Babi di berbagai tempat di Papua bukanlah hanya sumber pendapatan belaka. Babi juga menjadi simbol status kekayaan di dalam adat. Babi dipergunakan dalam acara ‘tukar daging babi’ dan dagingnya selalu menjadi menu utama dalam setiap acara pesta jamuan yang mereka adakan.
Babi adalah sumber protein hewani dan bagian dari ritual. Babi peliharaan telah dan tetap menjadi simbol prinsip nyata akan kemakmuran material di wilayah pegunungan Papua. Pembantaian sejumlah besar babi masih merupakan bagian penting dalam ritual setempat, sebagai tolak ukur kemakmuran sosial dan ekonomi. Tradisi menyantap babi telah menjadi ikatan sosial dan religi bagi penduduk Papua secara luas.
Pembagian daging babi yang sudah dimasak menentukan besarnya nilai pentingnya tradisi mereka dalam melaksanakan ikatan antara marga. Sepanjang perayaan masyarakat Papua di dataran tinggi akan mengkonsumsi daging dalam jumlah besar.
Di dataran tinggi, mengebiri babi jantan dengan pisau saat baru berusia beberapa minggu adalah hal umum. Babi jantan yang dikebiri biasanya mudah diatur, jauh lebih mudah bagi wanita untuk mengurusnya. Hanya sejumlah kecil babi jantan yang tidak dikebiri demi kepentingan pembiakan. Babi hutan liar jarang ditemukan dekat kawasan pemukiman untuk dijadikan pejantan bagi ternak betina.
Dalam tradisi masyarakat pegunungan Papua, babi menjadi simbol kekayaan, bahkan lambang kekuasaan. Babi merupakan prasyarat utama dalam setiap pesta kawin maupun pesta jamuan. Untuk pesta kawin, babi termasuk mas kawin yang sangat penting nilainya. Dalam jamuan, daging babi dibagi-bagikan sebagai simbol persaudaraan dan persekutuan. Memasak babi serta memerciki para tamu dengan darah babi sebagai tanda persahabatan.
Suku Dani tidak makan daging babi setiap hari. Orang Dhani jarang memotong babi hanya dengan tujuan hanya ingin makan dagingnya. Memotong dan memakan babi selalu terikat pada peristiwa sosial yang penting, seperti upacara pembakaran mayat, perkawinan, dan upacara inisiasi. Kecuali kalau babinya mengidap penyakit atau merupakan hasil curian; dalam hal tersebut dagingnya harus dikonsumsi secepat mungkin. Kesempatan memakan babi yang paling sering berulang adalah pada upacara pembakaran mayat.
Kesempatan unik lain dimana setiap orang baik laki maupun perempuan ataupun anak memakan babi selama beberapa minggu berturut-turut adalah pada pesta babi besar yang diadakan secara berkala.
Di wilayah dataran tinggi, jumlah babi yang dibunuh secara langsung menjadi tolok ukur tentang seberapa penting orang yang meninggal. Semakin banyak babi yang dipelihara, semakin tinggi pula gengsi serta nilai kekayaan pemiliknya. Sebagian dari kekayaan ini biasanya digunakan untuk memperbanyak jumlah istri yang menandakan meningkatnya poligami termasuk peningkatan status dan pengaruh politik.
Dalam upacara adat suku Dhani, seperti perkawinan, kematian, pelantikan kepala suku, penyambutan tamu, pesta panen, dan festival budaya, babi (wam) dan ubi jalar atau disebut dengan sebutn petatas dimasak dengan cara ”bakar batu” (wam ebe ekho). Suku Dhani membunuh babi dengan cara menembaknya dari jarak sekitar 10 cm dengan sebuah anak panah yang diarahkan tepat pada jantungnya.
Persiapan bakar batu itu diawali dengan pemanasan batu-batu dalam perapian dan pemotongan babi-babi dalam bagian-bagian kecil. Batu-batu yang sudah sungguh panas itu kemudian diambil dengan sebuah ‘tang alami” (berupa dua potong kayu) dan diletakkan ke dalam lubang di tanah sebagai lapisan pertama.
Di atasnya kemudian diletakkan daun-daun pisang dan kemudian diatasnya lagi lapisan pertama dengan umbi-umbian yang disebut dengan sebutan petatas. Sayuran dan bagian-bagian daging babi yang kemudian ditutupi kembali dengan dedaunan.
Kemudian ditaruh lapisan kedua batu-batu panas, kemudian dedaunan, lapisan kedua bahan makanan kemudian ditutupi kembali dengan batu-batu panas. Demikianlah seterusnya dan di bagian paling atas batu-batu panas kembali. Bukit batu panas ini kemudian dibiarkan memasak selama dua jam dan kemudian dibuka. Kamu jadi tahu bahwa di Indonesia ternyata babi bernilai baik bagi beberapa budaya suku.