Saya akan menjawab berdasarkan pengalaman pribadi saya. Saya seorang Gay, discreet, tinggal di salah satu kota besar di Indonesia. Terlepas seberapa progresifnya orang-orang di kota ini, saya tetap merahasiakan seksualitas saya.
Sejak kecil saya cukup pasifis, saya memiliki sifat yang lebih nurturing dibandingkan saudara laki-laki saya yang lain. Saya keibuan, saya tidak suka hal-hal kasar. Saya memilih bermain dengan permainan yang secara seterotip feminin seperti the sims (ketimbang game perang atau GTA) saya bermain memasak alih alih permainan bola/olah raga.
Menurut saya pengalaman kecil saya ini hal yang minor, hanya saja dipicu oleh ayah saya tidak menyukai pembawaan saya yang berbeda, sehingga ia sering melakukan pelecehan verbal terhadap saya dan menggunakan proposisi feminine sebagai bentuk hinaan kepada saya, sehingga hal ini tertanam dalam diri saya, okay, saya feminine kan, ayah?
Fase selanjutnya adalah tahap SMA. Saya mempertayakan kenapa saya tidak memiliki ketertarikan seksual dengan wanita. Jujur saja, saya merasa nyaman ketika teman laki-laki saya dekat dengan saya. Ini awal dari saya mengeksplorasi seksualitas saya.
Saya bergabung dengan tim basket SMA atas rekomendasi kakak saya karena tinggi saya dan figur saya yang atletis (mesomorph) ia melihat potensi saya dibidang olah raga. Suatu ketika saya dirangkul dengan teman teammate lelaki saya dan saya tidak pernah merasakan kedekatan seperti ini sebelumnya. Saya menyukai ini. Pada poin ini, saya menganggap bahwa inilah kedekatan yang saya butuhkan, yang saya cari-cari, dan saya memperolehnya dari teman laki-laki.
Saya suka dengan bromance yang kami lakukan. Pelukan setelah kami mencetak skor, rangkulan di kursi tunggu, oh, bahkan usapan dikepalaku disaat kita bercanda, atau ketika kita harus memijat satu sama lain disesi latihan. Maaf, kawan, apa yang bagimu cuma bro-hug, saya malah ingin lebih dari pelukan yang sekejap itu, karena saya tidak pernah merasakan kedekatan seperti itu sebelumnya, bagi saya ini adalah hal yang intim.
Dan tahap eksplorasi terakhir di perkuliahan. Saya lebih bebas, saya mulai mengeksplor tentang apa yang terjadi dengan saya dan kenapa saya berbeda. Disini saya mulai menerima bahwa saya seorang homoseksual. Dengan banyaknya konten LGBTQ+ di internet sebagai bahan pembelajaran, dan bergabung dengan komunitas luar negeri, saya mulai memberanikan diri untuk menerima ini. Saya mulai mencari teman dengan orang-orang yang berorientasi dengan saya.
Saya mencari tahu apa yang sebenarnya saya sukai dari seorang laki-laki, secara fisik dan mental, apa yang saya cari dari mereka. Jujur saja, fisik berperan namun tidak begitu besar, saya bisa menyukai lelaki yang tidak muscular, atau seseorang dengan kulit pucat, dan sebagainya. Ketika saya merasa kesepian dan butuh cinta, saya mendapatkannya dari pasangan yang juga seorang laki laki. Ketika dengan rekan perempuan saya mengobrolkan hal-hal ringan dan gossip, semua pengaduan saya yang personal malah saya bagi ke teman pria saya yang enggan saya sebut sebagai pacar.
Plot twist, saya benci ini. Saya ingin berubah. Kenapa? Saya percaya saya telah menyadari letak kesalahan saya. Saya tidak mendiagnosa diri saya sendiri, lebih tepatnya saya mempercayai dan mempelajarinya, ini bagian dari eksplorasi tentang seksualitas saya.
Menurut saya, penyebab saya menjadi homoseksual adalah karena saya salah menerjemahkan cinta itu sendiri. Apa yang seharusnya saya rasakan dari figur laki laki adalah cinta yang berbeda yang seharusnya saya dapatkan dari seorang perempuan. Saya tidak mendapatkan cinta persaudaraan dan keayahan dari seorang laki-laki, sehingga kekosongan itu diisi oleh ibu saya dan teman wanita saya.
Ketika saya sedang mencari cinta untuk kepuasan seksual, disaat puber dan ledakan-ledakan hormonal seorang remaja, kekosongan itu malah akirnya terisi dengan ketertarikan terhadap laki-laki. Ya, saya lebih suka melihat figur seorang laki-laki, suara laki-laki akan lebih menyenangkan saya, saya lebih menyukai sentuhan dari laki-laki. Saya mencoba menikmati hal yang sama dari seorang perempuan dan saya tidak mendapatkan kepuasan yang sama.
Saya yakin seksualitas saya dibentuk dari keadaan sosial, dari lingkungan saya yang tidak memperlakukan saya sebagai laki-laki. Yang terjadi kepada saya adalah saya telah emasculated dan saya malah memandang laki-laki sebagaimana perempuan memandang laki-laki.
Sekarang, saya pikir, setahap demi setahap saya dapat mengondisikan hasrat homoseksual saya. Saya tidak melakukan konseling secara profesional dengan Psikolog, tapi hanya sekali saja melalui keluarga saya (sepupu) yang memiliki latar belakang psikologi, yang mau bersama-sama menelaah kasus saya dengan kacamata psikolog lama pra-penghapusan homoseksualitas sebagai penyakit mental.
In the end, I resort to religious authority and LGBT Counseling Community. Cukup sulit menguatkan mental untuk mengaku ke ustadz bahwa saya memiliki ketertarikan sesama jenis, namun setelah memberanikan diri saya merasa beruntung bahwa orang yang saya temui mengerti keadaan saya dan tidak menghujat saya.
Beberapa teman-teman di komunitas konseling LGBT juga sangat suportif dengan keputusan saya, dan kita saling mendukung progress masing-masing. Mereka seperti gym buddies, tapi untuk progress pemulihan diri. Sayangnya sebagian besar teman-teman dari spektrum homoseksual sulit menerima bahwa gay seperti kami ada dan cenderung berusaha meredupkan niat kita untuk membenahi diri.
Pada akhirnya setelah perjalanan beberapa bulan ini saya berakhir kepada suatu kesimpulan.
“Dalam diri kita ada potensi, ada bibit, untuk kebaikan dan keburukan. Pilihan dari kitalah yang menentukan bibit yang mana yang akan tumbuh subur dalam diri kita.”
Selama ini saya hanya membiarkan diri untuk “menyuburkan” hasrat homoseksual saya melalui media pornografi, melalui casual sex (sangat mudah membuka grindr untuk mencari teman main) atau sekadar cuci mata di tempat umum. Intinya saya tidak memiliki kendali penuh atas hasrat seksual saya diperparah lagi dengan kecanduan pornografi.
Dari komunitas agama saya belajar untuk berpuasa. Berpuasa membantu saya menekan hasrat seksual. Berpuasa yang saya lakukan tentu dengan panduan agama saya, berpuasa menahan lapar sambil melakukan aktivitas ibadah tambahan. Teman-teman yang sedang berjuang mungkin bisa mengikuti cara ini dengan panduan agama masing-masing, atau kegiatan spiritual apapun yang kalian percayai. Karena dibutuhkan willpower untuk melawan nafsu dan dorongan homosexualitas dan spiritualitas/religiusitas dapat mendukung niat kuat itu.
Dari teman teman konseling dan pegiat LGBT saya belajar, dan menemukan pendukung dari apa yang saya percaya sejak awal, bahwa seksualitas adalah konstruksi sosial dan dapat dibangun. Bahkan saya bertemu dengan ex-marinir Indonesia (TNI AL) di komunitas tersebut yang dulunya gay dan sekarang sudah menikah, punya anak. Oh dan betapa kecilnya dunia, saya panik pas tahu kalau dia ternyata kolega ibu saya. He understand the situation and kept things between us.
I reconnect with old relatives. Salah satunya adalah sahabat SMA saya yang juga sangat suportif. Dia hijrah sejak beberapa tahun lalu, dan dia sangat membantu saya dalam proses belajar agama kembali. Kita didefinisikan oleh orang-orang disekitar kita. Saya masih berteman dengan beberapa rekan kerja yang openly gay, mungkin karena kami berbeda visi jadi sekarang kami tidak sedekat dulu.
Lastly, I’ve found love in the opposite sex, I guess… or so i thought. Tidak, saya tidak bilang kalau saya sudah berhasil “convert” jadi straight. Saya bahkan belum yakin hal itu bisa dicapai 100%. Tapi awal tahun ini saya dekat dengan seorang wanita dan saya merasa nyaman ketika bersama dengan dia. Ntahlah ini perasaan suka yang seksual atau romantic, belum tahu, tapi mungkin ini sebuah progress dari usaha saya, atau do’a saya yang diijabah.