Bagi sebagian orang, menikah dianggap sebagai tujuan hidup yang paripurna. Hal tersebut mampu saya konfirmasi, paling tidak di lingkungan sendiri, karena tergolong banyak teman perempuan saya yang menikah muda. Alasan dibalik pernikahan mereka tentu beragam, namun tak sedikit yang melangsungkannya oleh sebab tuntutan dari orang-tua.
Pernikahan yang menjadi ikrar hidup dua insan manusia, ternyata begitu kompleks dan melibatkan banyak unsur sosial budaya sepanjang prosesnya.
Dalam praktiknya, pernikahan tidak saja cukup berfondasi cinta dan kebahagiaan antar pasangan semata. Budaya patriarkal yang telah mendarah daging di Indonesia, kerap kali merugikan perempuan ketika masuk ke ranah domestik. Konsep keluarga di Indonesia identik dengan subordinasi dan diskriminasi pada perempuan akibat kontrol penuh laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Selain itu, adanya ikut campur dari pihak mertua/keluarga ipar juga turut menambah beban psikis sang istri.
Menurut Gerda Lerner, dalam buku Menggugat Patriarki karya Kamla Bhasin (1996, hal. 11), keluarga memainkan peranan yang penting dalam menciptakan sistem hierarkis dan menjaga tatanan dalam masyarakat. Ia menulis, “Keluarga tidak hanya mencerminkan tatanan negara dan mendidik anak-anak untuk mengikutinya, ia juga menciptakan dan terus-menerus memperkuat tatanan itu”.
Lalu, mengutip dari pernyataan Dewi Sumpani, dalam thesis-nya yang berjudul ‘Kepuasan Pernikahan Ditinjau Dari Kematangan Pribadi dan Kualitas Komunikasi’ (2008, hal.5): “Idealnya suatu pernikahan adalah apabila antara pasangan suami istri memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis.
Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia maupun dari segi fisik / jasmani. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik, dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektif-objektif”.
Yang menjadi pertanyaan saya untuk diri sendiri dan para pembaca adalah, apakah suatu saat kita akan menikah karena keinginan pribadi atau karena dorongan eksternal?
- Feminisme Eksistensialis, Simone de Beauvoir
Renungan saya selama ini, saya kaitkan dengan teori feminisme eksistensialis, yang mana tentu tak bisa jauh dari sosok Simone de Beauvoir. Pemikirannya mengenai “ke-Liyanan” perempuan masih relevan hingga saat ini. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan perempuan adalah sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Ini lah yang menjadi akar dari opresi gender yang dilakukan oleh sang Diri terhadap sang Liyan dengan cara subordinasi, agar tetap menjadi pribadi yang bebas.
Bagi Beauvoir, peran sebagai istri membatasi kebebasan perempuan. Meskipun ia percaya bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan untuk memiliki rasa cinta yang mendalam, ia menyatakan bahwa lembaga perkawinan merusak hubungan suatu pasangan. Perkawinan mentransfromasi perasaan yang tadinya dimiliki, yang diberikan secara tulus, menjadi kewajiban dan hak yang diperoleh dengan cara yang menyakitkan, yaitu perbudakan (Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, 1998, hal. 269).
- Kontemplasi Diri
Walau saya secara pribadi tidak benar-benar menolak institusi pernikahan, saya mampu mengerti betapa represifnya anjuran pernikahan terhadap perempuan Indonesia. Untungnya, saya dibesarkan dalam keluarga yang tidak membedakan pendidikan serta karier bagi anak perempuan dan laki-laki, ibu saya sendiri pun adalah seorang wanita karier. Hal itu juga yang mungkin telah membentuk pola pikir saya, sehingga melahirkan rasa resisten terhadap konstruksi sosial yang beredar di masyarakat. Namun, resistensi tersebut selalu saja terbentur dengan adanya tuntutan menikah dari lingkungan sekitar.
Sedari dulu, saya sadar betul bahwa mencari pasangan tidak pernah menjadi prioritas utama. Bergaul dengan teman laki-laki menjadi hal yang lumrah untuk saya yang berkepribadian agak tomboi, sehingga kenyamanan tersebut membuat saya tidak merasa membutuhkan seorang pacar guna mencari kebahagiaan. Kesendirian saya mengajarkan saya untuk mencintai diri sendiri, tanpa membutuhkan afirmasi dari individu lain.
Terlalu nyaman dengan hidup melajang, justru membuat saya mendapat stigma dari teman-teman dan keluarga besar. Tidak sedikit dari mereka yang mempersuasi saya untuk terus mencari pasangan, atau ingin menjodohkan saya dengan laki-laki kenalannya.
Ada pula gunjingan dari keluarga besar mengenai orientasi seksual saya. Bagi mereka, seorang perempuan berusia di atas 20 tahun yang tidak pernah berpacaran bukan lah hal yang normal. Saya hanya bisa tertawa. Apabila saya laki-laki, apakah saya akan mendapatkan perlakuan yang sama?
Tidak hanya persoalan hubungan berpacaran, setiap kali saya mengutarakan kebimbangan untuk tidak menikah, otomatis orang-orang akan memarahi dan menasihati saya dengan menggebu-gebu, “Belum nemu aja yang cocok”, “Jangan ngomong kayak gitu, pamali! Nanti beneran susah dapet jodoh loh”, “Emangnya mau kalo udah tua nanti cuma hidup sendirian??”, “Cantik-cantik gini, mubazir kalo nggak nikah”, dan lain-lain.
Perkataan-perkataan tersebut menambah imanensi diri saya sebagai perempuan. Seolah, saya bukan perempuan seutuhnya apabila saya belum/tidak menikah.
Dengan mempelajari eksistensialisme, konsep pernikahan bagi saya semakin absurd keberadaannya dan tidak lagi esensial. Walau tetap ada peluang untuk menikah di kemudian hari, setidaknya kini saya memahami bahwa pernikahan adalah opsional.
Sehingga, jika suatu saat saya memutuskan untuk menikah, otonomi pengambilan keputusan harus sepenuhnya ada di tangan saya. Dengan cara itu lah saya bisa menjadi Diri (selfhood) yang seutuhnya, dan melepas ke-Liyanan seperti yang masyarakat telah konstruksikan dalam diri saya maupun perempuan-perempuan lainnya.