Orang Jepang suka berhemat karena faktor ekonomi maupun faktor budaya. Mereka berhemat tidak hanya hemat uang saja, tetapi juga hemat waktu dan tenaga. Orang Jepang percaya kalau hidup manusia hanyalah satu kali dan keseharian menabung yang dilakukan haruslah untuk kebutuhan kehidupan dimasa depan. Dalam keluarga orang Jepang, uang biasanya diajarkan sejak dini dan perilaku pemborosan dan penyia-nyiaan waktu, tenaga, dan uang perlu dihindari untuk meningkatkan daya pengeluaran pada tahap optimal dan memastikan setiap pekerjaan dilakukan sebaik-baiknya. Karena itu, orang Jepang sangat menghargai waktu dan jarang ngerumpi ketika bekerja. Mereka menggunakan waktu seefisien mungkin, mereka gunakan waktu luang yang sedikit untuk membaca maupun untuk hobi lain yang bermanfaat seperti blogging, karaoke dan seni musik maupun keterampilan art and craft.

Orang Jepang sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat maupun masyarakat daratan Cina dan sebagian orang korea yang suka hidup hedonisme berlebihan dan tidak peduli terhadap kualitas pekerjaan dan barang yang dihasilkan. Walaupun tegolong negara maju, orang Amerika Serikat suka membeli dan berbelanja barang yang sebetulnya tidak mereka perlukan dan cenderung menjadi hoarder (orang yang terlalu obsesif pada koleksi barang dan benda). Itu tentunya tidak patut kita contoh.

Mesin Atm di Jepang sudah sejak lama memiliki fungsi menyetor tunai dan mengambil tunai dengan fitur print out buku tabungan. Bank komersil di Indonesia rata-rata membeli mesin ATM bekas Jepang.

Sebenarnya hampir sama dengan orang Amerika Serikat, penduduk kota besar di Jepang seperti di Tokyo, Osaka, dan Nagoya juga memiliki biaya hidup yang selangit. Makanan dan minumannya walaupun lebih berkualitas tapi juga mahal. Hal ini tak hanya dirasakan oleh wisatawan luar negeri, melainkan juga oleh penduduk setempat. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus sangat berhemat. Berdasarkan informasi yang dilansir situs Rocket News 24 (18/10/12), pengeluaran rata-rata untuk makan siang, minum-minum, camilan, dan keperluan sehari-hari turun hampir 50% dalam 20 tahun.

Dulu, mereka naik taksi secara rutin dan kadang bersantap di luar sampai enam kali sebulan. Namun, kini mereka hanya makan malam di restoran 1-2 kali per bulan. Untuk transportasinya, mereka mengandalkan kereta MRT. Pakar budget Yoko Hanawa dari Yahoo! Jepang memberikan trik mengatur keuangan bagi Anda yang berencana tinggal lama di Jepang. “Akhir-akhir ini, orang-orang membawa tempat minum pribadi,” katanya. Dengan demikian, mereka terhindar dari keperluan membeli soft drink dari minimarket dan vending machine.

Rata-rata minuman botol berharga 120 yen (sekitar Rp 15.500). Jika setiap hari kerja mereka membeli satu botol, berarti uang yang dikeluarkan untuk minum saja setahun bisa mencapai 36.000 yen (Rp 4,6 juta). “Hal kecil saja bisa membuat perubahan besar kan?” ujarnya. Karena itulah, penjualan botol minum di Jepang marak. Berbagai ukuran dan desain botol minum tersedia di toko-toko pada beberapa tahun terakhir. Apalagi penggunaan botol minum berulang kali lebih ramah lingkungan dibanding botol plastik sekali pakai.

Bagaimana dengan anggaran makan dan kehidupan pergaulan? “Banyak anak muda membatasi pengeluaran makan siang sehari-hari. Mereka juga mengontrol jumlah uang yang dipakai untuk makan-minum diluar bersama kolega. Namun hal ini bisa merugikan bagi kita,” ucap Hanawa. Menurutnya, mengandalkan junk food murah setiap hari dapat membahayakan kesehatan kita. Di lain pihak, jika kita di meja kantor saja menyantap bekal sementara yang lain ke luar makan, risikonya kita terkucil diri dari pergaulan dan kehilangan informasi penting. Orang Jepang juga biasanya membayar makan sendiri-sendiri saat mereka berpacaran. Istilah traktiran jarang sekali dipaksakan, untuk merayakan prestasi maupun acara bahagia tertentu seringkali orang Jepang makan bersama dirumah.

Hanawa menyarankan, seimbangkanlah penghematan dengan kehidupan sosial. “Makan siang di luar dua kali seminggu, lalu bawa bekal di lain hari. Namun, jangan terlalu kejam pada diri sendiri sampai berakibat negatif pada kesehatan,” jelasnya. “Apa gunanya menabung setiap hari kalau kita membuat diri sendiri sakit karena terlalu sering mengonsumsi garam, karbohidrat, dan lemak?” kata Hanawa. Lagipula, kalau kita sakit, siapa yang mau bersimpati atau mengerjakan tugas kita di kantor kalau kita tak lagi bergaul dengan mereka?. Makanya, untuk menghemat pengeluaran belanja atau makan di luar, pakailah kartu diskon anggota tempat yang sering didatangi. Biasanya kartu ini disediakan gratis. Andapun bisa mengumpulkan poin yang nantinya bisa ditukarkan dengan barang yang dibutuhkan.

Dengan membawa bekal dan air minum, penggunaan waktu istirahat kerjapun menjadi efisien. Orang Jepang bisa menghasilkan sesuatu lebih banyak, lebih berkualitas, dan tentu saja lebih cepat. Dengan begitu, keuntungan yang didapat dari hasil produksi akan meningkat. Itulah yang dapat mensejahterakan mereka. Lantas, apa mereka membelanjakan semua pendapatannya? Tentu saja tidak. Walaupun pendapatan mereka sangat besar. Pengeluaran disana juga sangat besar. Bayangkan, harga secangkir kopi saja bisa senilai Rp.70 ribu. Tetapi, mereka masih bisa menabung.

Menyimpan uang sudah menjadi tradisi bangsa Jepang secara turun-temurun. Keadaan geografis negara mereka yang bergunung-gunung dan sering dilanda gempa bumi mengajarkan mereka untuk selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan.

Jika pendapatan mereka besar, mereka selalu mengutamakan uangnya untuk ditabung dan membeli kebutuhan yang benar-benar pokok. Menyimpan uang adalah suatu sifat yang baik dan menjadi salah satu formula penting keberhasilan bangsa yang maju di dunia ini. Kemahitan dan sikap hemat dalam mengurus uang adalah jaminan utama sukses keuangan sebuah bangsa di mana saja.

Bangsa Jepang tidak suka hidup berlebihan atau dengan sangat mewah, meski mereka sangat mampu melakukannya. Namun, sikap ini semakin terkikis di kalangan generasi baru. Mereka sering menghabiskan waktu dan uang mereka dengan mencari hiburan dan melancong ke luar negeri. Situasi ini berbeda dengan generasi lama yang hidup dalam kesusahan dan penderitaan, khususnya setelah Perang Dunia 2. Golongan ini memasukkan setiap pendapatan mereka ke dalam tabungan. Hal ini jarang dilakukan bangsa lain.

Sejak sepuluh tahun lalu, jumlah tabungan keluarga di Jepang menunjukan peningkatan berkelanjutan, sehingga mereka mampu membayar hutang dalam waktu singkat. Pengelolaan sumber keuangan yang pintar adalah faktor lain yang mendorong kesuksesan ekonomi Jepang. Tabungan yang dibuat di setiap rumah memungkinkan mereka menikmati taraf hidup yang tinggi dibandingkan peningkatan biaya setiap tahun.

Bangsa Jepang tidak suka berhutang karena melibatkan harga diri. Orang barat terutama orang Amerika Serikat menjalankan gaya hidup berhutang dan menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi yang serius di negerinya. Nah, bagaimana dengan kita? Ayo, menabunglah mulai sekarang! Siapa yang tidak ingin masa remajanya memiliki modal besar untuk membuka usaha atau kuliah tanpa berhutang atau siapa yang tidak ingin masa tuanya memiliki simpanan uang yang besar sehingga tenang menjalani hari tuanya tanpa ada beban masalah keuangan? Ayo bagi yang ingin hidup sukses dan bahagia, menabunglah dari sekarang! Rajin menabung, tidak boros, pintar mengelola sumber pendapatan, tidak suka berutang, suka gaya hidup sederhana tapi berkecukupan, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Contohlah bangsa Jepang yang hanya membeli barang yang mereka perlukan dan menjalani kehidupan yang sederhana.