Bimbingan belajar alias bimbel seakan menjadi hal ”wajib”, terutama bagi para pelajar dari SD hingga ke SMA, betul ga sih? Ada siswa yang menjawab perlu banget, tetapi ada juga yang bilang enggak. Disisi lain, pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Maklum, biaya masuk bimbel yang sudah ternama tidaklah murah, bisa mencapai jutaan rupiah. Ini artinya sama atau malah lebih mahal dari bayaran uang sekolah di SMA negeri dan swasta kelas menengah selama setahun. Duuuuh….
Bimbel bukan barang baru bagi dunia pendidikan di negara kita. Coba tanyakan soal bimbel kepada tante, om, atau orangtua, pasti minimal mereka pernah mendengarnya. Terlebih lagi ketika pada beberapa waktu lalu munculnya wacana penghapusan bahasa Inggris dari kurikulum SD yang patut dipertimbangkan efek untung dan ruginya. Jangan hanya mengedepankan pertimbangan emosional yang bersifat reaksioner tanpa menghiraukan manfaatnya yang bisa jadi lebih besar.
Alasan-alasan yang bersifat ilmiah, rasional, dan terukur sangat perlu sebagai dasar bagi keputusan yang dibuat sehingga bongkar pasang kurikulum tidak terjadi tiap kali menteri berganti.
Sesuai dengan Peraturan Mendiknas No 23/2006, standar kelulusan pembelajaran bahasa Inggris: siswa SD/MI adalah peserta didik yang harus mampu menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Inggris. Dari sini terlihat bahwa pembelajaran bahasa Inggris menuntut siswa SD dapat menggunakan empat alat indra sekaligus serta fungsi kognitifnya.
Pertanyaannya, apakah perkembangan kemampuan berbahasa anak usia 6-12 tahun ini akan terganggu? Soalnya, pada saat yang sama mereka juga harus menggunakan otak dan alat indranya untuk mempelajari bahasa lain: bahasa Indonesia. Lalu apakah bahasa ibu, dalam hal ini bahasa Indonesia, akan mengalami kekacauan jika pada saat yang sama mempelajari bahasa asing?
Sejak sekitar akhir 1970-an, bimbel sudah ada di kota besar seperti Jakarta. Tetapi, waktu itu bimbel sebatas ajang melatih siswa SMA yang akan mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Salah satu bimbel yang dikenal pada zaman itu adalah Siky Mulyono.
Pada 1990-an, keberadaan bimbel semakin menjamur. Sasaran mereka tidak hanya menjaring lulusan SMA yang akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN), tetapi mulai menarik pelajar kelas III SMA guna menyiapkan mereka mengikuti ujian nasional (UN).
Targetnya, peserta lulus UN dengan nilai bagus dan lolos seleksi masuk PTN. Malahan bimbel juga membuka bimbingan bagi siswa kelas X dan kelas XI dengan sasaran agar peserta mendapat nilai ulangan harian bagus dan naik kelas dengan nilai memuaskan.
Kepala Perwakilan Bimbingan & Pemantapan Belajar Quin, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, Eriza Sitohang menyatakan, bimbel sebenarnya hanya memenuhi kebutuhan belajar siswa.
”Kami banyak memberi latihan soal. Sering kali ada soal yang tak ada di sekolah, tetapi kami punya sebab kami memiliki tim penyusun soal sendiri,” tuturnya.
Selain itu, tutor di bimbelnya juga siap membantu siswa yang kesulitan menjawab soal dari guru di sekolah.
Materi pelajaran minim
Alasan siswa SMA masuk bimbel bermacam-macam. Umumnya peserta bimbel mengaku karena pembelajaran di kelas masih kurang.
”Guru hanya memberi materi sedikit, tapi banyak memberi soal. Kita yang enggak bisa menyelesaikan soal jadi bingung, mau tanya ke mana. Ya, akhirnya masuk bimbel,” ujar Nunung, lulusan salah satu SMAN di Madiun, Jawa Timur. Alasan senada disampaikan Lala, siswa sebuah SMA di Tangerang.
Sementara Cyntia Martha, siswa SMAN 70 Jakarta Selatan, menyatakan ingin berlatih menjawab soal secara cepat lewat pelatihan di bimbel, yang setiap bulan memberi siswa kesempatan try out (uji coba).
”Di Geo (bimbel di mana ia bergabung), setiap bulan ada try out. Kalau sering latihan menyelesaikan soal, kita akan terbiasa menghitung waktu pengerjaan soal pada ujian sesungguhnya,” tutur siswa kelas XII itu.
Selain agar lulus UN, Cyntia berharap ikut bimbel akan membantu memudahkannya mengerjakan soal pada seleksi masuk di Universitas Indonesia nanti.
Menanggapi keluhan kurangnya guru memberikan materi belajar di kelas, Ida, guru sebuah SMA di Jakarta, mengakuinya.
”Guru sekarang beda dengan guru zaman dulu yang bisa maksimal mengajar di kelas. Saya sendiri bisa merasakannya. Itu yang membuat anak-anak masuk bimbel,” katanya.
Iwan Hermawan, guru SMAN 9 Bandung, lebih memandang fenomena makin suburnya bisnis bimbel karena unsur tren sehingga siswa cenderung mengikuti teman-teman yang sudah ikut bimbel. Namun, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia itu tak menampik, ada guru yang kurang maksimal memberikan materi pembelajaran di kelas, sampai suasana belajar mengajar yang tak membuat siswa betah di sekolah.
Ke mana lagi mereka lari kalau tidak ke bimbel yang umumnya ber-AC dan memberikan suasana lebih nyaman untuk belajar?
”Ada guru kurang maksimal mengajar, itu belum tentu salah guru sepenuhnya karena guru pun sibuk mengerjakan administrasi demi mendapat penilaian baik agar bisa segera mendapat sertifikasi,” Iwan menambahkan.
Sebagai guru, ia tetap menyarankan, jika kurang paham, siswa bertanya kepada guru bersangkutan dan belajar sungguh-sungguh di rumah. Faktanya, banyak pula siswa tak ikut bimbel dan tetap bisa masuk PTN favorit.
Ada garansi
Jika memang siswa merasa harus bimbel, berarti orangtua mesti merogoh kocek dalam-dalam karena umumnya bimbel memasang tarif relatif mahal. Selain itu, siswa juga harus menjaga kesehatan lahir batin. Sebab, setelah belajar di sekolah, mereka harus belajar lagi di tempat bimbel minimal 1,5 jam, dua kali seminggu.
Soal biaya bimbel, di kota kecil seperti Madiun, misalnya, peserta bimbel harus membayar rata-rata Rp 2 juta untuk bisa lulus UN dan lolos ujian masuk PTN. Di Jakarta, biaya bimbel sekitar Rp 6 juta. Untuk program khusus, biayanya Rp 12 juta-Rp 15 juta selama tak sampai setahun. Program ini memberikan jaminan kelulusan siswa masuk PTN, apa pun jalur seleksinya.
Bimbel Quin yang berkantor pusat di kawasan Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, misalnya, punya program khusus mengejar nilai ulangan harian, menghadapi ujian sekolah dan UN, hingga lolos masuk PTN.
Quin juga menawarkan program spesial untuk siswa kelas XII berbiaya Rp 15 juta. Di sini, peserta mendapatkan garansi masuk PTN. Jika peserta gagal, mereka akan mengembalikan sebagian biaya bimbel (minimal separuhnya).
”Ini tergantung dari nilai siswa. Semakin tinggi nilainya, makin tinggi uang yang akan kami kembalikan,” kata Erni, staf Quin. Pengembalian uang mencapai Rp 7 juta-Rp 8,5 juta.
Beda program spesial dengan reguler dan eksekutif hanya pada intensitas pertemuan. Peserta program eksekutif setiap hari belajar untuk semua mata pelajaran tes masuk PTN. Setiap kali pertemuan sekitar 90 menit. Pada program reguler, pertemuan membahas soal guna menyiapkan diri ikut UN dua kali seminggu (reguler) dan tiga kali (eksekutif). Siswa kedua program ini tak mendapatkan pengembalian uang garansi masuk PTN.
Bimbel lain pun memiliki sistem sama. ”Jika tak lulus masuk PTN, sebagian uang kami kembalikan,” tutur seorang petugas BTA Grup di kawasan Pasar Mayestik, Jakarta Selatan.
Jadi, perlukah bimbel untuk masa depan kita? Semua kembali kepada kondisi setiap siswa. Ada baiknya, sebelum memutuskan ikut bimbel, tanyakan kepada diri sendiri kelebihan dan kekurangannya.
Ikut bimbel berarti kita punya kesempatan belajar lebih lama, tetapi lebih lelah dan orangtua harus mengeluarkan uang ekstra. Belajar sendiri atau berkelompok dengan teman-teman relatif tak perlu biaya ekstra besar, tetapi memerlukan disiplin diri yang tinggi. Kemungkinan lain, minta kesediaan guru di sekolah untuk memberikan waktu tambahan untuk pelajaran yang belum kita mengerti.