erbicara tentang perkosaan, siapapun bisa menjadi korban serangan atau kekerasan seksual dari seorang predator seksual terlepas dari usia, jenis kelamin, orientasi seksual, juga status ekonomi. Seorang balita berusia 3 tahun di New Delhi pada Desember 2018 diperkosa oleh satpam gedung tempat dia tinggal, dari berita itu kita tahu bahwa korban bisa balita, bahkan dari berita korban bisa saja nenek-nenek.
Berita lain terkait pemerkosan misalnya yang terjadi di Lampung. Perkosaan dialami oleh perempuan 18 tahun yang memiliki kondisi keterbelakangan mental. Ia diperkosa oleh bapak dan kedua saudara kandungnya. Di tempat lain, Richard Huckle asal Inggris memperkosa sekitar 200 anak di Malaysia dan Kamboja dengan dalih ajar Bahasa Inggris atau ketika volunteer menjadi fotografer.
Baru-baru ini Manchester juga digegerkan oleh predator seksual Reynhard Sinaga, mahasiswa asal Indonesia yang baru dijatuhi hukuman seumur hidup karena melakukan perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria Inggris.
Beberapa kasus memperjelas bahwa pelaku bisa siapa saja, bahkan mahasiswa bergelar doktor sekalipun. Termasuk korban yang bisa siapa saja tidak pandang usia.
World Health Organization pada tahun 2002 mendefinisikan pemerkosaan sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan yang sah (consent) yang dilakukan dengan paksaan secara fisik atau dipaksa penetrasi di bagian vulva atau anus, dengan menggunakan alat kelamin atau bagian tubuh lain. Pemerkosaan terjadi karena adanya hubungan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan (consent).
Dengan memahami persetujuan (consent) kita tahu bahwa yang terlibat dalam aktivitas seksual harus dalam keadaan sadar penuh (tanpa dipengaruhi zat-zat tertentu) dan orang-orang yang terlibat semuanya sepakat. Entah itu terkait umur legal, kebersihan ketika melakukan aktivitas seksual, dan lainnya. Yang terlibat juga harus saling mengkomunikasikan dengan jelas keinginan mereka dan saling izin sebelum mengakses tubuh satu sama lain. Apabila tidak dilakukan maka terjadi yang namanya pemaksaan dan pemerkosaan yang merupakan kekerasan seksual.
Mengapa predator seksual melakukan kekerasan seksual?
Pada tahun 2011, Raymond A. Knight, Ph. D merepresentasikan hasil penelitianya yang berjudul Preventing Rape: What the Research Tells Us; tentang mengapa predator seksual melakukan kekerasan seksual. Dari penelitiannya dijelaskan bahwa rata-rata profil pemerkosa bukan karena memiliki hasrat seksual yang tidak bisa dikontrol, melainkan karena memiliki fantasi untuk menaklukan tubuh seseorang secara seksual. Pelaku melakukan kekerasan seksual karena ingin mengontrol korban dan ingin menghapus otonomi tubuh korban.
Pemerkosa memilih korban karena ada kesempatan untuk dijadikan target yang bisa dikendalikan oleh predator seksual. Pelaku mengetahui kerentanan situasi mental korban. Pelaku ingin merenggut hak seseorang dengan cara menikmatinya di atas penderitaan korban. Ia akan memperlakukan korban sebagai objek pemuas hasrat dan bukan lagi sebagai manusia yang memiliki dan berhak atas kedaulatan tubuhnya.
Sexual assault is not a crime of passion, driven by a strong desire for sex; it is a violent crime driven by a desire for dominance. Most perpetrators of sexual assault have access to consensual sex with someone other than the victim.
(Huff Post World, 16 November 2011)
Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa semakin korban dipandang tidak sederajat, semakin pelaku ingin mendominasi korban.
Kasus perkosaan di berbagai negara banyak yang tidak dianggap serius oleh hukumnya. Korban masih sering diragukan dan diminta untuk membuktikan perkosaan yang dia alami. Padahal yang seharusnya membuktikan adalah si pelaku atau predator kekerasan seksual. Banyak korban yang tidak mau datang ke polisi untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya karena sudah takut duluan akan dihakimi dikenai stigma sebagai orang yang kotor, dan rusak.
Beberapa yang masih melakukan penghakiman terhadap korban biasanya menggunakan alasan pakaian dan perilaku korban yang agresif mengundang diperkosa. Padahal tidak ada korban yang berfantasi diperkosa. Beda dengan orang yang berfantasi adegan seks yang agresif seperti BDSM, mereka tahu dan paham bahwa itu musti dilakukan dengan pasangan yang juga setuju melakukannya. Lebih lanjut, apabila ada hal yang mengancam sebelum, ketika, dan sesudah aktivitas seksual mereka akan menghentikannya karena saling menghormati keputusan masing-masing tubuh yang terlibat. Beda dengan pemerkosa yang tidak dapat mengontrol kekerasan bahkan menghentikannya.
Korban akan mengalami trauma panjang selama hidupnya. Itu menjadi salah satu pendukung mitos yang menyatakan bahwa korban tidak usah mengingat dan mengungkapkan perkosaan yang dialaminya. Padahal apabila ditangani oleh orang atau lembaga sosial terkait yang profesional, justu korban harus diberikan kesempatan untuk bicara tentang penyerangan yang dialaminya. Karena dengan diberikannya kesempatan untuk bicara (mulai tertutup atau publik), korban akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan pemulihan dari trauma akibat pemerkosaan.
Mitos yang mengatakan bahwa pemerkosaan hanyalah urusan seksual dibantah melalui pemahaman korban atas apa yang dirasakan setelah diperkosa. Bagi korban, perkosaan adalah kejahatan kriminal yang merenggut hidup mereka. Perkosaan adalah suatu kejahatahan kriminal yang dampaknya merugikan korban tidak hanya fisik melainkan psikologis selama hidupnya.