Pernikahan termasuk hal yang sakral dan diinginkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika saat ini Indonesia merasa beruntung karena bonus demografi yang sedang terjadi, maka untuk Jepang hal yang sebaliknya sedang terjadi.  Jepang sedang mengalami krisis demografi karena data penduduknya sudah berbentuk piramida terbalik alias didominasi oleh orang tua dalam rentang usia tidak produktif.  Jika kebetulan sedang jalan-jalan di Jepang, maka akan mudah kita temui para manula tersebut di tempat-tempat umum, karena memang angka harapan hidup di Jepang cukup tinggi, untuk laki-laki 82 tahun dan perempuan 86 tahun.

Tapi siapa sangka, di beberapa negara salah satunya Jepang, menikah justru dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia dan dihindari sebagian besar orang. Bahkan rata-rata orang Jepang baru mau menikah ketika usianya 40 tahun ke atas! Kira-kira kenapa ya Guys? 

Lalu apa yang menyebabkan orang Jepang enggan menikah?  Mungkin asumsi banyak orang Indonesia karena di Jepang seks bebas tidak dilarang.  Namun apakah benar semata-mata karena itu?  Beberapa waktu yang lalu sebuah perusahaan Jepang yang merupakan bagian dari Rakuten group melaksanakan survey kepada laki-laki dan perempuan lajang usia 25-39 tentang keinginan mereka untuk menikah.

Pada pertanyaan kenapa mereka tidak menikah, jawaban yang paling umum dari laki-laki dan perempuan adalah karena mereka tidak memiliki kesempatan bertemu dengan lawan jenis.  Wah, ternyata mencari pasangan hidup di Jepang susah, mungkin karena setelah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja, waktu mereka habis untuk bekerja.  Bahkan beberapa orang Jepang menganggap kerja adalah tujuan hidup sehingga banyak yang menjadi workaholics. Tetapi setelah beberapa saat tinggal di Jepang memang benar, hidup mereka hanya untuk kerja jadi wajar sulit memperoleh jodoh.

Alasan paling banyak kedua untuk responden laki-laki adalah karena mereka khawatir dengan kondisi ekonomi dan situasi pekerjaan mereka.  Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh wanita Jepang adalah karena mereka khawatir atau merasa tidak bisa jatuh cinta serta khawatir kebebasan mereka hilang setelah menikah.

Akan tetapi tidak hanya angka harapan hidup yang tinggi yang membuat Jepang krisis kependudukan, hal lain yang menjadi penyebabnya adalah keengganan orang Jepang menikah.  Sudah menjadi rahasia umum jika orang Jepang enggan menikah, apalagi memiliki anak.

Keengganan orang Jepang menikah bahkan telah membuat perdana menteri Shinzo Abe mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan keluarga, antara lain hak cuti melahirkan untuk suami dan meningkatkan gaji dasar untuk pekerja wanita di Jepang yang selama ini memang dibedakan dengan laki-laki sambil berkampanye arti penting keluarga dalam karir. Pernikahan dalam Islam dipandang sebagai fitrah bagi manusia. Bahkan menikah menjadi kewajiban muslim ketika sudah mampu secara fisik, batin, maupun finansial, karena pernikahan memiliki beberapa manfaat seperti menjaga kelangsungan hidup manusia, menghindarkan dari segala penyakit akibat seks bebas, dan menjaga ketenteraman jiwa. Karena berbagai persepsi itulah banyak orang kerap menjadi buah bibir masyarakat ketika belum menikah di saat umurnya sudah di atas 25 tahun. Seperti yang kita tahu, umur rata-rata orang Indonesia untuk menikah antara 24-25 tahun.

Di Jepang sebenarnya rata-rata pernikahan untuk pria ada di usia 30,9 tahun, sedangkan wanita di usia 29,3 tahun, sehingga rata-rata keduanya adalah 29,7 tahun. Sementara di Indonesia, kebanyakan para orangtua justru sudah ‘mengejar-ngejar’ anaknya yang usianya di atas 25 tahun untuk segera menikah. Ternyata alasan kenapa pria Jepang lebih memilih tidak menikah dulu adalah karena mereka masih khawatir terhadap kondisi ekonomi dan pekerjaan mereka, sehingga ketakutan akan ketidakmampuan menghidupi keluarga muncul menghantui. Untuk wanita Jepang, alasan mereka lebih banyak seputar ketakutan tidak mendapat kebebasan ketika sudah menikah. Jadi karier masih menjadi prioritas bagi sebagian besar wanita Jepang. Tapi di satu sisi, ternyata lelaki Jepang sangat bertanggung jawab. Dibandingkan di Indonesia, masih banyak kita jumpai suami yang tidak punya pekerjaan tetap sehingga kehidupan keluarganya terlunta-lunta. Banyak juga asumsi seperti “Kehidupan habis menikah itu urusan nanti, yang penting halal dulu”. Mungkin ini juga jadi sebab mengapa angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi ya?

Sekitar 29% responden laki-laki memang fokus karena situasi keuangaan mereka saat itu belum cukup meyakinkan sedangkan 34% responden khawatir keuangan mereka tidak cukup untuk menganggung keluarga setelah menikah.

Lalu apakah hidup di Jepang perlu biaya tinggi?  Berapa pendapatan yang dianggap cukup untuk menanggung sebuah keluarga?  Berdasarkan survey tersebut, terungkap bahwa pendapatan yang diharapkan bisa mereka peroleh dan dianggap cukup untuk berkeluarga memang relatif sangat tinggi.  Para responden wanita melihat calon suami “prospektif” adalah ketika memiliki penghasilan rata-rata lebih dari 5,5 juta yen per tahun atau sekitar 460 ribu yen per bulan atau sekitar 46 juta rupiah per bulan.  Sedangkan para pria menginginkan calon istri mereka bisa memperoleh penghasilan sekitar 1,35 juta yen per tahun atau sekitar 112,5 ribu yen, yang berarti para pria tidak mengingingkan istri mereka bekerja penuh waktu.  Jadi alasan wanita untuk malas menikah memang memang sesuai karena mereka ingin memiliki karir di dunia kerja, tanpa pekerja penuh waktu, maka tidak ada karir bagi mereka.

Jepang memang negeri dengan biaya hidup tinggi.  Pendapatan rata-rata keluarga di Jepang dengan suami-istri yang bekerja semua (usia 30-40 tahun) pada tahun 2013 adalah sekitar 5,45 juta yen per tahun.  Angka tersebut adalah di bawah angka aman keuangan (financially secure ) untuk hidup berkeluarga di Jepang pada tahun 1985.  Bahkan tahun 2014, pendapatan rata-rata keluarga di Jepang kembali turun menjadi 4,32 juta yen per tahun atau sekitar 37, 5 juta rupiah per bulan.  Mari sedikit membayangkan angka itu jika kita tinggal di Indonesia. Wanita Jepang memandang pria ideal yang bisa dinikahi adalah pria dengan penghasilan lebih dari 460 ribu yen per bulan atau sekitar 46 juta rupiah. Hal ini bukan tanpa alasan atau karena wanita Jepang memang matre ya Guys. Biaya hidup di Jepang itu tinggi, angka tersebut menjadi pendapatan rata-rata di Jepang jika suami-istri bekerja semua. Di sisi lain, para pria rata-rata tidak menginginkan istrinya bekerja penuh waktu (full-time) karena harus mengurus keperluan rumah tangga. Sedangkan wanita Jepang merasa tidak memiliki karier jika harus bekerja hanya paruh waktu (part-time). Berdasarkan data survei, ditemukan juga bahwa penghasilan rata-rata lulusan S1 di Jepang sebesar 200 ribu yen per bulan atau sekitar 20 juta rupiah, sementara untuk lulusan S2 adalah sekitar 220 ribu yen dan S3 sekitar 300 ribu yen.  Uang tersebut hanya cukup jika mereka hidup sendiri untuk biaya apartemen, listrik, internet, pajak, dan lain-lain. Sedangkan jika harus menghidupi keluarga, apalagi jika memiliki anak, tentu sangat berat. Duh, rumit ya?

Wajar jika orang Jepang malas menikah.  Secara umum bisa kita hitung, gaji pertama sarjana di Jepang berkisar 200 ribu yen per bulan atau sekitar 20 juta rupiah, untuk lulusan S2 sekitar 220 ribu dan S3 sekitar 300 ribu yen.  Untuk hidup sendiri, uang tersebut mungkin memang hanya sebatas cukup karena sewa apato/apartemen, listrik, internet, biaya makan dan membeli minuman akan menghabiskan banyak porsi gaji.  Belum lagi pajak, asuransi kesehatan, iuran pensiun yang juga tidak sedikit.  Untuk naik gaji juga tidak bisa dengan jalan demo atau mogok kerja, karena mencari pekerjaan tetap di Jepang bukan hal yang mudah. Bahkan PNS biasa di Jepang yang lulusan S1 dengan masa kerja lebih dari 10 tahun katanya gaji  hanya berkisar 300 ribu yen.

Kebijakan pemerintah Jepang di bawah kendali perdana menteri Shinzo Abe mengharapkan meningkatnya keinginan orang Jepang untuk menikah dan memiliki anak untuk menghindari krisis demografi yang semakin parah.  Kebijakan peningkatan gaji dan promosi pekerja wanita di Jepang bertujuan agar para wanita tidak perlu keluar kerja setelah menikah karena mereka dihargai “hampir” sama dengan para pekerja pria.  Selain itu, hak cuti melahirkan juga boleh diambil oleh pihak pria agar para wanita dengan karir bagus juga tidak keluar dari tempat mereka kerja dengan alasan merawat anak.  Toh setelah anak lebih dari 1 tahun bisa dimasukkan ke penitiapan anak meskipun biayanya mahal, namun dengan gaji wanita yang cukup tinggi masalah tersebut dapat terselesaikan.

Mungkin untuk sekedar hidup berkeluarga gaji 300 ribu yen cukup, dengan catatan anak masih usia SD karena sekolah di Jepang gratis.  Memasuki usia SMA, meski sekolah gratis tetapi kegiatan tambahan seperti kursus olah raga atau seni yang biasanya diikuti relatif sangat mahal (anak saya yang masih SD kursus piano biayanya sekitar 250 ribu rupiah per setengah jam).  Belum lagi untuk meng-kuliahkan anak, perguruan tinggi negeri di Jepang memungut biaya kuliah yang hampir sama se-antero Jepang baik untuk S1, S2 maupun S3, yaitu sekitar 267.900 yen per semester atau sekitar 28 juta rupiah.  Jika penghasilan orang tua tidak besar, maka si anak harus kerja keras sendiri untuk mencari biaya kuliah dengan cara kerja part-time (arubaito) atau pinjam ke negara yang harus mereka bayar setelah nanti memperoleh pekerjaan tetap.

Pemerintah Jepang memang sangat khawatir kehilangan generasi karena berkurangnya jumlah kelahiran bayi setiap tahun.  Anak kecil di Jepang adalah aset bangsa yang harus dipelihara dan dididik dengan baik.  Melihat cara pemerintah Jepang menjaga anak-anak memang sangat luar biasa bahkan cenderung memanjakan dengan cara yang benar.

Dengan melihat kehidupan nyata di Jepang, sangat bersyukur menjadi orang Indonesia yang tinggal di Indonesia.