Dalam masyarakat Batak, khususnya, Toba, tingkatan kegiatan-kegiatan adat maupun ritual budaya dapat dilihat dari binatang apa yang disembelih. Yang paling tinggi adalah kerbau, yang oleh masyarakat Batak Toba sering diistilahkan sebagai “Gajah Toba”.

Sosok kerbau dalam pemahaman budaya masyarakat Batak Toba, memiliki sejumlah simbol. Antara lain, kejayaan, kekuatan, kebenaran, kesabaran dan penangkal roh jahat. Tidak heran bila simbol-simbol kerbau ada dalam seni ukir dan aristektural Batak Toba, di mana pada ujung puncak atap rumah dihiasi dengan motif Ulu Paung (kepala raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau.

“Kalau kita lihat ada tanduk kerbau di satu rumah orang Batak Toba, itu menunjukkan bahwa mereka pernah melakukan kegiatan adat dalam skala besar. Misalnya pesta saurmatua,” jelas Robinson Simanjuntak, praktisi adat Batak kepada medanbisnidaily.com, di Naga Hall, Medan, Sabtu (17/2/2018).

Pesta saurmatua idealnya yang dipotong kerbau. Tapi sekarang tergantung kondisi ekonomi pihak yang menyelenggarakan.

Pesta saurmatua dalam masyarakat Batak Toba adalah upacara kematian bagi seseorang yang telah memiliki cucu dari semua anak dan borunya. Orang yang telah mencapai taraf itu dianggap telah “sangap” (berhasil) mendekati kesempurnaan.

Makanya, posisi tangan orang yang meninggal saurmatua itu telungkup. Itu artinya dia telah berhasil menunaikan tanggungjawabnya hidup di dunia ini. Karena bagi orang Batak Toba, adalah kebanggaan bila setidaknya ia bisa melihat dua generasi di bawahnya secara lengkap. Dalam arti keturunan dari anaknya dan keturunan dari boru (putrinya).

“Karenanya, kalau upacara saurmatua tidak boleh nangis-nangis. Karena itu pesta gembira. Yang dipotong pun kerbau,” tambah Robinson.

Robinson yang berprofesi sebagai raja parhata (juru bicara dalam ritual adat Batak), mengatakan, orang Batak Toba dulu tidak mengenal binatang babi. Tapi sejak Belanda masuk ke Tanah Batak, binatang ini malah yang jadi favorit.

“Dulunya itu (babi-red) binatang liar. Tidak dimakan. Tapi karena Belanda memakannya, orang Batak jadi ikut-ikutan,” sambungnya.

Kalau (daging babii) sekarang jadi populer itu karena situasi. Karena enggak semua orang bisa membeli kerbau. Harganya seekor mau sampai Rp 20 juta. Makanya babi itu dibilanglah kerbau pendek. Tapi tak semua orang Batak mau makan itu. “Orang Parmalim mengharamkan binatang itu,” ujarnya.

Dari sejumlah penelitian disebutkan bahwa hampir semua masyarakat tradisi di berbagai belahan dunia, menjadikan kerbau sebagai lambang budaya mereka. Hal itu dapat dilihat dari upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian.

Kerbau telah dikenal sebagai binatang peliharaan yang bisa dimakan sejak, perabadan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), China (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu).

Dalam bukunya The History of Sumatera, Williem Marsden menyebutkan bahwa kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermata pencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk.

Secara khusus di Sumatera Utara peninggalan arkeologis kerbau itu dapat dijumpai pada peninggalan- budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Salah satunya pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun. Karenanya bisa diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini.

source: gobatak