Mengingat pendidikan dokter yang mahal dan lama terus gaji dokter umum demikian kecil, Kami memberikan informasi demikian.
Sebagai pasien anda pasti merasakan perbedaan sebelum tahun 2014 dan setelah 2014.
- Sebelum 2014, berobat tidak antri, bisa minta obat apa saja, namun anda bayar.
- Sesudah 2014, antri panjang, dan obat sesuai aturan, namun tidak bayar, atau bayar murah bulanan.
Kenapa 2014 jadi antri panjang?
Karena dokternya sedikit. Hanya ada 1 untuk 5000 pasien populasinya. Kenapa dokternya sedikit? Karena mampunya hanya segitu yang disewa. Lebih dari itu, yang membayar tidak kuat. Uangnya kurang.
Ibarat kata jika 200–250 juta penduduk Indonesia, si pembayar hanya membayar 50.000 dokter umum untuk melayani.
Efeknya:
- Dana yang ada jadi cukup untuk membayar. Karena hanya 50.000 dokter yang perlu dibayar. Untuk handle 200–250 juta populasi
- Antrian dan kualitas layanan sesuai dengan logika 1:5000.
- Berbeda dengan kualitas 1:1000. Hal ini tertuang di WHO, 1:1000. [1]
- Jadi jangan disamakan, atau kalau saya boleh bilang, tidak bisa diprotes tentang kualitas layanan. Karena dari logika sederhana saja sudah kelihatan.
- Padahal sebenarnya ada 120.000 dokter umum di Indonesia. Yang artinya bisa bikin rasio jadi 1:2000.
- Akibatnya 70.000 an dokter umum tidak terlibat, didalam yang 90% ini.
Maka seolah olah supply tinggi, demand kurang. Karena sejak 2014, penentu demand adalah pembayar. Bukan pasien.
Pembayar juga hanya menyesuaikan dengan dana yang ada. Sambil mencari cara bagaimana agar tetap bisa jalan, walau tidak ideal.
Itulah sebab sejak 2014, akan ada (banyak) dokter umum yang gajinya rendah. Mungkin 40% dari dokter umum.
Kalau anda kebetulan ketemu dokter umum yang makmur, itu antara dokter lama, orangtua udah kaya, atau masuk dalam 50.000 dokter tadi, atau punya bisnis lain (segelintir) seperti public figure, atau jualan sepatu, bahkan herbal.
Kuliah mahal tidak otomatis membuat gaji mahal, pekerjaan sulit juga demikian, tidak otomatis. Kuncinya supply demand.