Para pelaku bisnis jasa penyelenggara resepsi pernikahan di berbagai daerah di Indonesia turut terdampak pandemik virus corona atau COVID-19.
Kondisi bisnis mereka kini ‘mati suri’ sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang mensyaratkan menjaga jarak fisik dan menghindari kerumunan. Karena pundi-pundi mereka kini berkurang drastis.
Pelaku bisnis jasa penyelenggara resepsi di Jakarta sudah mulai merasakan dampak virus corona sejak penerapan PSBB pada 13 April lalu, yang di dalamnya mengatur ketentuan acara pernikahan hanya boleh dihadiri keluarga inti dan hanya bisa digelar di KUA.
1. Sepi permintaan, potensi kehilangan pendapatan hingga miliaran rupiah
Kala pandemik menerpa, tak sedikit calon pengantin menunda hari pernikahan mereka. Selain karena was-was jadi celah penularan virus corona, aturan PSBB yang melarang acara resepsi menjadi faktor lain. Imbasnya, pemasukan para pelaku bisnis jasa penyelenggara resepsi pun ikut terhenti.
Seperti yang dialami salah satu pengusaha jasa penyelenggara resepsi terakhir melaksanakan akad plus resepsi pernikahan sebelum Maret.
“Yang pasti paket acara resepsi untuk bulan Maret, April, Mei, dan Juni hampir semua tunda dan dibatalkan. Tiga bulan ini kami sama sekali gak melakukan acara pernikahan,” kata Jajang, salah satu pengusaha jasa penyelenggara resepsi dihubungi, Senin (1/6/2020).
Tingkat permintaan juga menurun drastis. Dengan patokan harga paket pernikahan terbawah senilai Rp1o0 jutaan, Jajang menaksir potensi kehilangan pendapatan bisa mencapai miliaran rupiah, akibat pandemik virus corona.
“Sebelum masa corona, rata-rata per bulan sekitar customer yang menggunakan jasa ini tapi saat periode Maret hingga Mei pada banyak pembatalan” ujar Jajang.
Sepinya permintaan secara otomatis mengganggu kondisi keuangan, dan pada saat bersamaan kondisi para pekerja menjadi rentan. Kata Jajang, sedikitnya 30 orang karyawan terpaksa dirumahkan.
Mereka yang menjadi pegawai saban bulan masih menerima gaji dengan nominal yang berkurang dari sebelumnya, tetapi sebagian yang pekerja lepas terpaksa harus bertahan hidup dengan cara lain, hingga operasional jasa penyelenggara resepsi normal kembali.
2. Pelaku bisnis jasa penyelenggara resepsi berharap era normal baru bisa mengembalikan kondisi
Nasib serupa menimpa pengusaha jasa penyelenggara resepsi, Umar. Ia bahkan mengalami potensi kehilangan pendapatan pun ditaksir hingga Rp100 juta.
“Dampaknya yang sudah pasti gak gerak sama sekali. Semua customer dari awal April sudah dipending semua,” kata dia.
Sama dengan bisnis jasa penyelenggara resepsi Humai, tingkat permintaan yang ingin memakai jasa jasa penyelenggara resepsi pun menurun drastis sejak pandemik. Padahal di setiap momen jelang Ramadan biasanya ia banjir pesanan.
“Sebelum corona, seperti menjelang puasa biasanya bidang jasa penyelenggara resepsi ini zamannya panen. Calon pengantin berebut tanggal. Hampir setiap minggu ada aja. Sampai ada aja yang kita tolak dulu karena saking banyaknya permintaan,” ujar pemilik jasa penyelenggara resepsi itu.
Kini, Umar berharap wacana new normal atau normal baru, yang konon melonggarkan aturan PSBB dapat memulihkan kondisi bisnisnya. Resepsi yang sebelumnya dilarang, juga diharapkan boleh digelar kembali, sebab, satu-satunya acuan besar yang bisa diperoleh dari acara resepsi itu.
Bagi Taufik, bila new normal dalam hal resepsi pernikahan masih ada pembatasan sosial, sama saja tidak berdampak bagi pemulihan bisnis jasa penyelenggara resepsi.
“Tetap rugi, karena yang seharusnya untung tiga jadi setengah. Contoh katering, mau masuk banyak atau dikit tenaga kerjanya sama. Kita bikin 50 porsi dan 1000, yang kerja sama banyaknya. Buat bayar orangnya dan gasnya itu sama. pengeluaran untuk event sama, tapi pendapatan jauh berkurang,” pungkas Taufik.
3. Pemerintah diharapkan memberikan insentif
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan jasa penyelenggara resepsi menjadi satu dari sekian sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang terdampak pandemik corona.
Solusinya, lagi-lagi mesti ada intervensi pemerintah. Sebelum normal baru berlangsung dengan protokol-protokol di belakangnya, pemerintah semestinya bisa memberikan keringanan pajak hingga keringanan pembayaran cicilan.
“Kalau jasa penyelenggara resepsi yang modalnya bergantung pada pinjaman, baiknya ada keringanan bagi mereka. Pemerintah bisa menjamin bahwa bank-bank memberi kebijakan keringanan untuk mereka. Relaksasi dalam cicilan. Jadi, ada relaksasi pinjaman dan pengembalian,” ucap Trubus kepada Indonesiar.com