Bahasa Inggris sebenarnya merupakan perpaduan dari hasil pencampuran budaya kolonial Viking dari Eropa utara, budaya suku Welsh-Scottish-Irish penduduk pribumi asli pulau Britannia dan juga perantau asal Jerman dari daerah Saxony di Utara Negeri Jerman. Dikemudian hari, Angles atau Anglo berubah penyebutannya menjadi ‘English’. Di beberapa abad berikutnya, pengaruh Kristen yang dibawa oleh kerajaan Perancis juga mempengaruhi struktur bahasa Inggris.

Dimasa lalu pada abad ke 10-14, bahasa Inggris digolongkan sebagai bahasa kelas rendah didaratan Eropa. Perlu juga kita tahu bahwa pusat kebudayaan Eropa pada masa itu ada di kerajaan Roma di Italia hingga ke Turki. Mereka yang berbahasa latin dianggap warga kelas satu, karena bahasa tersebut merupakan bahasa nasional pemersatu koloni Roma. Mereka yang berbahasa Jerman, Farsi atau Persia timur tengah maupun Perancis dianggap warga kelas 2 dan berbahasa diluar dari ketiga bahasa tersebut masih dianggap orang barbar dan kampungan yang tidak berbudaya tinggi. Jika seseorang mampu berbahasa dan menulis dalam huruf latin, dia akan memiliki kemudahan menjadi warga negara Roma dan memiliki kesempatan hidup dan lowongan kerja yang lebih baik.

Tampilan kaligrafi di kover Alkitab orang Kristen dalam bahasa inggris kuno yang digunakan oleh masyarakat Anglo-Saxon. Pengaruh kuat dari budaya ini bisa terlihat jelas dari bentuk kaligrafi bunga dan tulisan Romawi dalam bahasa Inggris kuno

Penggunaan istilah Anglo-Saxon sebenarnya mengasumsikan bahwa kata-kata Angles, Saxons atau Anglo-Saxon memiliki arti yang sama di semua sumber. Istilah ini mulai digunakan hanya pada abad ke-8 untuk membedakan kelompok “Jermanik” di Inggris dari yang ada di benua (Saxony Tua di Jerman Utara).

Sejarah Anglo-Saxon adalah sejarah identitas budaya sebagian besar suku bangsa didaratan Eropa Utara dan Eropa Barat. Ini dikembangkan dari kelompok-kelompok yang berbeda dalam hubungan dengan adopsi kepercayaan mereka menjadi orang Kristen, dan merupakan bagian integral dari pembentukan berbagai kerajaan di Eropa. Terancam oleh perluasan invasi Viking Denmark dan pendudukan militer Inggris timur, identitas ini didirikan kembali; itu mendominasi sampai setelah Penaklukan Normandia di garis pantai utara Perancis yang berbatasan laut selat dengan Inggris.

Peninggalan budaya Anglo-Saxon yang dapat dilihat dalam budaya material bangunan, gaya berpakaian, kaligrafi teks dan barang-barang kuburan. Di balik sifat simbolis dari lambang-lambang budaya ini, ada unsur-unsur kuat dari ikatan kesukuan dan kekuasaan. Para elit menyatakan diri mereka sebagai raja yang mengembangkan dan mengidentifikasi peran dan peraturan di masyarakat mereka sesuai dengan panduan Alkitab orang Kristen.

Istilah budaya Anglo-Saxons bisa diartikan menjadi suku bangsa yang menghuni Inggris dari abad ke-5. Mereka terdiri dari orang-orang dari suku Jerman yang bermigrasi ke pulau itu dari benua Eropa, keturunan mereka, dan kelompok pribumi Inggris yang mengadopsi beberapa aspek budaya dan bahasa Anglo-Saxon.

Anglo-Saxon dalam linguistik merupakan istilah untuk komponen Germanika Barat asli dari bahasa Inggris modern, yang kemudian dikembangkan melalui pengaruh Norse Kuno dan Norman Prancis, para ahli bahasa sekarang lebih sering menyebutnya sebagai Bahasa Inggris Kuno. Jadi walaupun kita memiliki skor TOEFL tinggi ataupun terlahir dari Inggris moderen dan terlempar melalui lorong waktu ke daratan Inggris di masalalu, belum tentu kita bisa dan mampu berbicara dalam bahasa Anglo-Saxon kepada mereka.

Periode awal Anglo-Saxon mencakup sejarah Inggris abad pertengahan yang dimulai dari akhir pemerintahan Romawi. Ini adalah periode yang dikenal luas dalam sejarah Eropa sebagai Periode Migrasi, juga Völkerwanderung (“migrasi masyarakat” dalam bahasa Jerman). Ini adalah periode migrasi manusia yang intensif di Eropa dari sekitar 400 hingga 800. Para migran adalah suku Jerman seperti Goth, Vandal, Angles, Saxon, Lombard, Suebi, Frisii, dan Frank; mereka kemudian didorong ke barat oleh Hun, Avar, Slavia, Bulgar dan Alan. Para migran ke Inggris mungkin juga termasuk Hun dan Rugini.

Efeknya tetap ada di abad ke-21 karena, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di Maret 2015, susunan genetik populasi Inggris hari ini menunjukkan perpecahan unit politik kesukuan periode Anglo-Saxon awal. Yang pertama dari komunitas tiga kali lipat milik keturunan Raja Alfred, raja dari kerajaan Anglo-Saxon yang merupakan kerajaan berbasis agama Kristen. Meskipun agama Kristen mendominasi sejarah kepercayaan masyarakat Anglo-Saxon, kehidupan di abad ke-5/6 didominasi oleh keyakinan agama ‘pagan’ dengan warisan Scando-Germanic.

Bagi orang Anglo-Saxon sebelum era Kristen, Kuda adalah simbol kesuburan yang menonjol, dan ada banyak ritual adat yang terkait dengan ini termasuk perkelahian kuda, penguburan, konsumsi daging kuda, dan pengorbanan kuda. Hengist dan Horsa, nenek moyang mitos dari Anglo-Saxon, dikaitkan dengan kuda, dan referensi untuk kuda ditemukan di seluruh literatur Anglo-Saxon.

Helm perang Anglo Saxon dengan ukiran Kuda; kuda merupakan teman dekat dewa Wodan dari kepercayaan pagan, dan / atau mereka mungkin (menurut Tacitus). Kuda juga sangat terkait dengan dewa bangsa Viking, terutama dewa Odin dan dewa Freyr. Kuda memainkan peran sentral dalam praktik pemakaman serta dalam ritual lainnya.

Pemakaman kuda yang sebenarnya di Inggris relatif jarang, mungkin menunjukkan pengaruh dari daratan Eropa utara. Sebuah makam abad keenam dekat Lakenheath, Suffolk, menampilkan gambar relief tubuh seorang pria di samping kuda lengkap dalam baju zirah, dengan seember makanan di atas kepalanya.

Sebenarnya kelompok pribumi inggris merupakan suku bangsa yang diserang oleh pendatang dari daratan Eropa, lalu kemudian hari seiring dengan ekspansi Kerajaan Roma yang membawa nilai Kristiani, percampuran dan penyesuaian budaya pun terjadi dan turut serta membentuk identitas orang Inggris moderen.

Pada abad ke-19 istilah Anglo-Saxon secara luas digunakan dalam filologi, ilmu bangunan, budaya dan masih digunakan pada saat ini untuk menunjukkan kemiripan struktur bahasa dan budaya orang Inggris, Irlandia, Sotlandia, Welsh, hingga Norwegia di daratan Eropa. Hal ini membuat banyak orang yang terbiasa berbahasa Inggris bisa dengan mudah mempelajari bahasa Eropa Utara karena struktur bahasa dan kosa kata yang mirip hanya beda di pelafalan dan penulisan sedikit, seperti bahasa orang Norwegia dan Irlandia maupun Scotlandia.

Bahasa Inggris sebenarnya dalam sejarah pembentukannya sangat mirip dengan bahasa indonesia, yaitu bahasa pemersatu suku bangsa yang menyerap semua kosakata dari setiap penuturnya. Apakah kamu sudah terbiasa berbahasa Inggris? Kalau belum jangan malu untuk belajar bersama kita dan mendaftarkan diri di program kursus kita yang hanya 18x pertemuan, 2×45 menit hanya di www.Fortuner.id


Sumber:

DW

WIkipedia

BBC