Pariwisata memang menggerakkan roda ekonomi kota, tapi perlahan dianggap pemicu pencemaran lingkungan. Gerakan anti pariwisata ini berawal dari Spanyol Eropa dan merambah keseluruh dunia.
Barcelona adalah salah satu kota yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Eropa. Tahun lalu, sekitar 8,2 juta wisatawan mancanegara datang ke kota ini. Mereka memberikan dampak langsung pada penduduk kota. Menurut laporan statistik Barcelona Turisme 2016, ada lebih dari 27 ribu perusahaan pariwisata, dan sektor ini menyediakan 296 ribu pekerjaan. Tapi belakangan beberapa kelompok warga lokal mulai gerah dengan turis yang berlaku sembarangan.
Beberapa orang yang mengaku berasal dari Arran —kelompok anak muda Kiri— mendatangi bus wisata, menyobek bannya, dan menyemprotkan piloks bertuliskan bahasa Spanyol, yang kira-kira berarti “Pariwisata membunuh kawasan ini”.
Pada BBC, salah satu juru bicara Arran mengatakan bahwa model pariwisata hari ini mencerabut warga lokal dari tempat tinggalnya, dan membahayakan lingkungan. Di kesempatan lain, Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, memberi cap ekstremis pada kelompok ini.
Perlawanan terhadap pariwisata ini tidak hanya terjadi di Barcelona. Ia juga terjadi di Mallorca, San Sebastian, juga Venesia di Italia. Pekan lalu di Venesia, kota yang hanya dihuni oleh 55 ribu warga tapi didatangi oleh 20 juta wisatawan per tahun, sekitar 2.000 warga lokal melakukan demonstrasi. Mereka marah karena melejitnya harga sewa apartemen, juga polusi yang disebabkan oleh para turis dan kapal pesiar. Para warga lokal ini juga mengkritik turis yang berlaku seenaknya, seperti makan minum di tempat bersejarah, atau mabuk sembarangan di malam hari.
Sebagai kota dengan sejarah pariwisata berusia ratusan tahun, Venesia punya daftar masalah yang panjang. Pertama, terkait melubernya wisatawan yang dianggap bersikap semaunya. Kedua, harga properti yang melonjak dan membuat warga lokal kesusahan menyewanya, membuat warga lokal tersingkir. Saat ini, penduduk tetap Venesia berkisar 55 ribu orang, terendah dalam 40 tahun terakhir.
Ketiga, banyak pembangunan infrastruktur yang serampangan. Keempat, saat ini lebih banyak wisatawan tak menginap (day tripper). Dengan waktu pendek, mereka tak akan punya waktu untuk mengeksplorasi kota dan menemui para pengrajin lokal. Mereka hanya akan datang ke titik wisata populer, dan membeli suvenir dari toko besar. Artinya, uang hanya akan mengalir ke segelintir orang.
Derap pariwisata di Venesia memang susah dihentikan. Kantor Wali Kota berusaha mengeremnya. Antara lain keputusan untuk tak memberi izin pembangunan hotel atau apartemen di kawasan bersejarah, juga menerapkan denda besar bagi turis yang makan minum di sana.
Usaha menghentikan derap pariwisata yang terlalu kencang mungkin baru akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Sejak lama pariwisata menjadi tulang punggung Bali, berdampingan dengan nilai-nilai luhur di pulau itu. Banyak warganya mendapat manfaat dari pariwisata. Tapi kemudian Bali dieksploitasi habis-habisan. Salah satunya adalah rencana reklamasi, yang akan membuat Teluk Benoa menjadi kawasan berisi resor wisata bertaraf internasional.
Banyak warga Bali menganggap ini sudah keterlaluan. Mereka merasa bahwa reklamasi akan membawa dampak negatif lebih besar ketimbang manfaat. Maka mereka turun ke jalan. Para pendemo berasal dari lintas Suku, Agama, dan Ras. Gerakan ini adalah salah satu gerakan sipil terbesar sejak Reformasi 1998. Ia jelas lebih besar ketimbang perlawanan yang terjadi di Barcelona atau Venesia.
Bagi warga Yogyakarta mungkin masih ingat dengan aksi Dodok Putra Bangsa yang melakukan aksi mandi pasir di depan Fave Hotel. Keberadaan hotel itu dianggap telah mengeringkan sumur warga kampung Miliran.
Baru-baru ini, ada kritik dahsyat terkait banyaknya sampah di Gili Trawangan, Lombok. Dengan pose foto melompat, berselancar, hingga berayun di tempat yang penuh dengan sampah, mereka menyampaikan kritik satir terhadap buruknya penanganan sampah di Gili Trawangan.
Djoko Wijono, dosen Magister Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa aksi-aksi perlawanan itu merupakan salah satu bentuk kekecewaan masyarakat. Selama ini di Indonesia, memang belum ada aksi besar anti pariwisata. Beberapa hanya berupa keluhan warga lokal terhadap macet di titik-titik pariwisata. Namun jika merujuk apa yang terjadi di Bali, Barcelona, juga Venesia, maka hal itu bisa dilihat sebagai kondisi darurat.
“Jika ada demonstrasi seperti itu, artinya masyarakat lokal tidak lagi mendapat manfaat, hanya ada kerusakan,” ujar Djoko.
Djoko menyambut baik inisiatif pemerintah untuk membuat 10 tujuan wisata prioritas. “Ini agar Bali tidak lagi terlalu dieksploitasi,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada. Namun Djoko memberi catatan: kesiapan infrastruktur. Jangan sampai promosi gencar, tapi infrastruktur tidak mendukung. Selain itu yang harus dipahami juga adalah, segala pembangunan infrastruktur dan persiapan itu akan membutuhkan waktu. Ia bukan hal instan.
Respons warga lokal, lagi-lagi, adalah kunci penting. Gursoy menulis, memahami perilaku warga lokal adalah hal penting untuk memahami gejala pariwisata di suatu daerah. Ia menulis, “Warga lokal yang sangat peduli terhadap komunitas dan masalah komunitas adalah mereka yang peduli dengan ekonomi lokal. Mereka percaya bahwa pariwisata, selain memberikan dampak positif, juga bisa menghadirkan dampak negatif.” Orang-orang yang berdemonstrasi dan melakukan perlawanan terhadap pariwisata massal seharusnya tidak sekadar dilihat sebagai orang yang anti terhadap kemajuan dan dampak ekonomi pariwisata. Melainkan sebagai orang yang peduli terhadap ekonomi lokal dan lingkungannya.
Maka jika muncul letupan perlawanan anti pariwisata, apalagi dalam skala besar, sudah pasti ada hal yang salah dalam pengelolaannya. Pembenahan adalah hal wajib sebelum letupan kecil itu membesar dan kemudian meledak.
———-
Sumber: BBC