Dengan sekitar 30 persen dari populasi Tokyo yang hidup di bawah permukaan laut, sebagian besar di sepanjang Teluk Tokyo atau banyak sungai yang masuk ke dalamnya, metropolis memiliki sejarah panjang bencana banjir.

Seiring dengan pertumbuhan ibu kota dan Jepang yang makmur, melindungi ekonomi metropolitan terbesar di dunia dan penduduknya – lebih dari 13 juta di Tokyo saat ini dan lebih dari 36 juta di wilayah metropolitan yang lebih besar – menjadi prioritas nasional.

Sejak 1960an Tokyo mendesain sistem kanalisasi buat mencegah banjir. Tapi upaya tersebut gagal ketika ibukota didera cuaca ekstrim. Pemerintah lalu membangun kolam bawah tanah terbesar sejagad.

Lain kali ketika Anda berjalan di sekitar ibukota Jepang, berhentilah sejenak untuk mempertimbangkan hal ini: Hanya 50 meter di bawah tanah adalah labirin terowongan, tangki air seperti katedral dan pompa besar yang dapat menghilangkan 200 ton air banjir setiap detik. Digambarkan sebagai sistem drainase buatan manusia bawah tanah terbesar di dunia.

G-Cans in Tokyo Zisterne Hochwasserschutz System Flut (Getty Images/C.McGrath)

Solusi paling sederhana adalah membangun reservoir. Tetapi pertanyaan yang dihadapi perencana kota adalah: Bagaimana Anda membangun reservoir di kota dua kali lebih padat dari New York? Jawabannya: Bangun selokan di bawah tanah.

Hasilnya adalah Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan, juga dikenal sebagai G-Cans, dan baru-baru ini, Waduk Pengaturan Bawah Tanah Furukawa (首都圏外郭放水路, shutoken gaikaku hōsuiro).

Selesai pada tahun 2006, G-Cans mengumpulkan air banjir yang meluap dari sungai-sungai di Tokyo, seperti Oochi Kotone, Kuramatsu, Nagakawa dan Arakawa, dan mengalirkannya ke Sungai Edo. Ini adalah sistem pengalihan air banjir bawah tanah terbesar di dunia, kata Koichiro Omoto, spesialis air di Asian Development Bank Institute di Tokyo.

G-Cans in Tokyo Zisterne Hochwasserschutz System Flut (Getty Images/T.Yamanaka)

Harganya sekitar US $ 3 miliar, G-Cans menghubungkan lima sungai di Tokyo melalui poros drain vertikal, masing-masing cukup besar untuk menampung Patung Liberty dengan ruang yang tersisa.

Namun itu pun belum cukup. Penduduk Tokyo tak asing dengan topan dan badai. Tahun 2011 silam topan Roke membawa serta angin berkecepatan 200 km/jam yang disertai curah hujan hingga 54 liter per meter persegi. Akibatnya 520.000 rumah kehilangan pasokan listrik. Butuh waktu berhari-hari hingga akhirnya air surut. Yang kemudian tersisa adalah kerusakan senilai miliaran Dollar AS.

Sejak lima dekade Tokyo bersiap menghadapi serbuan air. Penyebabnya adalah kondisi geografis ibukota Jepang. Salah satu kawasannya, Prefektur Saitama berada di Cekungan Nakagawa yang lebih rendah ketimbang permukaan sungai Edo. Akibatnya banjir langganan menggenangi wilayah yang kini padat penduduk tersebut. Dari 15 sungai yang membelah ibukota Jepang, lima yang melewati jantung kota dibeton hingga ke dasar sungai. Sementara sisanya diatur dengan bendungan di bagian hulu. Pembangunan infrastruktur anti banjir memasuki masa keemasan pada 1960an. Tokyo memiliki curah hujan tahunan rata-rata setinggi 1530 milimeter. Sementara di Jakarta jumlahnya 2000 milimeter per tahun

Image result for tsunami jepang

Namun senjata utama menghadang banjir terletak 50 meter di dalam tanah: yakni Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel alias G-Cans, sebuah Kathedral raksasa yang ditopang 59 pilar beton dan dilengkapi dengan 78 pompa yang mampu memindahkan 200 ton air per detik, cukup buat memenuhi 25 kolam renang kelas Olimpiade. Namun senjata utama menghadang banjir terletak 50 meter di dalam tanah: yakni Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel alias G-Cans, sebuah Kathedral raksasa yang ditopang 59 pilar beton dan dilengkapi dengan 78 pompa yang mampu memindahkan 200 ton air per detik, cukup buat memenuhi 25 kolam renang kelas Olimpiade.

Pemerintah Tokyo membutuhkan waktu hingga 15 tahun untuk menuntaskan proyek masa depan ini. G-Cans adalah sistem drainase terbesar di dunia. Prinsipnya cukup sederhana. Air dari berbagai sudut kota akan dialirkan melalui sumur setebal sepuluh meter ke dalam lima kolam beton raksasa yang memiliki ketinggian 65 meter dan lebar 32 meter.

Tokio Sumida Fluss (Getty Images/T.Ohsumi)

bawah tanah terbesar sejagad. Namun itu pun belum cukup. Sejak tuntas dibangun tahun 2006, G-Cans telah digunakan sebanyak 70 kali. Menurut pemerintah Tokyo, sistem kanalisasi banjir itu ampuh mengurangi dua pertiga wilayah yang biasanya tergenang saat musim hujan. Namun begitu G-Cans hanya didesain untuk mengalirkan air hujan, bukan air laut semisal banjir rob. Selain G-Cans, Tokyo juga membangun kanalisasi sungai bernama Furukawa Underground Regulating Reservoir. Kanal berupa lorong air tersebut ditanam 15 meter di bawah sungai Furukawa dan dibangun memanjang sesuai aliran sungai. Menurut pemerintah Jepang, sistem kanalisasi banjir yang telah dibangun di Tokyo saat ini mampu menampung hingga 50mm air per jam.

Jadi, masih mau belajar bahasa Jepang untuk masa depan?


Sumber:

NHK Japanology