Di bawah lereng Gunung Kajar, Desa Dasun, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tiga petani garam larut dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka bekerja hening, tak mengeluarkan dialog apa pun.

Satu di antaranya sibuk menyiduk air dari sebuah lahan dan memindahkannya ke lahan yang lain. Dua lainnya memasang terpal di tanah petak selebar lebih dari 5 meter. Di sekitar ketiga petani itu tampak bertumpuk-tumpuk garam kering siap panen. “Garam ini dipanen pada sore atau pagi,” kata salah satu di antaranya, Sugeng, 40 tahun, yang akhirnya buka suara setelah disapa.

Inilah pemandangan Desa Dasun saban pagi. Para warga bekerja serius menambak garam. Tiga petani itu hanya sebagian kecilnya. Desa Dasun memang dikenal sebagai produsen garam terbesar di pesisir pantai utara alias pantura.

Petani garam di Desa Majungan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan sudah ada yang panen dua kali, namun garam mereka belum dibeli PT Garam

Wisatawan yang pergi ke Lasem biasanya akan mampir ke Dasun. Di sana mereka disuguhi sajian yang komplet dari sisi visual maupun sosial. Ada hamparan lahan tambak garam luas menyapu mata. Tak perlu terkejut. Pemandangan ini memang hampir dapat ditemui di semua lokasi di pesisir Lasem.

Lanskapnya indah beserta objek yang lengkap: alam, manusia dan aktivitasnya. Apabila beruntung, bisa bertemu dengan burung kuntul.

Ada yang lucu dari pertemuan Tempo pagi itu dengan ketiga petambak garam ini. Ketiganya mengaku bernama Sugeng. Sugeng paling muda berusia 40 tahun. Dua lainnya 45 dan 50 tahun. “Karena kami menggarap tanah milik Pak Sugeng, jadi nama kami akan jadi Sugeng,” kata Sugeng paling muda. Ketiganya mengerjakan 2 hektare lahan tambak.

Meski tampak diam dan serius menambak, mereka tak sungkan mengajari orang yang datang untuk ikut menggarap lahan garam. Sugeng paling tua menjabarkan alur menambak garam.

“Coba lihat, gerojokan itu,” ujarnya sambil menunjuk pipa yang dipompa dengan genset. Tampak air mengalir deras dari pipa itu. Air itu disedot langsung dari laut.

Air laut yang masuk ke lahan tambak tak langsung bisa mengendap menjadi garam. Petani kudu mengukur larutannya menggunakan alat tradisional bernama baumeter. Baumeter ini dimasukkan ke selongsong bambu. “Kalau mau mengukur kadar garamnya, masukkan air ke bambu,” kata Sugeng paling tua.

Air tua alias yang telah siap menjadi garam, kata Sugeng paling tua, biasanya memiliki kadar kekentalan 22-23. “Kalau masih 0, harus diputer dulu aliran airnya. Caranya ya digayung, dipindah dari satu lahan ke lahan lain.”

Air yang telah tua itu akan dialirkan ke petak-petak lahan beralas terpal. Di sanalah air laut akan mengalami proses pengendapan menjadi garam. “Biasanya 3-7 hari sudah jadi garam,” kata Sugeng paling muda.

Tiap-tiap petak akan menghasilkan kira-kira 350 kilogram garam. Sedangkan bila dijual ke pengepul, harganya Rp 1.000 per kilogram. Garam yang baik, kata Sugeng paling muda, adalah yang memiliki kristal berukuran besar. Warnanya pun lebih putih dan bersih, tidak tercampur lumpur dan kotoran lainnya.

Keseruan memanen garam ini menurut mereka hanya bisa dirasakan saat musim kemarau. Juni-Juli-Agustus adalah waktu terbaik menambak garam. Sedangkan saat hujan, ketiganya bakal gigit jari. “Jangankan panen, melihat matahari saja sudah syukur,” kata Sugeng.

source: tempo