Menjelang akhir PD II, Uni Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang. Pasukan Soviet menduduki setengah di sebelah utara dari Semenanjung Korea sementara pasukan AS menduduki setengahnya lagi di selatan. Negosiasi antara AS dan Soviet untuk satu negara Korea yang bersatu tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1948 pemilu dilakukan di Korea hanya di wilayah pendudukan AS, hasilnya adalah Syngman Rhee terpilih sebagai presiden. Di saat yang hampir bersamaan di utara Kim Il-Sung ditunjuk sebagai pemimpin. Maka terbentuklah dua negara seperti yang kita kenal sekarang.
Republik Rakyat Demokratik Korea dan Republik Korea
Dengan mindset untuk mempersatukan Korea, Kim Il-Sung mengirim KPA (Tentara Rakyat Korea/militer Korut) menginvasi ke selatan. Saat itu memang Korut punya militer lebih mumpuni daripada Korsel. Seluruh Korsel akan habis kalau AS tidak datang mengintervensi. AS dan pasukan PBB mendarat di Incheon di bawah kepemimpinan Jendral Douglas MacArthur dan menggulung balik KPA sampai ke perbatasan RRC. Kali ini Korut bakal habis kalau RRC gak mengintervensi. Mao Ze Dong mengirim PLA (Tentara Pembebasan Rakyat, militer RRC) untuk membendung dan menendang balik tentara AS ke perbatasan 38 paralel.
Dan Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata sampai sekarang.
Kalau kita membuat perbandingan, pemerintah Korea Selatan jauh banget dari pemerintah Vietnam Selatan yang junta korup. Walaupun Korsel pernah mengalami kediktatoran, Korsel sekarang adalah negara demokrasi maju yang ekonominya juga maju. Walau ada saatnya Korsel mengalami gelombang demonstrasi menuntut reformasi, ini beda dengan Jerman Timur yang demonstrasi menuntut pembubaran komunisme. Korea Utara juga berbeda dari rezim komunis Jertim. Dinasti Kim menggenggam rakyatnya dengan cakar besi yang mungkin bisa dibilang lebih kuat dari RRC dan Uni Soviet. Setelah Uni Soviet, patron utamanya, bubar, genggaman ini bahkan lebih diperkuat lagi oleh putra Kim Il-Sung, yaitu Kim Jong-Il. Bahkan setelah ada internet, negeri ini ditutup sama sekali dari dunia luar (dijuluki the hermit’s kingdom/kerajaan petapa), seluruh rakyat dicuci otak untuk memuja Kim Il-Sung, Kim Jong-Il dan sekarang generasi ketiga mereka Kim Jong-Un. Jadi apa yang terjadi di Jertim 1989 belum ada satu pengamat pun di dunia ini yang berani memprediksi akan terjadi di Korut dalam waktu dekat.
Hal lain yang membuat Korea tetap dalam status quo: geopolitik. RRC berkepentingan untuk Korut tetap ada, karena itu menjaga teras depannya dari ‘musuh ideologis’nya, yaitu AS dan sekutu-sekutunya. Jadi apa pun yang dilakukan Korut, RRC akan membackup-nya di forum internasional. RRC bisa dibilang adalah negara yang paling berpengaruh atas Korut sekarang (walaupun gak gampang diatur juga).
Satu hal lagi yang perlu disebut adalah ketimpangan ekonomi. Waktu Jerman bersatu, ketimpangan ekonomi bekas Jertim cukup membebani ekonomi Jerman, secara Jerbar adalah negara liberal dengan ekonomi yang kuat. Gap ekonomi ini berkali-kali lipat antara Korsel dan Korut. Kalau Korea dipersatukan menjadi Republik Korea (non komunis), gak kebayang apa yang akan terjadi dengan ekonominya, secara Korut pada dasarnya gak mengenal ekonomi liberal sama sekali.
Sekarang ini gak cuma RRC yang ingin Korut tetap berdiri. Korsel pun begitu. Karena kalau dinasti Kim jatuh, rezim Korut bubar, terjadi perang saudara atau chaos, maka gelombang pengungsi akan membanjiri baik RRC maupun Korsel, dan kemungkinan besar juga Jepang dll. Siapa yang mau? Jadi Korsel sekarang lebih memprioritaskan Korut jangan bertingkah macem-macem, mereka hidup berdampingan. Gak ada yang bermimpi lagi sekarang untuk mempersatukan Korea.