Keindahan tenun ikat asal Kediri, telah lama dikenal orang. Dikerjakan secara turun temurun, usaha ini sempat mengalami pasang surut.
Adalah Siti Rukayah, salah satu pengrajin tenun ikat, pemegang merek Medali Mas. Bersama suaminya, Munawar, ia membesarkan usaha tenun ikat sejak 1989. Produk Medali Mas kini tak hanya untuk dalam negeri, melainkan menembus pasar Amerika Serikat.
Rata-rata setiap bulannya, Rukayah membukukan omzet hingga Rp 300 juta. Dengan jumlah pekerja 98 orang, kapasitas produksi per hari bisa mencapai 60 hingga 70 potong kain. Harga jual bervariasi mulai Rp 160 ribu sampai Rp 380 ribu per potong.
Kisah sukses Siti Rukayah tak dimulai dalam sekejap. Perjalanan panjang dan jatuh bangun dalam berbisnis sudah dilaluinya.
Perempuan berusia 48 tahun ini mengatakan berkenalan dengan industri tenun melalui keluarga suaminya. Munawar, sang suami adalah pengrajin tenun. Setelah menikah, Rukayah ikut memproduksi kain dengan berbekal mesin tenun warisan sang mertua.
Saat itu Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri belum dikenal sebagai sentra tenun ikat. Industri tenun di sana redup. Dari lima kawasan sentra tenun ikat di Kediri, hanya Kelurahan Bandar Kidul saja yang masih mempertahankan bisnis ini, salah satunya Siti Rukayah.
Tak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah seni, Siti Rukayah belajar menggambar secara autodidak. “Saya menggambar sendiri sesuai angan-angan. Sebagian juga mencontoh motif lain yang saya ubah,” kata Rukayah kepada Tempo, Kamis 9 Agustus 2018.
Bisnisnya sempat moncer. Dia menambah mesin tenun dari dua menjadi 15 unit dan merekrut beberapa pekerja. Namun seiring dengan krisis ekonomi pada 1997, usahanya pun meredup. “Tak ada yang bisa kami lakukan selain menutup usaha,” ujar Rukayah.
Dia memutuskan menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi untuk mengumpulkan modal. Dua tahun di sana, Rukayah pulang kampung dengan membawa uang tunai Rp 14 juta.
Gajinya selama di Arab Saudi itu dijadikan modal usaha. Satu per satu bekas karyawannya ditarik kembali untuk membantu. “Pemasaran saya lakukan sendiri dari rumah ke rumah,” kata Rukayah.
Sepulang dari Arab, Siti Rukayah aktif di Dinas Koperasi Kota Kediri. Dia mendapat bantuan kredit dari Bank Jatim. “Kami ingin membangkitkan kembali Kelurahan Bandar Kidul sebagai sentra tenun ikat,” kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Kediri Apip Permana.
Berbeda dari sebelumnya, Siti Rukayah menggandeng perbankan untuk melakukan ekspansi bisnis. Semula ia enggan berurusan dengan pihak bank karena takut akan ancaman denda dan asetnya disita.
Kini Siti Rukayah tercatat sebagai salah satu debitor Bank Jatim yang aktif mengajukan pinjaman untuk pengembangan bisnis. “Saya mengajukan pinjaman lagi ke Bank Jatim untuk menambah mesin,” kata Rukayah.
Berbekal pinjaman tersebut, bisnis Siti Rukayah kian berkembang. Mesin tenunnya bertambah dari 15 menjadi 35 unit. Dengan hanya membayar bunga pinjaman enam persen per tahun, Rukayah mampu mengelola dana yang diterima untuk mendongkrak omzet.
Kesuksesan Siti Rukayah ini sekaligus menjadi tolok ukur efektivitas kredit dana bergulir dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Melalui Bank Jatim, Pemprov Jatim berupaya menguatkan modal usaha bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Dengan persyaratan mudah dan bunga ringan, Bank Jatim memastikan setiap pelaku usaha dalam keadaan sehat, produktif dan berkembang.
source: Tempo