Saat ini, Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Tenggara telah membentuk sebuah kawasan terintegrasi yang kemudian disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA (Baskoro, 2015). Bagi pihak yang pesimis, tentu MEA dianggap sebagai ancaman. Berbeda bagi pihak yang positif, hal ini dipandang sebagai peluang. Pandangan itulah yang tergambar dari masyarakat Indonesia saat ini.
Orang-orang ASEAN seharusnya tidak hanya mendapat keuntungan dari kerjasama dan akses pasar antar negara Asean tetapi juga berpartisipasi dan berkontribusi terhadap upaya Membangun Komunitas ASEAN untuk asosiasi tersebut untuk maju. Ada banyak perusahaan besar di kawasan ASEAN yang bisa menggunakan tenaga kerja dan sumber daya produksi dari setiap negara ASEAN tersebut. Banyaknya kedatangan pekerja cerdas dari negera tetangga Singapura, Filipina, Malaysia bekerja di Indonesia, tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi anak muda pencari kerja di Indonesia.
Demi menciptakan Sumber Daya Manusia yang mumpuni dalam persaingan MEA kuncinya adalah merealisasikan pendidikan yang juga berkualitas. Perguruan tinggi harus mendorong kemajuan lembaga dan SDM-nya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta mencitptakan inovasi yang bermanfaat agar dapat menjadi lulusan yang memiliki daya saing tinggi (Hamid, 2015). Namun sedihnya, perguruan tinggi rata-rata hanya memikirkan pembayaran uang sekolah semata dan menjadi lembaga yang kurang fokus untuk mengembangkan kemampuan berbahasa asing dari individu setiap mahasiswanya.
Menurut data tahun 2016, sejak MEA diberlakukan, terjadi lonjakan drastis kedatangan pekerja asing ke Indonesia. Ketika keadaan ini tidak diantisipasi dengan baik, dikhawatirkan anak bangsa Indonesia akan menjadi penonton dari era keterbukaan ekonomi ini. (Nugroho, 2016).
Bagaimana sebaiknya kaum muda Indonesia menghadapi era MEA. Dari berbagai artikel yang dikaji, terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan. Pertama, Nugroho (2016) mengatakan MEA akan menjadi peluang ketika Sumber Daya Manusia atau Anak Muda dipersiapkan sebaik-baiknya, sehingga kita perlu untuk melahirkan aktor-aktor baru yang tidak hanya memahami perkembangan namun “bervisi nasionalis, cinta pada kemajemukan, persatuan serta kemajuan bangsa ini, tapi juga lurus, kompetitif, unggul dan berkarakter.”
Hingga tahun 2014 jumlah pekerja Indonesia yang berpendidikan SMP atau dibawahnya adalah sebanyak 76,4 juta atau 64% dari jumlah pekerja Indonesia saat itu (Suroso, 2015). Itulah permasalahan yang harus dipikirkan oleh para pekerja dan perguruan tinggi. Namun pemerintah telah mempersiapkan pengembangan kurikulum yang sesuai dengan MEA (Suroso, 2015). Itulah tugas berat pendidikan tinggi, karena perguruan tinggi bertugas untuk mengelola manusia dan menghasilkan output manusia yang lebih berkualitas dalam ilmu pengetahuan, teknologi, maupun moral (Hamid, 2015).
Tidak hanya penguasaan teknologi, bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya seperti bahasa Jepang pun menjadi pelajaran wajib bagi para siswa di banyak negara ASEAN, terutama negara-negara Indochina seperti Vietnam, Myanmar, Thailand yang sudah mulai mewajibkan pelajaran bahasa ini.
Kedua, mempersiapkan aktor-aktor wirausaha kreatif yang memang sedang pada masa keemasannya saat ini (Nugroho, 2016). Momentum MEA adalah saat terbaik untuk mengubah pola pikir birokratis menjadi pola pikir entrepreneur yang lebih taktis (Suroso, 2015). Sayangnya, jumlah wirausaha di Indonesia tidak sampai 2% dari jumlah penduduk Indonesia (Nugroho, 2016).
Dalam persaingan MEA yang lebih mengutamakan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka akses mereka terhadap informasi, kondisi pasar, peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi akan semakin ditingkatkan (Baskoro, 2015).