Masyarakat Indonesia yang bersuku Jawa tentu tidak asing dengan yang namanya blangkon.yang bermukim di Pulau Jawa pasti sudah tak asing dengan blangkon. Apa itu blangkon? Blangkon adalah penutup atas kepala yang memiliki fungsi sepeti topi dan biasanya dipakai oleh laki laki.
Konon, penggunaan benda yang seperti topi ini sudah ada sejak awal terbentuknya budaya Jawa. Dahulu, masyarakat Jawa sudah memakai penutup kepala dari lilitan kain yang melingkar dan bagian atas terbuka. Kemudian, istilah blangkon muncul untuk menyebut ikat kepala instan atau ikat kepala siap pakai.
Tapi, pernahkah kamupenasaran akan sejarah blangkon hingga menjadi budaya Jawa? Berikut rangkuman beberapa kisah yang menjelaskan awal mula kehadiran blangkon.
1. Kisah Aji Saka
Diceritakan dalam legenda bahwa dahulu Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa penguasa tanah Jawa dengan membentangkan penutup kepala untuk menutupi seluruh tanah Jawa. Namun, dalam kisah tidak diceritakan secara jelas ukuran, lebar, dan jenis kain penutup kepala tersebut. Entah berupa kain seperti blangkon atau tidak.
2. Pengaruh Budaya Arab dari Pedagang Gujarat
Menurut catatan sejarah, masyarakat Islam keturunan Arab dari Gujarat masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Namun, saat itu penganut Islam sangat sedikit karena kerajaan Hindu dan Budha masih memegang kekuasaan dan berjaya.
Nah, ada teori berpendapat bahwa kebiasaan memakai blangkon berawal dari akulturasi atau penyerapan budaya Hindu dan Islam oleh masyarakat Jawa. Terlihat para pedagang Gujarat kerap melilit kain lebar dan panjang di kepala, yakni surban. Hal ini kemudian menginspirasi masyarakat Jawa untuk memakai ikat kepala seperti yang dilakukan orang-orang Arab pada saat itu.
3. Penutup Rambut untuk Para Penyebar Agama Islam
Kabarnya, sejarah kehadiran blangkon berawal dari pencetus bernama Ki Ageng Giring yang merupakan sesepuh keluarga Keraton Mataram. Zaman dahulu, para penyebar agama Islam yang memasuki tanah Jawa memiliki rambut panjang. Mereka enggan memotong rambut karena menganggap bahwa rambut merupakan anugerah-Nya sehingga akan mengingkari sang kuasa bila memotongnya.
Sementara di budaya Jawa, tidak ada lelaki yang berambut panjang. Karenanya, Ki Ageng Giring mencetuskan untuk menutup rambut dengan ikat kepala. Seiring perkembangan zaman, ikat kepala ini pun berubah nama menjadi blangkon.
Mondolan atau bentuk bulat yang ada di belakang blangkon merupakan wujud ikatan rambut para penyebar Islam. Di Solo, mondolan tidak berbentuk bulat, melainkan sedikit gepeng karena para pengikut ajaran Islam di sana telah memotong rambutnya. Meski begitu, mereka tetap memakai ikat kepala yang sudah menjadi budaya.
4. Krisis Ekonomi
Kisah lain menceritakan bahwa awal penggunaan blangkon karena terjadinya krisis ekonomi. Zaman dahulu, ikat kepala tidaklah permanen, sama halnya seperti surban. Namun, sejak adanya krisis ekonomi, kain menjadi barang yang langka atau sulit ditemui.
Melihat kondisi tersebut, para petinggi keraton memberi perintah kepada para seniman untuk membuat blangkon atau ikat kepala permanen. Blangkon ini menggunakan lebih sedikit lembaran kain dari biasanya, sehingga lebih hemat dan praktis.
Ternyata, banyak kisah menarik mengenai seluk beluk kehadiran blangkon di masyarakat Jawa. Terlepas dari kebenarannya, warisan budaya ini harus terus dijaga agar kelak generasi mendatang masih bisa mengenal blangkon. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.