Kawaii merupakan ungkapan kualitas ke’imut’an atau cuteness dalam konteks budaya Jepang. Kawaii culture atau konsep budaya “kawaii” ini memiliki pengaruh pada beragam produk, termasuk permen dan snack asal Jepang yang juga populer di Indonesia, seperti Hi-Chew, Koala’s March dan Hello Panda. (inggris: cute) Karakter kawaii ini bisa ditargetkan pada anak-anak dan juga orang dewasa, bisa juga ditambahkan ke produk dengan menambahkan fitur imut, seperti hati, bunga, bintang dan pelangi. Unsur-unsur kawaii nan lucu dapat ditemukan hampir di mana-mana di Jepang, mulai dari bisnis besar hingga pasar pojok dan kantor pemerintah, bangsal, dan kota nasional. Banyak perusahaan, besar dan kecil, menggunakan maskot lucu untuk mempresentasikan barang dagangan dan jasanya kepada publik.

Pensil mekanik menjadi sukses di Jepang dengan beberapa perbaikan pada tahun 1915 oleh Tokuji Hayakawa.

Secara historis, budaya Kawaii sudah ada sejak masa Jepang kuno, yang kemudian tenggelam dimasa perang antar samurai (Sengoku) yang mengutamakan budaya maskulin. Seiring dengan maraknya penggunaan pensil mekanikal pada tahun 1970an, para pelajar gadis remaja di Jepang pun memulai trend menulis dengan karakter emoji (emoticon seperti: 🙂 ataupun n_n). Pensil mekanikal menghasilkan garis yang jauh lebih halus daripada tulisan tradisional Jepang dan gaya penulisan baru yang kawaii pun muncul, di mana para gadis menulis karakter besar dan bulat yang disertai dengan gambar kecil lucu.

Secara ilmu bahasa, kata kawaii dalam bahasa Jepang awalnya berasal dari ungkapan 顔 映 し kao hayushi, yang secara harfiah berarti “wajah seseorang” agung, “biasa digunakan untuk merujuk pada pipi yang kemerahan atau wajah memerah. Morfem kedua adalah serumpun dengan -bayu di mabayui (眩 い, 目 映 い, atau 目 映 ゆ い) “menyilaukan, melotot, cemerlang, mata yang bersinar; mempesona” (ma- dari 目 saya “mata”) dan -hayu di omohayui 面 映 い atau 面 映 ゆ い) “malu / memalukan, canggung, merasa tidak sadar / membuat orang merasa tidak sadar diri sendiri” (omo- adalah dari 面 omo, kata kuno untuk “wajah, penampilan, ciri, permukaan, kemiripan, sisa-sisa “). Seiring waktu, maknanya berubah menjadi makna modern “imut”, dan pengucapannya berubah menjadi か わ ゆ い kawayui dan kemudian ke か わ い い kawaii modern. Hal ini paling sering ditulis dalam hiragana, tapi ateji, 可愛 い, juga telah ditambahkan. Kanji di ateji secara harfiah diterjemahkan menjadi “bisa dicintai, bisa / mungkin cinta, dicintai.”

Sebagian besar orang Jepang menganggap masa dewasa adalah masa kerja keras. Kesan paling besar tentang kedewasaan adalah bahwa hal itu melibatkan tanggung jawab, yang bukan hanya tanggung jawab individu, tapi spesifik, tanggung jawab kepada masyarakat, kepada keluarga seseorang. Oleh karena itu, budaya kawaii mungkin bisa dikategorikan semacam pemberontakan atau penolakan untuk nilai sosial dan kenyataan orang Jepang yang sebenarnya kaku dan penuh struktur.

Budaya Kawaii ala Jepang ini juga menjadi acuan para remaja di sana untuk memiiliki barang dan aksesoris yang imut dan lucu-lucu.

Namun dalam pengertian lain, Kata benda adjective (kata sifat yang menjelaskan kata benda) standar Jepang Standar か わ い そ う kawaisō (sering ditulis dengan ateji sebagai 哀 相 atau 可 哀 想) “kasihan, menyedihkan, membangkitkan belas kasihan, miskin, sedih, maaf” (secara etimologis dari 顔 映 様 “menghadapi / memproyeksikan, memantulkan, atau mentransmisikan cahaya, tersipu / tampak, penampilan “). Bentuk kawaii dan turunannya kawaisō dan kawairashii (dengan sufiks -rashii “-seperti, -ly”) digunakan dalam dialek modern untuk berarti “memalukan / malu, memalukan / malu” atau “baik, bagus, bagus, bagus, luar biasa , indah, mengagumkan “di samping arti standar” menggemaskan “dan” menyedihkan. ”

Mungkin dikarenakan oleh homogenitas ras dan penduduk di JEpang pada masa lalu, trend dan desain Kawai dari setiap benda dan aksesories pakaian pun bergeser menjadi norma umum masyarakat Jepang untuk menilai daya tarik dari orang, hewan, benda maupun bentuk fisik mahluk hidup maupun benda mati. Budaya Kawaii ini menjadi hal unik dan membuka peluang industri hiburan anime, kartun dan komik manga moderen di Jepang. Kesukaan akan budaya Kawaii ini juga tidak semata terpaku pada jenis kelamin, umur dan latarbelakang orang Jepang yang melihat. Kawaii dan penyebutannya bisa berlaku dan disebutkan oleh siapapun, dari anak-anak hingga kakek-nenek.

Karakter Pokemon sudah mewakili Kawaii culture dari buday Jepang ini.

Masih bingung dengan budaya Kawaii Jepang? Sebenarnya, di Jepang, penyebutan kawaii atau biasa disebut dalam bahasa indonesia imut, biasa dipakai dan diterima oleh pria dan wanita disana.  Sebuah studi oleh Kanebo, sebuah perusahaan kosmetik ternama di Jepang, menemukan bahwa wanita Jepang berusia 20 dan 30an menyukai “penampilan imut” dengan “wajah bulat kekanak-kanakan”.

Wanita juga menggunakan tampilan polos dan innocent  untuk lebih jauh memainkan gagasan tentang kawaii ini. Memiliki mata yang besar adalah satu aspek yang mencontohkan nilai penampilan innocent; Karena itu banyak wanita Jepang berusaha mengubah ukuran mata mereka dan melakukan tata rias dan bahkan operasi kosmetik ringan. Untuk menciptakan ilusi ini, wanita mungkin memakai lensa kontak yang besar, bulu mata palsu, riasan mata dramatis, dan bahkan memiliki blepharoplasty Asia Timur, yang umumnya dikenal dengan operasi kelopak mata ganda.

Budaya pop Jepang moderen juga menampilkan banyak pernak pernik dan idola artis berdandan ala budaya kawaii, sementara “mode Lolita” adalah tren populer yang terjadi menurut pemikiran orang Barat. Di sekitar pertokoan stasiun MRT Harajuku di Jepang, budaya fashion dan barang kebutuhan sehari-hari pun didesain dengan ‘aturan’ kawaii. Bahkan gulungan tisu toilet ataupun desain toaster roti yang dijual disana memiliki wajah imut karakter beruang atau anime.

Sebuah lokomotif uap tua bernama JNR Class C11 dicat ulang sebagai Thomas the Tank Engine di Jepang, 2014 untuk menarik minat wisatawan. Karakter Thomas the Tank Engine yang bisa digolongkan sebagai cerminan budaya Kawaii ini sebenarnya adalah lokomotif uap fiksi dalam buku Seri Kereta Api oleh Pendeta Wilbert Awdry dan putranya, Christopher yang berasal dari Inggris.