Sultan Hamid II berjasa bagi republik ini bukan hanya atas karyanya dalam merancang lambang dan simbol negara kita yaitu Garuda Pancasila, tetapi juga dalam perjuangan diplomasi Indonesia menuju kemerdekaan. Sultan Hamid ini juga dikenal karena kemampuannya dalam berdiskusi menggunakan berbagai bahasa asing. Beliau lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau menerima pendidikan Barat di Singapura dan Batavia, sekarang Jakarta, setelah itu ia menyelesaikan pelatihan sekolah perwira tinggi di Royal Akademi Militer di Breda Belanda.

Sultan Hamid II sang pemimpin Pontianak berdiskusi sebelum duduk dengan Ida Anak Agung Gde Agung, Raja Gianyar (sekitar tahun 1949). SUltan Hamid II merupakan negosiator yang handal yang mampu menaklukan diplomasi lokal dan internasional karena mampu berbahasa Inggris, Belanda dan arab dengan sangat baik.

Sampai usia 12 tahun, Hamid bersekolah dan dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia Salome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis di Singapura. Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal namun Hamid masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis.

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan BandungHBS di Bandung satu tahun, THSBandung tidak tamat, kemudian KMA di BredaBelanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan MalinoDenpasarBFOBFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Pak Max Alkadrie merupakan anak dari Sultan Hamid II yang merantau dan menetap di Belanda. Blog beliau bisa dibaca di: http://www.maxalkadrie.nl

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa dan kelihaian negosiasi Sultan Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak yang beliau pimpin beserta kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat mau ikut bergabung menjadi bagian utuh dari Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat juga sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 19471950Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.

Sultan Hamid II juga menikah dengan seorang wanita Belanda bernama Didi van Delden, putri bungsu dari seorang administrator Belanda yang menjabat kepala perkebunan kopi dan teh di Indonesia. Walaupun kesetiaanya para negara tak terbantahkan, situasi politik justru menuduh beliau ikut pemberontakan melawan pemerintahan Sukarno. Hal ini namun tidak terbukti, akan tetapi beliau sudah terlanjur selama dua belas tahun dipenjara sebagai tahanan politik Presiden Sukarno.

Kesultanan Kadriyah Pontianak yang menjadi wilayah kerajaan Sultan Hamid II sendiri sebenarnya merupakan sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan langsung Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Sultan Syarief melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Pontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.


Sumber:

wikipedia