udah punya suami yang baik, sudah punya anak yang manis, hidup pun berkecukupan. Tidak perlu bekerja, sudah ada yang menafkahi, hidup diisi dengan rutinitas mengurus anak dan rumah dari hari ke hari. Apakah ini impian setiap perempuan? Apakah perempuan akan bahagia jika ia sudah menikah, sudah jadi istri dan ibu?
Pada tahun 1963, Betty Friedan, seorang aktivis feminis Amerika Serikat, mengeluarkan buku berjudul The Feminine Mystique. Di dalam buku ini, Friedan menawarkan konsep yang disebut “the problem that has no name” (persoalan yang tak memiliki nama). Ungkapan ini keluar setelah Friedan mewawancarai sejumlah ibu rumah tangga yang tinggal di daerah suburban.
Setiap hari mereka beres-beres rumah, masak, antar anak sekolah, menunggu suami pulang. Saat mereka di rumah seorang diri, mereka merasa galau, depresi, kosong. Tapi mereka merasa diri mereka salah, mengapa mereka tidak bahagia, kan mereka sudah mendapatkan segala hal yang dianggap “kebahagiaan perempuan”?
Perasaan bersalah pun menyelimuti perasaan mereka, kok mereka bisa-bisanya tidak bahagia, padahal uang cukup, dikaruniai anak, suami pun menafkahi. Mereka tidak tahu apa yang menimpa mereka ini. Frieda menamai persoalan ini dengan “the problem that has no name”. Dibandingkan masalah-masalah “berat” seperti masalah politik dan ekonomi, perasaan tidak bahagia seorang ibu rumah tangga yang berkecukupan secara materi, sungguh tidak mendapat tempat untuk dianggap sebagai persoalan.
Ini masalah tahun 1963. Sekarang sudah tahun 2020, sudah lebih dari setengah abad sejak buku The Feminine Mystique keluar. Apakah sekarang apa yang dialami ibu dan istri, sudah memiliki nama?
Baru-baru ini saya menonton drama Jepang berjudul Saka no tochuu no ie (terjemahan: Rumah di tengah tanjakan). Drama ini berdasarkan novel karya Kakuta Mitsuyo dengan judul yang sama. Kakuta Mitsuyo memang salah seorang pengarang perempuan Jepang yang karya-karyanya banyak membahas motherhood, wifehood, dan womanhood.
Tema drama ini adalah tentang postpartum depression (PPD) atau depresi pasca melahirkan. Tokoh utama dalam film ini depresi dan stress karena setiap hari harus mengurus bayi yang baru lahir seorang diri. Ditambah dengan ibu mertua dan suaminya minta dia untuk terus berjuang dan bilang semua ibu juga pasti bisa, tidak usah stress…
Sampai akhirnya ibu ini menenggelamkan bayinya di bak mandi hingga meninggal. Ibu ini kemudian dipenjara, kasusnya dibahas oleh pengadilan dan beberapa anggota masyarakat diminta untuk jadi juri hukum pada kasus ini. Lewat para juri ini berbagai pandangan terkait kasus ibu yang terkena PPD ini diperlihatkan. Kebanyakan menganggap ibu ini aneh, PPD biar bagaimanapun tidak dapat dibiarkan, masa iya ada ibu tega bunuh anaknya.
Hanya sedikit juri yang empati pada ibu, mereka semua juga adalah ibu yang punya anak kecil dan memahami perasaan stress ibu yang kena PPD ini. Digambarkan juga pergumulan beberapa ibu yang jadi juri, misalnya anak tantrum, suami menyalahkan istri, mertua komentar ini itu soal pengasuhan anak yang membuat ibu merasa tertekan, suami meminta ibu yang bekerja untuk berhenti dari pekerjaannya agar fokus urus anak, istri ditekan untuk menyiapkan makanan…menonton semua ini sungguh membuat batin ini emosi.
Memang apa yang tergambar dalam drama ini tidak dapat digeneralisasi bahwa pasti itu yang terjadi di dalam masyarakat, tapi setidaknya ideologi yang menganggap perempuan memang tempatnya di rumah, seharusnya bahagia urus anak, aneh jika stress karena urusan anak….memang masih terus abadi di dalam masyarakat.
Ibu-ibu, pernah tidak saat kita baru melahirkan dan masih canggung-canggungnya jadi ibu, ada komentar-komentar seperti ini:
“Jadi ibu itu harus ikhlas….ntar juga capek-capek dikit semua berlalu…”
“Kok beli makanan jadi? Bikin sendiri dong….”
“Ntar anaknya bingung puting lho kalau minum ASInya lewat botol”
“Ngelahirinnya normal apa caesar?”
“Dinikmatin aja jadi Ibu….harus bersyukur lho….”
“Sabar, banyak yang ngga punya anak lho.
Mengapa saya tahu banyak ujaran seperti ini? Ya jelas tahulah…. karena saya mengalaminya sendiri. Timbul pertanyaan dalam benak saya, memangnya motherhood, wifehood dan womanhood ini harus banget definisinya “perempuan bahagia dan tidak pernah mengeluh dalam mengerjakan urusan domestik, urus anak dan suami” ya? Apa tidak ada definisi lain?
Dalam kemarahan, saya lalu menata hati saya sedikit demi sedikit. Serpihan demi serpihan saya pungut, kemudian saya berpikir, demi kewarasan, saya harus mendefinisikan ulang apa itu sebenarnya menjadi ibu, istri, perempuan.
Menurut saya, kita perempuan, tidak boleh mengizinkan diri dibelenggu oleh norma patriarki. Menjadi ibu dan/atau istri bukan berarti kita harus kehilangan diri kita, kehilangan hak untuk punya impian, untuk punya keinginan.
Salahkah seorang ibu jika ia merasa tidak bahagia? Salahkah jika ia mengalami depresi? Kita tidak berhak menyalahkan seorang ibu jika ia merasa tidak bahagia atau menganggapnya aneh ketika ia bergulat dengan depresi. Lebih jauh dari itu, kita seharusnya mulai memahami bahwa ada persoalan yang lebih dalam daripada ketidakbahagiaan atau depresi tersebut.
Hal tersebut adalah represi dari patriarki, yang menekan perempuan untuk tidak bersuara mengungkapkan persoalan yang ia alami. Depresi pasca melahirkan dianggap aneh, perempuan yang lelah mengurus anak dianggap tidak bersyukur, perempuan yang punya keinginan lain selain menjadi ibu dan istri dianggap terlalu banyak maunya dan ambisius. Anggapan, mitos, wacana seperti inilah yang harus dibongkar, dipertanyakan, dikaji ulang.
Ungkapan “the problem that has no name” masih relevan hingga hari ini. Masalah ini tidak mendapat ruang eksistensi karena pemikiran yang masih mengakar: bahwa perempuan akan paling bahagia jika ia menjadi ibu dan istri, bukan yang lain.
Oleh karena itu, kita sendiri yang harus menciptakan ruang itu. Memberi nama pada persoalan yang tak memiliki nama, agar ia terdengar, didengar dan mendapat tempat. Menggoncang keadaan yang sudah mapan, memunculkan wacana yang selama ini terpinggirkan, menyuarakan apa yang selama ini tidak atau jarang disuarakan.
Bahwa kebahagiaan perempuan itu kembali pada diri masing-masing, bukan didikte oleh wacana patriarki.