Kesuksesan adalah hak semua orang. Orang yang sukses memiliki beberapa hal yang mendukung mereka untuk sukses seperti peluang, keberutungan, dukungan, relasi keluarga hingga status sosial.

Beberapa studi Kasus yang kami temukan dari berbagai sumber menyatakan bahwa:

  1. Ada anak yang berasal dari keluarga miskin, namun menerima dukungan pendidikan. Dia beruntung dalam hal ini, karena tumbuh dalam keluarga yang memiliki kesadaran atas pentingnya pendidikan meskipun memiliki kemampuan finansial yang rendah atau cenderung tidak punya.
  2. Ada anak yang berasal dari keluarga miskin, akan tetapi tidak menerima dukungan pendidikan. Keluarganya berprinsip; Makan aja susah, mengapa sekolah? Lebih baik kerja. Si anak akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan, meskipun ada keinginan.
  3. Ada anak yang berasal dari keluarga miskin, akan tetapi tetap melanjutkan pendidikan meski terkatung-katung dengan permasalahan biaya, dalam kondisi tidak ada sedikitpun menerima dukungan materil dan moril dari keluarga. Dia bertindak atas kesadarannya sendiri dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih baik dan agar mampu memutus rantai kemiskinan yang ada di keluarganya.
  4. Ada anak yang berasal dari keluarga miskin, yang mana dia tidak memiliki dukungan dari keluarga dan dia berencana untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berbeda dengan nomor 3, dia kehilangan kesempatan sedari awal berjuang. Contohnya, ketika mau ikut tes ujian masuk PTN, dia tidak memiliki uang untuk membayar formulir. Kalaupun ada uangnya, bagaimana dengan tes yang akan diselenggarakan di luar kota? Biaya transportasi ke sana? Penginapannya bagaimana? Uang makan? Mengingat keluarga tutup telinga dengan mimpinya. Akhirnya, dia pun gagal menjadi peserta SBMPTN.
  5. Ada anak miskin yang menerima dukungan keluarga untuk melanjutkan pendidikan. Dia lalu berusaha berjuang untuk memenangkan 1 kursi pada SBMPTN dengan segala keterbatasan persiapan yang dia punya. Di saat teman-temannya yang lain membayar Jasa Bimbel hingga puluhan juta, dia hanya mampu belajar menggunakan kisi-kisi soal yang diunduh dari internet. Dalam ujian tes masuk perguruan tinggi, berlaku yang namanya “siapa yang kuat, dia yang menang”. Akhirnya, persiapan yang serba apa adanya tersebut membuat dia gugur.
  6. Ada anak yang berasal dari keluarga miskin, pintar dan berprestasi. Dia menerima dukungan keluarga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dia lalu mencoba peruntungan pada program SNMPTN (jalur rapor). Akan tetapi, kursi yang seharusnya menjadi miliknya, direbut oleh anak orang kaya yang menggunakan kekuatan orang dalam. Dia akhirnya dinyatakan gagal dalam seleksi SNMPTN tersebut.
  7. Ada anak miskin yang gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dia cukup sadar diri untuk tidak mendaftar ke Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bagus yang ada di Pulau Jawa. Dia lalu memutuskan kuliah di kampus swasta biasa yang ada di daerahnya. Selesai lulus, dia dihadapkan dengan kerasnya persaingan dunia kerja, di mana dia harus memperebutkan lowongan melawan orang-orang yang almamaternya selalu menjadi pertimbangan utama. Dia gagal setelah puluhan kali mencoba memasukkan lamaran, hingga akhirnya dia berhasil diterima di sebuah pekerjaan dengan gaji yang hanya terhitung cukup.

Kamu tahu kisah sukses Raeni anak tukang becak?

Raeni memiliki ayah bernama Mugiyono yang bekerja sebagai pengayuh becak. Dilansir dari banyak sumber, Raeni merupakan lulusan terbaik Jurusan Pendidikan Akuntansi, Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada tahun 2014 lalu. Tepat pada prosesi sakral pengukuhan gelar akademiknya, dia diantar sang ayah dengan menggunakan becak. Ini adalah awal mula dari nasib baiknya yang kita lihat hari ini. Dia viral se-Indonesia karena dinilai sangat menginspirasi; Anak Tukang Becak Berhasil Menjadi Lulusan Terbaik. Tak berhenti di situ, Pak Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono lalu memberikan Raeni beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Birmingham, Inggris pada program S2 dan berhasil lulus pada tahun 2016. Baru-baru ini, diketahui bahwa Raeni juga menyelesaikan pendidikannya pada program S3 di kampus yang sama, yaitu tempat dia merampungkan pendidikan S2.

Tidak. Saya tidak sedang menggunakan Raeni sebagai bahan motivasi. Ini ada kaitannya dengan studi kasus yang saya tulis di bagian awal. Orang-orang yang terlahir di level ekonomi yang sama, mereka memiliki situasi yang berbeda. Misal, ada anak tukang becak lain, dia sering menerima penghakiman: “Lihat dong si Raeni, dia juga anak tukang becak. Bisa aja tuh dia kuliah sampai S3 di Inggris”. Meskipun berstatus sebagai sama-sama anak tukang becak, kita tidak tahu bagaimana sikap orang-orang di sekitarnya. Apakah orang tuanya sama supportifnya dengan orang tua Raeni? Satu hal lagi, yaitu kecerdasan. Apakah kemampuan akademiknya sama dengan Raeni? Tentunya dalam hal ini otak juga berperan penting.

Ada banyak hal yang kita tidak bisa kendalikan. Kita tidak bisa memilih untuk tidak terlahir dalam keluarga miskin dan berada di sekeliling orang-orang dengan pola pikir tertinggal. Faktanya, dukungan orang-orang di sekitar membawa pengaruh terhadap keberhasilan seseorang. Dalam sebuah keluarga miskin, dukungan adalah sesuatu yang minim. Kita juga tidak bisa selalu bertindak sesuai keinginan kita. Mau daftar beasiswa? Sedikitnya tetap keluar uang untuk biaya print dan materai. Kalau kita sama sekali tidak punya uang untuk itu? Jadinya…gagal. Karena kehilangan kesempatan untuk kuliah, kita lalu bekerja dengan menggunakan ijazah SMA. Pekerjaannya apa? Tentunya tidak lebih baik atau mendapatkan posisi yang sama dengan lulusan perguruan tinggi. Orang-orang menyarankan agar pendapatannya ditabung untuk modal usaha? Yaelah bro, udah gaji pas-pasan, ngasih biaya makan orang serumah, trus sekolahin adek-adek juga, apanya yang mau ditabung?

Jadi, untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan adalah sebuah langkah yang tidak mudah. Seorang anak miskin tidak memiliki banyak pilihan untuk mengambil kesempatan. Ada dua faktor lain yang dibutuhkan selain kerja keras, yaitu: dukungan dan keberuntungan. Jika disurvei, (mungkin) orang seperti Raeni persentasenya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan orang seperti Jessica Tanoesoedibjo.