Karena alasan medis, pasangan tidak bisa melakukan sex secara intercourse. Hal ini karena setelah rahim diangkat, produksi estrogen berhenti, dan otomatis miss V tidak bisa lagi terlumasi secara natural.

Malam itu, setelah konsultasi dengan dokter, dia menatapku dengan penuh cinta. Dia bilang, dia tahu, aku masih punya sex-drive yang tinggi, sehingga dia rela aku bisa berhubungan sex dengan orang lain, hanya jika melakukannya, tak perlu dia tahu. Karena, kami berdua punya kedekatan yang aku rasa magical, dia merasa rela untuk memberiku kebebasan dalam masalah sex.

Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Dengan perlahan aku ciumi kening, rambutnya, lehernya, sambil tanganku menyentuh lembut, mengeksplore tubuhnya. Ya, kami berdua bisa berjam2 bercinta dengan berciuman dan menyentuh pasangan.

Aku bilang bahwa baru kali ini aku mendapat pelajaran hidup yang keren. Bahwa making love tanpa sex intercourse itu uwasik dan sangat indah. Kita bisa berlama-lama mengekspresikan cinta lewat sentuhan. Aku sedang belajar dan mengalami sexless love itu nyata. Ada rasa ekstasi perasaan mencinta dan dicintai yang intens. Bahwa making love tak harus diakhiri klimaks.

Ini menarik buatku, karena dulu kegagalan perkawinanku salah satunya karena sexless marriage.

Belajarlah bahwa dalam berelasi, kita ini punya tingkatan kebutuhan. Ada fisikal, logical/ intelektual, emosional, spiritual.

Tiap-tiap level punya kebutuhan untuk berkoneksi dengan si pasangan. Koneksi di level physical adalah sentuhan fisik, termasuk sex. Keterhubungan level lain di logical adalah terkoneksinya kita dalam ngobrol dan menyampaikan ide. lalu di level emosional adalah kemampuan masing2 dalam menjadi sandaran emosi, lalu berpuncak di personal development dalam mengolah rasa di level spiritual.

Dari sekian komponen itu, sex adalah komponen yang, meskipun luar biasa indahnya, tapi sama sekali bukan show-stopper. Keterhubungan di masing level itu jauh lebih berharga.

Itulah cara mencintai pasangan.