Teori yang lumayan masuk akal untuk pertanyaan ini adalah: karena lulusan terbaik dari sekolah-sekolah terbaik ngga sudi berkarir sebagai guru.
Nah itu.
Pikir mereka, lah kalo gue pinter mending uwe jadi dokter aja sekalian: gaji gede, berwibawa, masa depan terjamin, beuh gimana ceue2 Tinder ngga pada antri coba wkwkwk, calon menantu idaman banget kann!!
Oke serius serius.?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu tahu dulu apa yang dibandingkan dan apa proxi dari ‘kualitas’ di sini yang bisa melingkupi persoalannya secara global.
Sip deh, mari kita mulai saja pemaparannya.
Pembanding: guru vs dokter
Proxi dari ‘kualitas’: gaji
Untuk itu kita perlu tahu berapa gaji dokter dan berapa gaji guru dulu ya gaes.
Disclaimer: meski ini agak too good to be true, tapi mari kita pilih Swiss sebagai negara yang sudah well established dari segi ‘kualitas’ pendidikannya. Granted, kalo di Swiss itu skala gajinya sudah em-eman, makmur luar biasa, tapi sadari juga bahwa cost of living di Swiss seperti apa.
Di Swiss gaji[1] guru di Zurich berkisar antara CHF 110.000–120.000 atau setara dengan USD 110.000–120.000.
Sementara gaji[2] dokter bedah itu berkisar antara CHF 187.000–197.000 atau setara dengan USD 187.000–197.000.
Dapat kita lihat disini bahwa gaji guru, di negara seperti Swiss sekalipun, dan meski sama-sama 6 digit, masih berada di bawah gaji dokter.
Satu hal yang coba saya ketengahkan adalah jangan kita melihatnya dari sisi besaran gaji, tapi coba tengok discrepancy-nya atau selisihnya.
Nah, kalo kita bicara mengenai discrepancy ini menarik. Karena kita tahu gaji dokter di Indonesia itu literally bisa dipake buat ngebayar gaji belasan guru dalam sekali gajian.
Dugaan adanya korelasi antara kualitas pendidikan suatu bangsa dengan ‘discrepancy’ tadi inilah yang mustinya menjadi concern kita bersama.
But to be fair, pembekalan guru di republik ini, dalam artian guru yang benar-benar bertekad ingin jadi guru, itu masih jauh panggang dari api.
Betapa tidak, kita semua tahu bahwa seorang calon dokter musti berjibaku belajar mati-matian untuk bisa tembus seleksi masuk sekolah kedokteran. Nah semestinya kalo mau adil, calon guru yang ingin masuk sekolah keguruan juga perlu diseleksi ketat seketat calon dokter yang ingin masuk sekolah kedokteran. Darisitu baru deh kita bisa ngomongin gaji dan turunannya.
Kenapa tanyamu? Supaya nanti perbandingannya bisa lebih apple to apple, sob. Dan saya melihat konstruksinya memang cukup rumit untuk dijabarkan tapi arahnya saya kira sudah berada di jalan yang benar.
Apakah itu berarti seorang guru musti bisa mengerjakan soal tes masuk sekolah kedokteran? NO! God no! Fokus bahasannya disini adalah gimana caranya supaya kita bisa menyetarakan ‘effort’ yang diperlukan untuk masuk ke sekolah keguruan dengan ‘effort’ untuk masuk ke sekolah kedokteran. Lha, iya dong?! Kalau mau gajinya aja tapi nggak mau usahanya sih waah repot ya hehehe…
Kesimpulan:
Pembekalan guru masih jauh panggang dari api. Dalam artian guru yang beraspirasi menjadi guru loh ya, yang memang sedari awal jiwanya terpanggil turut menunaikan cita-cita luhur dalam mencerdaskan bangsa, bukan mereka yang ‘mau nggak mau’ jadi guru wey wkwkwk.
I mean, kita tahu sendiri guru yang ‘mau nggak mau’ jadi guru itu buaaaannyakk, tapi coba dokter yang mau nggak mau jadi dokter, memangnya ada gitu? Kalaupun ada shombonk banget dah tuh dokter?
Jadi, itulah sekelumit paparan mengapa kualitas pendidikan di Indonesia terbilang rendah.
Salam gaji em-eman,
Soure: El andriansyah