Hari ini adalah hari istimewa untuk seluruh bangsa Indonesia khususnya para wanita Indonesia. Tokoh wanita Indonesia yaitu R.A Kartini lahir pada hari ini, 21 April beberapa ratus tahun yang lalu. Meskipun beliau hidup pada jaman dulu, namanya masih dikenang dan perjuangannya masih dianggap berharga untuk kemajuan emansipasi wanita Indonesia. Kartini berharap dan telah berjuang membantu mengangkat derajad para wanita Indonesia di depan pria yang akhirnya tercipta kemajuan bangsa dan negara Indonesia karena pendidikan dan kepandaiannya.
Perjuangan Kartini tersebut sampai dengan jaman kemerdekaan seperti pada saat ini, rupanya belum sepenuhnya membawa kemerdekaan rakyatnya khususnya para wanita Indonesia. Kemerdekaan yang penulis maksudkan yaitu hal kesejahteraan yang diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Di Hari Kartini ini, penulis mengajak pembaca semuanya melihat dan meneladani sikap Kartini pada wanita Jepang yang sudah terbukti berperan membawa kemajuan negara Jepang menjadi negara termakmur di dunia, walau masih ada berbagai kekurangan atau ketidak sempurnaan. Disini, penulis sengaja tidak membicarakan kekurangan-kekurangan bangsa Jepang tetapi berusaha mengajak pembaca meneladani sifat-sifat positif masyarakat Jepang khususnya para wanitanya atau ibu-ibunya.
Sebagai gambaran yang membuktikan kesejahteraan Jepang, bisa dilihat secara regional yang tergolong paling sejahtera di dunia. Data dari METI Japan tahun 2004 menunjukkan negara dengan jumlah penduduk sekitar 126 juta jiwa itu, memiliki GDP tertinggi di dunia sebesar US$ 4.760 milyar (GDP US$ 37.800 per kapita). Bandingkan dengan AFTA (Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol dan Swedia) yang berpenduduk 376 juta jiwa dengan GDP US$ 7.837 milyar (GDP US$ 20.840 per kapita). Cina dengan penduduk 1.266 milyar jiwa mempunya GDP 1.080 milyar (GDP US$ 853 per kapita). Sedangkan ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja) berpenduduk 548 juta jiwa mempunya GDP 646 milyar (GDP US$ 1.179 per kapita)
Kesuksesan Jepang menyejahterakan rakyatnya tersebut pastinya tidak terlepas dari peran wanita-wanitanya atau para ibu di Jepang. Para ibu tersebut mengambil peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya.
Berikut ini bisa kita lihat data kualitas pendidikan di Jepang. Pada tahun 2001 terdapat 97.6% gadis Jepang tamat SMA. Sebanyak 48.5$ dari jumlah itu melanjutkan ke jenjang D3 dan S1. Pria Jepang yang tamat SMA sebanyak 96,3% dan yang selesai melanjutkan hingga selesai D3 dan S1 sebanyak 48,7% (Sumber: About Japan Series 5, Fact & Figure of Japan 2002, Foreign Press Centre Japan). Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Jepang sudah tinggi, hampir 100% penduduknya sudah menamatkan SMA, baik wanita dan prianya sama. Kesamaan tingkat pendidikan antara pria dan Jepang tersebut juga berada pada tingkat pendidikan tinggi, yang berarti separuh penduduk Jepang berpendidikan tinggi. Hal ini sekali lagi baik wanita maupun prianya.
Seperti yang diketahui semuanya bahwa pencapaian hasil yang sekarang tersebut adalah sesuatu yang telah diusahakan mereka-mereka di masa lampau bukan? Hal yang menarik dan perlu dipahami juga yaitu diantara mereka itu adalah para ibu-ibu Jepang yang usianya sudah di atas 50-60 tahun yang mendorong terus supaya putra putrinya agar selalu melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih baik.
Mereka adalah ibu-ibu Jepang yang justru saat itu hidup di tengah kondisi Jepang yang serba sulit. Mereka juga merupakan ibu-ibu yang bersemangat mendidik dan membesarkan putra putrinya di tengah berkecamuknya perang dunia dan paham imperialisme yang dianut Jepang pada saat itu. Pada pertengahan Agustus 1945, kota Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom yang membunuh banyak orang dan memporakporandakan seluruh kota. Kejadian itu bahkan sampai saat ini masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi rakyat Jepang. Waktu itu pula, dunia memperkirakan bahwa ekonomi Jepang tidak akan pernah bangkit sampai 200 tahun. Tetapi kenyataannya bisa kita lihat buktinya sekarang, hanya dalam waktu 25 tahun setelah itu, Jepang dapat memulihkan kondisi ekonominya.
Di Jepang, kita bisa mengamati sikap dan perilaku ibu-ibu Jepang dalam menjalani kehidupan berkeluarganya setiap hari. Sementara suami bekerja, para istri bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka. Dalam kapasitas dan perannya sebagai ibu rumahtangga inilah mereka membuktikan hidupnya demi kepastian keturunannya mampu bersaing memasuki sekolah-sekolah dengan pendidikan bermutu.
Permasalahan di atas tidak menyatakan bahwa 100 persen ibu-ibu Jepang melulu mengurusi rumahtangga dan anak-anaknya. Banyak diantara mereka juga berperan sebagai wanita karir yang harus bekerja penuh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama hasil yang didapat dari suaminya. Meskipun demikian, hal yang perlu kita perhatikan di sini yaitu faktanya jumlah ibu-ibu yang bekerja tiap tahunnya justru mengalami penurunan. Data pemerintah menunjukkan bahwa wanita Jepang yang berusia 27 tahun yang keluar dari lapangan kerja untuk alasan membesarkan anak justru malah mengalami peningkatan.
Pasti diantara kita bertanya-tanya atau meragukan apakah hanya dengan alasan untuk membesarkan dan mendidik anak saja mereka para ibu tersebut keluar dari kerjanya? Mereka beralasan seperti itu ternyata memang benar karena mereka percaya pendidikan anak di rumah yang dilakukan oleh ibunya sendiri akan sangat membawa hasil yang baik. Selain itu memang ada faktor-faktor lain yang mengharuskan mereka melakukan hal itu, misalnya karena di Jepang tidak ada pembantu seperti di Indonesia sehingga mau tidak mau mereka harus merawat sendirian dan mendidik anaknya dan juga melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, membersihkan rumah dan lainnya.
Penulis pernah bertanya kepada ibu-ibu muda Jepang bagaimana kalau mereka mempunyai pembantu yang bisa mengurus atau menangani pekerjaan rumah tangganya? Mereka ada yang menjawab sebenarnya menginginkan seorang pembantu, tetapi pekerjaan mengurus dan mendidik anak di rumah sangat ingin dilakukan sendiri dan tidak mau diserahkan kepada orang lain atau pembantu. Hal ini sangat berlainan dengan keadaan di Indonesia yang kebanyakan rumah tangga masih sangat mengandalkan tenaga pembantu dan malah si anak tidak jarang seharian hidup bersama pembantunya tanpa ada kegiatan pendidikan di rumah yang serius.
Di negara barat apabila perempuan berpendidikan akademis tetap tinggal di rumah untuk membesarkan anak akan dianggap sebagai “westing her talents” atau “membuang kemampuannya”. Di Jepang orang mempercayai bahwa seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalauopun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya mereka hanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anaknya pulang sekolah. Kegiatan itu tidak hanya memberi makan, tetapi lebih terarah membatu mereka menyelesaikan dan munguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat penyempurnaan atau kursus-kursuis yang di ambil.
Bilamana misalnya seorang ibu adalah wanita karir yang harus bekerja dan pulang ke rumah sore hari, mereka rela bekerja lagi urus pekerjaan rumah dan anaknya sampai malam-malam dan pada waktu ibu-ibu tersebut libur bekerja hari sabtu, mereka menggunakan waktu tersebut untuk mengantar dan jemput serta menemani anaknya belajar di tempat kursus-kursus sesuai dengan minat yang mereka tekuni. Dengan melihat permasalahan ini, bisa dikatakan hanya masalah urusan anak saja mereka sudah sangat sibuk.
Dari hal yang penulis uraikan di atas, dapat tersimpulklan bahwa perempuan Jepang membantu kemajuan bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Secara akademis, mereka berusaha belajar dan bersekolah justru bukan untuk kepentingan karir diri mereka sendiri. Mereka bersekolah justru agar bisa mengajari anak-anak mereka lebih baik. Sedangkan dari aspek sosialisasi, mereka mengajarkan anak-anak mereka bertingkah laku dengan kesopanan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai masalah ini, penulis bisa contohkan kejadian nyata di Jepang yang akhir-akhir ini sering disiarkan di televisi Jepang, yaitu seorang ibu bernama Kanazawa dengan giatnya rela mengajari anaknya layaknya guru di sekolah karena anaknya perempuan yang bernama Shoko mengalami sedikit gangguan mental dan susah bicara tetapi yakin anak tersebut bisa diajari. Ibu Kanazawa giat mengajar ilmu cara menulis kaligrafi huruf kanji kepada Shoko yang tidak bisa diterima di sekolah normal sampai akhirnya Shoko menjadi terkenal di Jepang karena prestasinya bisa membuat karya seni kaligrafi Jepang dengan mengherankan dan juga berkeliling Jepang untuk menyemangati banyak anak sambil mengajar kaligrafi. Sampai saai inipun Ibu tersebut dengan setianya selalu mendampingi Shoko karena susah bicara dan menjadi managernya.
Kisah kesetiaan ibu Jepang yang lain kepada pendidikan anaknya juga bisa dilihat dari cerita ibu muda bernama Imai Eriko yang merupakan penyanyi Jepang anggota grup musik terkenal yang bernama Speed. Imai rela cuti dari kegiatan menyanyinya beberapa waktu hanya khusus untuk mempelajari ilmu bicara bahasa isyarat karena anak laki-lakinya sejak lahir menderita tuna wicara. Dia dengn giatnya belajar dan mengajar anaknya bahasa isyarat sampai anak itu lancar berbicara dengan siapapun dengan bahasa isyarat khususnya dengan ibunya. Hal yang mengherankan malah Imai Eriko selain masih bekerja sebagai artis penyanyi, dia juga selalu muncul di televisi NKH dalam acara “Minna no Shuwa” yaitu acara khusus untuk penderita tuna wicara sebagai pembawa acaranya.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan pondasi pendidikan dan sosial yang sangat vital bagi kinerja kebangkitan bangsa. Merekalah yang berperan membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa untuk bangsanya sesudah kekalahan dalam Perang Dunia II. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional Jepang dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi suatu bangsa.
Di hari Kartini tahun ini, sesuai dengan cita-cita besar R.A Kartini untuk Indonesia, berharap para perempuan Indonesia khususnya ibu-ibu dan calon ibu dapat meneladani sikap Kartini pada perempuan Jepang.
Menjadi wanita karir memang baik dan penting tetapi berkarir untuk pendidikan dan masa depan anak-anaknya lebih penting.
Akhir kata mari kita ingat pesan terbaik dari tokoh perempuan dunia yaitu Mother Theresa yang mengatakan, “Pulanglah ke rumah, cintai mereka !”
Salam dan selamat hari Kartini dari Jepang
By: Tori Minamiyama, seorang Salaryman asal Japan