Pada 1989, mahasiswa S2 University of Chicago yang bernama Jack Dumbacher sedang mengamati burung cenderawasih di Papua Nugini. Dia berusaha menangkapnya pakai jaring, tapi yang tertangkap selalu burung lain. Burung itu bernama pitohui. “Ada dua atau tiga burung di jaringku. Mereka menggores tanganku ketika saya mengeluarkannya dari jaring,” kenangnya melalui panggilan telepon. “Saya menjilat lukanya dan lidah rasanya langsung tergelitik dan terbakar. Saya berpikir ‘ Duh kenapa saya jilat ya tadi lukanya?”

Jack menceritakan insiden ini ke rekan peneliti yang juga pernah mengalami hal serupa. Mereka pun memutuskan untuk melakukan pengujian lebih lanjut. Metode yang mereka gunakan sama seperti Daly. “Kami menangkap seekor, mencabut bulunya dan mengecapnya. Mulutku mulai terasa terbakar,” kata Jack kepadaku. “Dari situ, kami tahu kalau burungnya beracun.”

Kedengarannya memang seperti penemuan penting, tapi faktanya Dumbacher kesulitan mengangkat topiknya ke khalayak umum. Pada tahun berikutnya, ada mahasiswa lain di Chicago yang mencicipi salah satu bulu yang ditemukan Dumbacher. Dia menyerahkannya kepada mentornya, Dr. John Daly, karena terkesan dengan sensasi yang dia rasakan.

Daly segera mengenali racun burung itu sebagai batrachotoxin, sama seperti yang ada di katak Kolombia. Meskipun kejadiannya aneh, fakta ini juga memvalidasi teori yang telah dia perjuangkan selama bertahun-tahun. Bagaimana bisa dua spesies berbeda yang ada di tempat berbeda bisa memproduksi racun yang sama? Ada kemungkinan bahwa bukan mereka yang membuatnya. Bisa saja mereka mendapatkannya dari hal lain.

Sangat aneh apabila ada spesies yang bisa bertahan hidup setelah memakan sesuatu yang mengandung batrachotoxin, tetapi bukan berarti sama sekali tak mungkin. Mengetahui ada spesies yang bisa memakannya dan menggunakan racun untuk kebutuhan pribadi jelas melampaui logika evolusi.

Hewan biasanya belajar untuk tidak memakan racun. Itulah sebabnya spesies lain memproduksinya. Maka dari itu, tampak sangat mustahil apabila ada burung dan katak yang terus mengonsumsi daun atau jamur yang membunuh induknya untuk waktu yang sangat lama sampai akhirnya mereka bisa menggunakan racun itu.

Untuk mendapatkan jawabannya, Dumbacher—yang sudah mendapat gelar doktor—melaksanakan beberapa ekspedisi untuk mencari sumber racun. Pada 1995, dia meninggalkan setumpuk peralatan ilmiah di sebuah desa terpencil di Papua Nugini. Tanpa sepengetahuannya, seorang warga bernama Avit Wako terus menggunakan peralatannya setelah dia pergi.

“Saya mengirim mahasiswa magang ke desa itu beberapa tahun kemudian. Avit bilang, ‘ Mantap! Saya sudah menemukan asal racunnya.’” Avit mengiriminya sampel dan spektrometer massa mengonfirmasinya. Seorang penduduk desa yang hanya lulusan SD berhasil menemukan bahwa kumbang adalah sumber batrachotoxin yang terkandung dalam burung.

Pengujian yang dilakukan pada lima jenis burung pitohui beracun di pulau tersebut malah memunculkan satu misteri. “Kami langsung menyadari kalau burung yang lain bukan pitohui,” katanya. “Pada kenyataannya, burung-burung ini telah salah diklasifikasi karena mereka mirip dengan pitohui.”

Pada akhirnya, mengejar burung dan katak di hutan tidak membawa ketenaran atau keuntungan bagi Dumbacher. Namun, penemuannya lumayan hebat. Dia menggambarkan rantai makanan di mana kumbang mengisolasi batrachotoxin dari makhluk yang lebih kecil darinya, tungau misalnya, lalu menyalurkannya ke burung dan katak, yang menggunakan toksin tersebut untuk membela diri dari ancaman seperti manusia. Lalu batrachotoxin dikumpulkan manusia dari katak demi memburu makhluk lain. “Ini merupakan kisah kehidupan luar biasa,” ujarnya. “Mulai dari racun hingga burung-burung yang indah, semuanya ada.”