Bagaimana rasanya terlahir sebagai minoritas dobel (minoritas ganda) di Indonesia?

Saya keturunan Jawa (Jogja) dari ibu dan Tionghoa dari Ayah. Secara fisik lebih ke Tionghoa karena ibu saya juga berkulit kuning langsat dan mata agak sipit.

Secara etnis saya tergolong minoritas di lingkungan keluarga besar, karena Jawa murni juga tidak, Tionghoa tulen juga bukan.

“Ketidakmurnian ras” sedikit banyak juga mempengaruhi cara saya bersikap terhadap dua budaya etnis yang mengaliri darah saya, misal : Terhadap kuliner Jogja saya merasa tidak cocok karena terlalu manis, namun dengan cita rasa Tionghoa juga sama karena saya anggap terlalu pengar dengan aroma bawang putih dan berbagai saus-sausan-nya.

Selain itu saya Katolik. Dalam keluarga pihak ibu yang dominan beragama Islam serta Kejawen, saya minoritas. Pihak ayah pun demikian, karena mayoritas pemeluk Konghucu dan Budha juga saya minoritas.

Lalu kenapa orang tua saya bisa katolik? Jadi dulu ibu saya bersekolah di sekolah yang dikelola oleh yayasan katolik, oleh para biarawati, kemudian setelah lulus sekolah, dewasa dan bekerja, ibu saya kemudian secara sadar terpanggil mengimani agama tersebut. Kalau ayah saya? Ya karena ikut ibu saya saat mereka menikah.

Dalam keluarga besar sendiri, perbedaan tidak menjadi masalah. Walaupun berbeda kami saling menghormati. bahkan semasa kecil saya ikut takbiran keliling kampung mengikuti sepupu yang merayakan lebaran, dan saat Imlek saya juga ikut-ikutan sepupu melakukan ritual peribadatan lengkap dengan gerakan dan hio di tangan. Natal & Paskah pun demikian, kedua keluarga besar masing-masing pihak, ikutan heboh merayakannya bersama kami. Sampai sekarang.

Sejak TK hingga SMA saya bersekolah di sekolah katolik sehingga saya termasuk mayoritas di dalamnya. Jadi tidak ada perasaan sebagai minoritas. Apalagi membuat insecure.

Namun, perasaan menjadi minoritas ganda jadi tajam terasa saat mulai duduk di bangku kuliah S1. Kebetulan saya lulus UMPTN (jaman dulu itulah istilahnya untuk tes masuk PTN, entah apa namanya saat ini) sehingga sayapun kuliah di PTN, di salah satu PTN 3 besar di Indonesia. Dari satu angkatan yang berjumlah kurang lebih 70 orang, hanya 3 orang yang beragama Katolik dan 4 yang warga keturunan termasuk saya.

Terasa arti berbeda tidak sama lagi seperti yang dihayati di keluarga besar kami. Di sini saya mulai merasakan bagaimana insecure-nya menjadi golongan minoritas ganda, sudah keturunan Tionghoa, agamanya katolik pula ?.

Pernah ada peristiwa yang masih saya kenang saat S1, 18 tahun yang lalu…

Saat itu presentasi kelompok, setelah mengucapkan selamat pagi kemudian saya mengucapkan salam pembuka berbahasa arab, yang juga biasa diucapkan kebanyakan orang, alasan saya berlaku demikian karena anggota kelompok saya yang lain juga mengucapkan salam yang sama, dan menurut pengalaman saya, selama ini tidak ada masalah saat mengucapkan salam tersebut. Niat saya juga tulus dan baik.

Akan tetapi dosen saya menegur agar saya hendaknya mengucapkan salam sesuai dengan agama saya.

Baiklah…saya turuti, di lain waktu, kali ini presentasi individual dengan dosen yang sama, setelah mengucapkan selamat pagi, saya kali ini mengucapkan salam dalam bahasa Ibrani, “syalom ” namun presentasi saya yang tanpa cela akhirnya menghantarkan saya mendapatkan nilai… D ! Padahal absensi selalu penuh dan ujian akhir dapat saya jawab dengan baik. Saya tidak lulus satu mata kuliah tersebut. Hahaha. Kalau dipikir-pikir sekarang, sebetulnya sikap saya agak menantang juga ya waktu itu, maklumlah usia belasan, darah muda. Padahal sesungguhnya saya juga jarang menggunakan salam tersebut bahkan dalam komunitas yang sama.

Saat mengulang mata kuliah itu lagi di semester berikutnya, setiap membawakan presentasi, saya tidak mengucapkan salam apapun, langsung ke topik pembahasan, dan kemudian berhasil lulus mendapatkan nilai A.

Apakah saya sudah mendapatkan perlakuan diskriminasi? Entahlah! Namun dengan makin bertambah umur, saya menjadi tidak ambil pusing terhadap hal ini. Terserahlah orang lain mau menilai saya apa dan bagaimana. Saya anggap sebagai bagian sifat dunia yang sejatinya penuh dengan ketidakadilan.

Dan pertanyaan ini dapat terjawab dengan kesimpulan dari berbagai peristiwa hidup yang berkaitan dengan hal ini, yang pernah saya alami sendiri tentunya : Perlakuan diskriminasi memang sudah mendatangkan beberapa kesulitan dalam hidup saya sebagai minoritas ganda, namun sebetulnya itu sedikitpun tidak mengoyahkan kadar percaya akan suatu nilai (baik itu nilai agama, atau nilai kehidupan) yang saya imani kebenarannya.

SOURCE: ISABEL REGITA MARUSKA