Pernahkah saat kamu ke wilayah kota Jakarta mengunjungi kawasan Karawaci ? Takukah kamu sejarah mengenai kawasan Karawaci ? Mengapa kawasan Karawaci di Jakarta menjadi milik orang Cina ?

Pada zaman sebelum Indonsia merdeka tepatnya saat masih ada VOC, kawasan Karawaci merupakan suatu Distrik yang terbentuk sebagai bagian dari “tanah pribadi”, atau domain pribadi, dari Oey Djie San, seorang Kapitein der Chinezen (Kapitan Cina) di Tangerang yang menjabat 1907-1925. Hal ini dapat ditelusuri lewat dokumen eigendom acten Karawatji atas nama keluarga Oey.

Selain sebagai Kapitan Cina, Oey Djie San juga sekaligus berfungsi sebagai tuan tanah daerah Karawatji ini, yang dulu masih berupa rawa-rawa. Oey Djie San kemudian mengajak masyarakat sekitarnya untuk menggarap rawa-rawa yang ada untuk menjadi lahan persawahan, perkebunan karet dan perkebunan kelapa. Tanah garapan ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan Cina, itu sebabnya muncul istilah Kampung Rawa Tjina yang kemudian dianggap sebagai kepanjangan dari nama Karawatji/Karawaci, sebutan ini juga makin diperkuat dengan adanya lalu lalang orang Tionghoa dan hasil perkebunan yang cukup ramai pada masa itu.

Tetapi jika kita ingin menilik lebih jauh lagi ke belakang, di awal abad ke-18, saat daerah itu masih berada di bawah pimpinan Gubernur Jenderal VOC bernama Jeremias van Riemsdijk, tanah-tanah rawa hasil garapan yang kemudian berkembang menjadi kampung Cina atau kampung lainnya, sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya, walaupun tidak spesifik diberi nama Kampung Rawa Cina.

Berdasarkan peta yang dikeluarkan Pemerintah VOC pada tahun 1788, tanah-tanah partikelir seperti Karawatji ini memang cukup banyak pada waktu itu dan sudah mencapai sungai Karawang/Tjitaroem di timur dan sungai Tangerang/ Tjisadane di barat.

Jadi sebelum daerah Karawatji memiliki nama yang mungkin bersumber dari istilah ‘Kampung Rawa Tjina’ ini, berabad-abad lalu daerah ini dikenal dengan sebutan Partikeliir Land atau Part. Land yang bermakna ‘tanah sewaan’.

Kalau mau lebih spesifik lagi, daerah sekitar Karawatji ini dulu disebut dengan nama Grendeng. Setelah nama daerah Karawatji terbentuk, nama daerah Grendeng sering disebut dengan Karawatji Ilir.

Tanah-tanah di Karawatji pada masa itu banyak dibeli dan diolah oleh orang Eropa dan Tionghoa. Tetapi ada juga perkebunan besar di Karawatji yang dikuasai VOC secara monopoli, misalnya seperti perkebunan yang dimiliki oleh Mohamad Idries dan Kaon Pandak.

Tambahan:

  • Belakangan tekanan kerja dan pajak yang ditetapkan VOC sangat memberatkan rakyat dan juga para pemilik / pengelola tanah partikelir, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan kaum petani pada tahun 1888 yang diikuti oleh beberapa tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama seperti Kyai Munira, Kyai Haji Imbron, dan Kyai Ageng alias Haji Abdul Karim, bersama dengan tokoh-tokoh Tionghoa serta para pemilik tanah lainnya juga andil dalam persiapan pemberontakan ini, termasuk Tumenggung Karawatji pada waktu itu dan pengikutnya. Pemberontakan ini gagal dan dipadamkan oleh pihak kolonial.
  • Sebagian daftar transaksi stadslanden, tanah-tanah partikelir ini pernah dilampirkan dalam pidato Menteri Dalam Negeri saat berbicara di depan parlemen tentang UU pembelian tanah partikelir di Jakarta tahun 1953.