Sebuah kepulauan berjarak 40 kilometer di sebelah barat Western Australia menawarkan pemandangan yang spektakuler. Namun, salah satu pulau di antaranya menyimpan rahasia yang tidak seindah pemandangan tersebut.
Karena kisah sejarahnya, pulau di Lautan Hindia itu pun dinamai “Murder Island” yang berarti “Pulau Pembunuhan”.
Alasannya, sekitar 400 tahun lalu, pulau itu menjadi tempat pembunuhan massal pertama dan terbesar di seluruh wilayah Australia, demikian menurut laporan acara 60 Minutes Australia.
Dikutip dari news.com.au pada Rabu (13/11/2019), para peneliti pernah konstan menggali kerangka-kerangka lengkap yang dikuburkan di pulau pada 2017 lalu.
Temuan itu diduga berasal dari pemberontakan pada 1629 yang terjadi di kapal Batavia milik Belanda yang karam setelah menabrak karang di dekat Houtman Abrolhos Islands, bagian dari rangkaian 122 pulau kecil.
Sekitar 40 orang mati tenggelam ketika mencoba berenang ke darat. Akan tetapi, mereka yang selamat dan berhasil tiba di Beacon Island, Australia, dihadapkan kepada nasib yang lebih buruk.
Selagi menunggu pertolongan, sebanyak 125 pria, wanita, dan anak-anak dibantai oleh para awak yang memberontak selama tiga bulan kemudian.
Beberapa wanita sengaja dibiarkan hidup untuk diperkosa dan disiksa berulang kali. Kejadian itu seakan menjadi kisah nyata buku Lord of the Flies karangan William Golding.
Buku itu berkisah masa Perang Dingin yang mengangkut anak-anak ke tempat aman. Namun, pesawat mereka mengalami kerusakan dan mendarat di pulau tak berpenghuni. Di situ, sisi gelap manusia terkuak ketika menghadapi marabahaya.
enjelaskan bahwa tanah yang memiliki sifat kimia sebagai alkaline telah membantu pengawetan tulang-belulang tersebut.
Ada satu hal yang menarik terkait temuan kerangka seorang pria. Tulang-belulangnya amat kokoh. Ada banyak tanda-tanda yang mengungkapkan bahwa ia memiliki otot-otot yang kuat, demikian menurut ahli “detektor tulang” itu.
Para awak pemberontak yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal yang dimaksud akhirnya ketahuan dan dihukum mati di tiang gantungan.
Akan tetapi, belum diketahui berapa banyak korban yang dikubur dalam pasir pulau itu. Ekskavasi masih terus dilakukan.
Batavia dibangun di galangan kapal Amsterdam pada 1628 dan dipersenjatai 24 meriam dan senapan pistol perunggu.
Kapal layar milik Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu karam dalam pelayaran perdananya.
Batavia mengangkat sauh dari Pelabuhan Texel Belanda pada 27 Oktober 1628. Kapal yang dikomandani pedagang kawakan bernama Francisco Pelsaert itu membawa batangan perak dan emas dalam jumlah besar.
Logam-logam berharga itu hendak dipertukarkan dengan rempah-rempah di Hindia Belanda, kawasan yang di kemudian hari menjadi Indonesia.
Ada hal tak beres terdeteksi sejak awal pelayaran. Di antara 341 awak dan penumpang, ada sejumlah orang yang menonjol karena pembawaannya yang tak biasa, misalnya sang wakil komandan kapal sekaligus nakhoda, Ariaen Jacobsz. Diduga, ia dan Pelsaert pernah bertemu di Surat, India.
Sosok lain yang mencurigakan adalah pedagang muda bernama Jeronimus Cornelisz, seorang apoteker yang bangkrut dari Haarlem dan dituduh sebagai penganut aliran sesat.
Tak lama setelah pelayaran dimulai, Jacobsz dan Cornelisz saling mengenal, dekat, bahkan kemudian bersekongkol mengambil alih kapal. Mereka mengincar emas dan perak yang menjadi muatan kapal.
Emas dan perak digadang-gadang menjadi bekal memulai hidup baru di tanah jauh. Keduanya kemudian meyakinkan sejumlah orang untuk bergabung dalam persekongkolan itu.
Pada 4 Juni 1629, Batavia menabrak karang di dekat Pulau Beacon di rangkaian Kepulauan Abrolhos.