Siapa sih yang tidak mengenal kampus Universitas Gadjah Mada? Kampus UGM yang terletak di Yogyakarta ini merupakan universitas pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah Indonesia merdeka. Kampus ini juga menjadi impian banyak pelajar untuk mengejar cita cita dan mengembangkan potensi diri.

Keterbatasan ekonomi bukanlah sebuah penghalang dalam mengejar pendidikan. Begitu juga dengan Dyah Utami Nugraheni (19), kemauan dan usaha keras dalam belajar menghantarkan anak penjual gorengan ini diterima kuliah di Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran UGM. Bahkan, selama menjalani kuliah nantinya dia dibebaskan dari biaya kuliah hingga usai dengan berbekal beasiswa bidikmisi.

Menjadi dokter memang telah menjadi cita-cita Dyah sejak kecil. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar diterima kuliah di jurusan yang diimpikannya, ia tak mampu menahan rasa gembira dan haru. Impiannya menjadi seorang dokter menjadi semakin dekat.

“Waktu dikabari kakak kalau diterima di FK UGM saya langsung berpelukan dengan ibu senang dan haru campur aduk jadi satu. Gak nyangka bisa diterima di jurusan favorit kebanyakan pelajar dengan persaingannya cukup ketat,” katanya saat ditemui di rumahnya di daerah Nyamplung Kidul, Balecatur, Gamping, Sleman, Senin (20/6).

Dyah mengungkapkan ketertarikannya menjadi dokter berawal dari kenyataaan di kampungnya masih minim dokter yang melayani masyarakat. Melihat kondisi itu ketika telah menjadi dokter ia ingin bisa kembali mengabdi di daerahnya dan melayani masyarakat setempat.

“Harapannya nantinya bisa menolong dan membantu saudara dan tetangga sekitar,” terangnya.

Terlahir dari keluarga sederhana menjadikan Dyah terbiasa untuh hidup prihatin. Meskipun begitu tidak menyurutkan semangatnya dalam belajar. Hal itu justru dijadikannya sebagai cambuk untuk lebih berprestasi di sekolah. Hasilnya pun tidak sia-sia, sejak bangku SD ia selalu menyandang juara kelas. Lalu di tingkat SMP dan SMA Dyah selalu masuk dalam 3 besar dikelasnya.

“Tidak ada kiat khusus, hanya belajar secara teratur saja disertai dengan doa,” kata alumnus SMA 1 Yogyakarta ini.

Sang ibu, Ngatinem (58) menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga sejak sang ayah meninggal dunia pada tahun 2007 silam. Sehari-hari ibunya bekerja serabutan sembari berjualan gorengan yang biasa ia titipkan ke tetangga untuk dijual di sebuah kantin sekolah. Penghasilan yang didapatpun setiap bulannya dari hasil tersebut tidak pernah lebih dari Rp500.000.

“Gak tentu kerjanya, kalau ada tetangga yang minta tolong baru kerja. Kalau tidak ada ya di rumah saja sambil buat gorengan untuk dijual ke kantin,” jelas Ngatinem

Beruntung, Ngatinem masih dibantu oleh kedua anaknya yang lain dan telah berkeluarga dalam membiaya hidup mereka sehari-hari. Meskipun keduanya bukanlah anak kandungnya (beda ibu) tetapi mereka tetap mendukungnya dan anak semata wayangnya itu dalam menjalani hidup.

“Saya tetap mendukung anak untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Alhamdulilah kakak-kakaknya turut mendukung,” jelasnya.

Ngatinem mengaku bangga puterinya bisa kuliah di jurusan yang dicita-citakan apalagi tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tidak banyak yang bisa di lakukannya, kecuali hanya memberikan semangat dan dukungan serta doa untuk keberhasilan kelak.

“Semoga apa yang diimpikan bisa tercapai, menjadi orang sukses dan bisa membantu masyarakat,” harapnya.

——

Sumber: Humas UGM/Ika ugm.ac.id