Sejarah modern dari pendidikan dan pemikiran tentang perkembangan agama dan politik tidak bisa berkembang tanpa adanya penemuan buku cetak yang murah dan bisa dijual, dibaca dan dibawa oleh siapapun. Buku yang terbuat dari kertas pada awalnya ditemukan oleh Cai Lun (蔡伦; CE 48–121), atau nama resminya Jingzhong (敬 仲). Menurut sejarahnya ia merupakan seorang kasim, penemu, dan politisi Cina dari dinasti Han yang diakui sebagai penemu proses pembuatan lembaran tulis gulung, dalam bentuk yang dikenali di zaman modern sebagai kertas. Pada masa itu, bangsa barat dan bahkan bangsa Mesir masih primitif karena menulis diatas batu, kulit hewan dan daun papirus serta dinding goa untuk menulis cerita buku. Meskipun bentuk-bentuk kertas awal telah ada di Cina sejak abad ke-2 SM, Cai Lun bertanggung jawab atas peningkatan signifikan pertama dan standardisasi pembuatan kertas dengan menambahkan bahan-bahan baru yang penting ke dalam komposisinya. Namun penggunaan kertas sebagai bahan tulis buku masih sangat mahal, karena setiap buku harus ditulis manual dalam waktu yang lama dan terbatas dengan sumber daya manusia penulisnya.
Perkembangan peradaban manusia pun berkembang melalui buku pendidikan dan budaya menulis serta membaca buku. Namun, selama ini dunia pendidikan beranggapan bahwa penemu dari mesin cetak tersebut adalah orang Jerman yang bernama Johannes Gutenberg, padahal fakta terbaru justru menunjukkan bahwa mesin cetak tertua didunia merupakan buatan Korea. Bukan hal asing lagi bahwa pengetahuan serta pengalaman itu penting, kedua hal tersebut seperti terbentuk dalam satu paket. Pengetahuan dan pengalaman dapat dirasakan melalui alat yang berisikan lembaran kertas yang di atasnya terpatri tulisan demi tulisan yang memberikan makna atau pesan, sehingga bagi para penikmatnya dapat dengan bebas berimajinasi tanpa batasan. Buku. Ya, buku adalah jendela dunia, begitu kata orang-orang.
Jikji merupakan buku cetak tertua didunia yang merupakan dokumen Buddha Korea, yang judulnya dapat diterjemahkan “Anthology of the Great Buddhists ‘Zen Teachings”. Dicetak pada masa Dinasti Goryeo pada tahun 1377, itu adalah buku tertua yang ada di dunia yang dicetak dengan jenis logam bergerak. UNESCO mengonfirmasi Jikji sebagai jenis metaloid tertua di dunia pada September 2001 dan memasukkannya ke dalam Memory of the World Program. Didalamnya ditulis bahwa buku tersebut dicetak oleh dan untuk Genghis kahn pemimpin kerajaan Mongolia.
Pada tahun 1377 Tautan Jikji Simche Yojeol, (Jikjisimcheyojeol) sebuah dokumen Buddhis Korea yang ditulis oleh biksu Buddha Baegun (nama Buddha Gyeonghan), dicetak di Kuil Heungdeok di Cheongju, Korea Selatan selama Dinasti Tautan Goryeo. Buku cetak Itu merupakan kitab suci dan buku pertama yang dicetak dari jenis logam bergerak.
Karya Baegun, tersebut dimaksudkan sebagai panduan bagi para siswa agama Buddha, terdiri dari kumpulan kutipan dari analek para bhikkhu Budha yang paling dihormati sepanjang generasi berikutnya. Awalnya diterbitkan dalam 2 jilid, hanya satu salinan dari jilid kedua yang selamat, disimpan di divisi Manuscrits orientaux di Bibliothèque nationale de France.
“Pada bulan Mei 1886, Korea dan Perancis menandatangani perjanjian pertahanan dan perdagangan, dan sebagai hasilnya pada tahun 1887 hubungan diplomatik resmi ditandatangani oleh ratifikasi resmi perjanjian tersebut oleh Kim Yunsik (1835-1922) dan Victor Emile Marie Joseph Collin de Plancy ( 1853-1924) Plancy, yang mengambil jurusan hukum di Perancis dan melanjutkan untuk belajar bahasa Cina, telah selama enam tahun bertugas sebagai penerjemah di Kedutaan Besar Prancis di Cina antara 1877 dan 1883. Pada 1888 ia datang ke Seoul sebagai konsul Prancis pertama ke Korea, tinggal sampai 1891. Selama tinggal di Korea, pertama sebagai konsul dan kemudian sebagai menteri diplomatik penuh dari 1896-1906, Victor Collin de Plancy mengumpulkan keramik Korea dan buku-buku tua.Dia membiarkan Kulang, yang telah pindah ke Seoul sebagai sekretaris resminya, buat klasifikasi mereka “
Buku Jikji ini kemudian diketahui telah berada dalam koleksi [Victor Emile Marie Joseph] Collin de Plancy yang kemudian dibawa ke Kedutaan Besar Prancis di Seoul pada tahun 1887 pada masa pemerintahan Raja Gojong. Buku itu kemudian jatuh ke tangan Henri Véver [dalam pelelangan di Hotel Drouot pada tahun 1911], seorang kolektor klasik, dan ketika ia meninggal pada tahun 1950, buku Jikji itu disumbangkan ke Bibliothèque Nationale de France, namun tidak pernah ditunjukkan kemuka umum selama lebih dari 60 tahun. Saat ini menurut pengakuan dari arsip perpustakaan perancis tersebut, hanya 38 lembar volume kedua edisi cetak logam yang masih ada.
Benda bersejarah berupa pelat dan buku ini sangatlah penting karena merupakan bukti sejarah bahwa orang Asia jauh lebih besar kontribusinya pada dunia kita saat ini. Manfaatnya dari membaca buku berkualitas juga dapat menstimulasi mental, dapat mengurangi stres, menambah wawasan dn pengetahuan, dapat menambah kosakata, dapat meningkatkan kualitas memori, melatih keterampilan untuk berfikir dan menganalisa, dapat meningkatkan fokus dan konsentrasi, melatih untuk dapat menulis dengan baik, dapat memperluas pemikiran seseorang, dapat meningkatkan hubungan sosial, dapat membntu mencegah penurunan fungsi kognitif, dapat meningkatkan empati seseorang, dapat mendorong tujuan hidup seseorang, dapat membantu kita untuk terhubung dengan dunia luar, serta dapat menjadi lebih hemat. Namun, pengaruh egosime sempit orang bule dengan tidak mengakui prestasi dan kontribusi bangsa lain dalam membangun kebudayaan buku memang cukup disayangkan.
Hak kepemilikan masih diperdebatkan, dengan Perpustakaan Nasional Prancis mempertahankan bahwa Jikji harus tetap di Perancis, sementara aktivis Korea berpendapat itu harus menjadi milik Korea. Perpustakaan Nasional Perancis mengatakan bahwa sebagai artefak sejarah yang penting bagi semua umat manusia, Jikji harus tetap berada di Prancis karena mewakili warisan bersama di seluruh dunia, dan bukan milik salah satu negara. Selain itu, mereka mengklaim Jikji akan lebih baik dipertahankan dan ditampilkan di Prancis karena prestise dan sumber daya yang dimiliki Perpustakaan. Di sisi lain, organisasi Korea mengklaim bahwa ia harus menjadi milik negara asalnya dan membawa makna sejarah bagi rakyat Korea. Komite untuk Membawa Jikji Kembali ke Korea yang dipimpin oleh Amerika Richard Pennington adalah salah satu organisasi semacam itu di Seoul, Korea yang bekerja untuk mengembalikan Jikji kembali ke Korea dari Perancis. Presiden Prancis François Mitterrand berjanji untuk menyelidiki cara mengembalikan berbagai buku Korea termasuk Jikji, jika teknologi kereta api berkecepatan tinggi Prancis diekspor ke Korea. Dari April hingga Juni 2011, 297 volume dengan 191 Uigwes berbeda dari Kyujanggak (Oegyujanggak), dikirim kembali dalam empat angsuran terpisah dan kemudian disimpan di Museum Nasional Korea. Namun Jikji tidak dimasukkan, mengikuti pertentangan di Prancis, termasuk protes yang diajukan oleh pustakawan Perpustakaan Nasional.
Rusaknya sejarah orang Asia bisa disimpulkan oleh pengaruh dari Eurocentrism. Paham dan pola pikir Eurocentrism (juga Eurocentricity atau Sentralisme-Barat) merupakan pandangan dunia yang berpusat pada peradaban Barat atau pandangan bias yang mendukungnya daripada peradaban non-barat. Cakupan sentralisme yang tepat bervariasi dari seluruh dunia Barat hingga hanya benua Eropa atau bahkan yang lebih sempit, hingga Eropa Barat (terutama selama Perang Dingin). Ketika istilah ini diterapkan pada sejarah, istilah ini dapat digunakan untuk merujuk pada sikap apologetik terhadap kolonialisme Eropa dan bentuk imperialisme lainnya.
Istilah Eurosentrisme berasal dari akhir tahun 1970-an tetapi tidak menjadi lazim sampai tahun 1990-an, ketika itu sering diterapkan dalam konteks dekolonisasi dan pembangunan dan bantuan kemanusiaan yang ditawarkan negara-negara industri (Dunia Pertama) kepada negara-negara berkembang (Dunia Ketiga). Istilah sederhananya yaitu orang bule beranggapan bahwa merekalah yang paling pintar, padahal bukti sejarah modern banyak dibangun oleh kombinasi beragam kebudayaan manusia yang berbeda suku, ras dan sejarah.
Pengalaman membaca buku memang merupakan pengalaman imajinasi yang melatih alam bawah sadar, sedangkan pengetahuan yaitu pada setiap bait cerita yang terukir pasti memberikan pesan. Pengetahuan akan aspek kehidupan, sosial, politik, dan kosa-kata adalah hal yang mengasyikan untuk dinikmati sebagai kutu buku. Apabila seseorang bertanya membaca itu penting? Pasti.
Jika kita lihat sejarahnya, Jikji diterbitkan di Kuil Heungdeok pada tahun 1377, 78 tahun sebelum karya Johannes Gutenberg yang diakui sebagai “42-Line Bible” yang dicetak selama tahun 1452–1455. Sebagian besar Jikji sekarang hilang atau dicuri atau disembunyikan negara barat, dan hari ini hanya volume terakhir yang bertahan, dan disimpan di divisi Manuscrits Orientaux dari Perpustakaan Nasional Prancis. Namun, jika negara kaya seperti Korea Selatan saja harta kebudayaannya masih dicuri orang Perancis, bagaimana dengan nasib harta benda kekayaan budaya Indonesia yah?