Tahukah kamu mengapa seseorang yang melakukan kecurangan bisa sukses dan berhasil daripada orang yang jujur ? Kenapa kesusesan mereka bisa sama bahkan bisa diatas orang yang jujur ? Apakah kamu pernah membaca buku China in Ten Words? Bila ingin tahu ciri-ciri China, tampaknya perlu juga mendalami karya penulis bernama Yu Hua tersebut.
Contek saja! Kata tersebut merupakan salah satu dari 10 kata untuk menggambarkan China saat ini. Memang tidak ditulis dalam bahasa Indonesia, melainkan Inggris. Kesepuluh ciri-ciri tersebut ada di buku tersebut. Seketika, ‘contek saja’ langsung menohok perhatian saya. Di negeri ini,urusan contek-mencontek sangat ditabukan. Itu dianggap sebagai perbuatan yang sangat memalukan. Mencontek sewaktu ujian di sekolah bisa-bisa tidak lulus atau disuruh keluar kelas atau dihukum di lapangan sekolah. Tidak hanya itu, orang tua juga ikut-ikutan gena getahnya karena dipanggil oleh guru atau kepala sekolah bahwa anaknya ketahuan mencontek.
Namun di dunia nyata, mencontek ternyata merupakan salah satu jurus ampuh untuk mengejar ketertinggalan sebuah bangsa. Bedanya, modus yang dijalankan mungkin saja sama tetapi spirit di dalamnya bisa berbeda jauh. Alhasil, mencontek yang bagus tidak sekadar meniru melainkan meniru untuk kemudian bisa menyaingi aslinya. Nah, semangat demikian yang tidak ada di setiap kultur, termasuk bangsa ini.
Kita tampaknya sudah bangga karena berhasil meniru sebuah tren. Tren apa saja, mulai dari teknologi, desain hingga menu masakan. Tahapan itu dianggap sudah cukup karena tidak membuat kita menjadi ketinggalan zaman.
Coba bandingkan dengan China. Mereka sangat tidak puas bila hanya mampu meniru. Mencontek hanya dilakukan untuk sementara saja sambil mengumpulkan kekuatan dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas produk yang dibuat.
Artinya, mencontek yang dimaksud Yu Hua bukan sekadar memproduksi secara massal, misalnya iPhone ala China melainkan juga terus melakukan inovasi dan riset untuk menyiapkan know how sebagai basis pengembangan produk di masa datang.
Kenapa Harus China?
Kenapa harus menoleh ke China untuk urusan contek-mencontek? Negara berpenduduk paling padat sejagat itu memang fenomenal. Ibarat jagoan kungfu, ia paham betul kapan harus bertahan, ‘mengalah’, dan akhirnya menyerang balik. Di tengah terpaan krisis keuangan global saat ini, China tampak tidak panik, malah tenang-tenang saja seolah dont worry, be happy.
McKinsey Global Institute pernah melaporkan bahwa China merupakan surga investasi bagi perusahaan-perusahaan besar AS. Goldman Sach juga memperkirakan bahwa pada tahun 2020 negara itu akan semakin rakus untuk menguasai aset-aset milik korporasi global dengan nilai transaksi setara dengan 10 kali ekonomi negara-negara yang kaya.
Salah satu kekuatan ekonomi Sang Naga adalah pebisnis pemula yang tidak gentar menghadapi risiko. Mereka menekan tingkat risiko dengan mencontek. Jurus yang sepintas sangat sederhana tetapi membutuhkan kepiawaian seorang wirausaha dengan jam terbang yang masih sangat minim. Trial and error di China memang berdarah-darah. Ada yang berhasil, bahkan melesat bak meteor.
Banyak yang mampu melewati fase-fase kritis dan membawa mereka menjadi jutawan baru di negeri sendiri maupun di tingkat global. Sebaliknya, jutaan pula yang kandas di tengah jalan karena ‘kehabisan nafas’. Sebagai pendatang baru, jurus para pencontek itu memang tidak terpuji. Bila pada usaha pertama Anda tidak berhasil, cloning dan cloning lagi. Jurus itulah yang dijalankan.
Forbes menyebutnya The Cloner, kegairahan baru yang dialami para pebisnis muda China di era digital yang sangat mengandalkan dunia maya. Cloning tersebut sudah berlangsung sedemikian hebatnya tetapi hal ini tidak membuat para pemainnya kapok. Pasalnya, peluang pasar masih terbuka luas. Bagi para pelakunya, masih banyak bisnis sukses punya orang lain yang bisa dicontek habis-habisan.
Facebook dicontek dengan nama Xiaonei. Setali tiga uang dengan Twitter. Nama lokalnya adalah Fanfao. Jurus cloning itu akhirnya membuat Wang Xing menjadi terkenal. Namanya mulai sering disebut media massa internasional sebagai salah satu pebisnis muda di dunia maya yang mampu meroket dalam waktu cepat.
Meski Wang hanya ‘sekejap’ memiliki Facebook dan Twitter ala China akibat didera masalah keuangan, sehingga terpaksa dijual, semangat mencontek habis-habisan bisnis orang lain, tidak terkecuali di mancanegara, patut diacungi jempol.
Xiaonei sempat berganti nama menjadi Renren dengam nilai buku sekitar US$4 miliar. Adapun, Fanfou bernasib sial karena ‘diberedel’ penguasa menyusul pecahnya kerusuhan etinis di Xinjiang pada 2009.
Kandas di ‘Twitter’ tak lantas membuat Wang surut langkah. Dia tetap pada keyakinan bahwa sukses di pasar global bisa digenggam dengan strategi cloning. Dia pun mencontek keberhasilan Groupon, si raja kupon online milik Andrew Mason, melalui bendera baru bernama Meituan.
Meski mencontek, Wang dan ‘kawan-kawan seperjuangan’ tidak dihukum oleh negara. Dia malah dipacu untuk maju dan mengglobal. Dan tentu saja harus jadi pemenang.