mas Alex, hahaha…”, demikian tukas suster kenalan saya. Saya pun ikut tertawa mendengarnya.
Setiba di depan rumah tamu, tampaklah bapak penjaga sekolah dan ibu-ibu perawat yang tinggal di rumah itu, kini sudah pulang. Mereka menyalami saya. Saya senang melihat mereka. Kini saya benar-benar tidak sendirian di rumah tua itu. Saya pun permisi untuk bersiap-siap mandi dan ganti pakaian sebelum acara dimulai.
Hari itu acara berjalan lancar.
Sorenya, saya dijemput oleh saudara saya untuk menginap di rumahnya di daerah Ciumbuleuit. Esoknya saya kembali ke Jakarta.
Semua kejadian yang saya alami dalam cerita di atas hingga kini masih menjadi misteri buat saya. Selain warganya yang ramah dan udaranya yang dingin dan sejuk, saya menganggap pengalaman ini sebagai salah satu “oleh-oleh” dari Bandung.
What happens in Bandung stays in Bandung.
Terima kasih sudah membaca.