Toby Fowlston, Managing Director untuk Robert Walters Asia Tenggara mengatakan tren digitalisasi yang menyapu kawasan telah memacu banyak bisnis untuk menciptakan platform online atau mobile karena perusahaan berusaha meningkatkan daya saing mereka dan meningkatkan pangsa pasar dengan konsumen.
Survei tersebut juga mencatat bahwa fokus pada transformasi bisnis ke platform digital juga telah membantu memicu permintaan bagi para profesional sumber daya manusia (SDM) yanga memiliki pengalaman akan perubahan manajemen. Terutama yang terbukti telah sukses mengelola transformasi budaya perusahaan.
Namun, Indonesia mengalami tantangan yakni terbatasnya suplai tenaga ahli yang diproduksi setiap tahunnya. Trennya akan terus naik serta berpotensi mencapai kesenjangan kemampuan setinggi 50-60 persen pada tahun 2020.
Sebagai hasil dari transformasi ini, banyak perusahaan yang ingin mempekerjakan para profesional dengan keahlian digital, baik di bidang pemasaran dan teknologi informasi (TI). Terutama mereka yang mahir dalam menjalankan infrastruktur digital back office atau dengan keahlian teknologi khusus.
“Selain itu, profesional TI di bidang komputasi cloud, keamanan siber dan big data juga diminati karena sub-sektor TI ini menjadi area pertumbuhan utama, dan tren ini diperkirakan akan berlanjut pada 2018,” kata Toby, kemarin.
Untuk itu, kata Toby, perusahaan harus membuat proses rekrutmen semakin mudah dan fleksibel. “Harus ada program pembelajaran, tidak semata langsung dieksploitasi keterampilan teknisnya,” katanya.
Rob Bryson, Country Manager Robert Walters Indonesia memperingatkan bahwa akan ada fenomena perpindahan kerja (Job Movers) pada karakter pekerja di era milenial. Dengan kemampuan yang dimiliki, para tenaga ahli tersebut bisa melompat-lompat pindah pekerjaan dengan harapan kenaikan gaji.
“Pekerja terampil biasanya mengharapkan kenaikan 15-30 persen, tapi spesialis IT bisa sampai 50 persen,” katanya.
Saat ini, menurut Robert tren yang terjadi para tenaga ahli muda tidak terlalu memikirkan karir atau uang yang harus didapatkan dalam jangka waktu tertentu. Namun, lebih pada melakukan sesuai passion. Seorang pekerja bisa bekerja untuk satu sampai tiga perusahaan secara bersamaan.
“Pagi mereka kerja untuk perusahaan ini, sore untuk perusahaan lain, malamnya mereka bekerja untuk diri sendiri, alasannya untuk fun,” katanya.
Dengan fenomena Job Movers ini, semakin banyak pula potensi pembajakan tenaga kerja antarperusahaan. Agar perusahaan mampu mempertahankan tenaga ahlinya, harus dicari formulasi keseimbangan antara gaji, kesempatan untuk waktu libur, serta fasilitas untuk pengembangan diri (upskilling).
“Para pekerja hari ini tidak kenal konsep loyalitas pada perusahaan,” pungkas Rob.
Sumber:
The Guardian