ADB mengatakan bahwa “sektor pertanian di Indonesia telah berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir.” Namun, masih banyaknya orang yang bekerja di sektor pertanian tradisional, di mana petani dibayar rendah dengan produktivitas hasil pertanian yang jauh dari maksimal, dinilai menjadi penyebab banyak orang di Indonesia menderita kelaparan.
“Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dalam hitungan generasi. Di tahun 2016-2018, sekitar 22 juta penduduk Indonesia menderita kelaparan,” papar laporan tersebut.
Berdasarkan laporan ini, angka penderita kelaparan diketahui menurun drastis jika dibandingkan dengan tahun 2000. Pada tahun 2000 ada lebih dari 42 juta penduduk Indonesia atau setara 20 persen dari total populasi Indonesia menderita kelaparan. Masih banyak upaya yang diperlukan untuk terus mengurangi angka penderita kelaparan tersebut.
Laporan bertajuk Policies to Support investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture development During 2020-2045 ini diterbitkan atas bekerja sama ADB dengan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Perhatikan kesejahteraan petani”
Kepada DW Indonesia, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa, mengatakan menurunnya angka penderita kelaparan berkorelasi dengan membaiknya indeks ketahanan pangan Indonesia, meskipun Andreas juga mempertanyakan dasar besaran angka yang dirilis laporan tersebut.
“Ekonomi Indonesia terus membaik. Coba kita lihat data Global Food Security Index (GFSI). Itu ‘kan nampak jelas bahwa food security index kita membaik dari sebelumnya peringkat 71 sekarang 65. Berarti nilai-nilai food security index ini meningkat semua. Kalau sampai ada 20 juta orang kelaparan pada periode itu kok saya sangat meragukan data yang mereka publikasi. Hitungannya bagaimana?” jelas Andreas.
Menurut Andreas, ada empat komponen yang berperan dalam meningkatnya ketahanan pangan di Indonesia. Komponen tersebut adalah ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, keamanan pangan serta ketahanan dan sumber daya alam.
Andreas mengatakan bahwa jika ekonomi membaik, masyarakat memiliki kapasitas yang meningkat dalam mengakses pangan karena daya beli mereka juga meningkat.
Lebih lanjut Andreas mengatakan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan petani.
“Sampai saat ini saya tidak melihat upaya atau suatu program yang keras dari pemerintah untuk mensejahterakan petani. Pemerintah terlalu fokus terhadap peningkatan produksi tetapi lupa kesejahteraan petani. Itu kunci terbesar,” jelasnya.
Baca juga: Belajar Teknologi Pangan dari Jerman
Saat ini Indonesia menduduki peringkat 65 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan pangan Global yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit tahun 2018 lalu. Ini menempatkan Indonesia di peringkat bawah di antara negara kawasan regional seperti Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 40), Thailand (peringkat 54), dan Vietnam (peringkat 62).
Walau masih yang terendah di antara negara ASEAN lainnya, Andreas menilai pemerintah terus melakukan upaya untuk mengatasi masalah ketahanan pangan ini. Salah satunya dengan meningkatkan anggaran untuk sektor pertanian dan pangan.
Pada kurun waktu 2015-2018 diketahui pemerintah memberikan angggaran mencapai Rp 409 triliun kepada Kementerian Pertanian, atau jika dirata-rata lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Impor pangan masih tinggi
Ia mencatat bahwa di tengah alokasi anggaran yang tinggi, indeks ketahanan pangan juga membaik.
Namun di sisi lain, total impor pertanian juga meningkat dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2014 total volume impor pangan Indonesia yang sebesar 19,4 juta ton meningkat menjadi 28,6 juta ton di tahun 2018, atau naik lebih dari 9 juta ton.
“Jadi anggaran naik drastis tapi problemnya bagaimana pengunaan anggaran tersebut,” ujar Andreas. Ia pun menegaskan agar pemerintah dapat merancang program dan kebijakan secara efektif agar anggaran yang begitu besar tidak jadi sia-sia karena impor justru meningkat, sementara produksi dalam negeri stagnan.
“Subsidi pupuk bagaimana? Bagi-bagi ayam? Bagi-bagi alsintan? Berapa persen sih sesungguhnya real yang kemudian masuk diterima petani kecil? Di balik itu semua ada suprastruktur yang belum terbenahi. Jadi apa pun yang kita lakukan seolah-olah membentur tembok dan tidak ada improvement yang kita harapkan,” pungkas Andreas sekaligus mengakhiri wawancara dengan DW Indonesia.
source: DW