Pak Lambertus Nicodemus (Nico) Palar lahir pada 5 Juni 1900 di kota kecil Rurukan, Kabupaten Minahasa. Pak Lambertus Nicodemus juga dikenal sebagai Babe Palar, dikenal sebagai diplomator handal yang serba bisa dalam menegosiasikan pengakuan kedaultan dan kemerdekaan Indonesia diberbagai negara asing pada saat dunia masih kacau karena Perdang Dunia ke 2. Beliau mewakili Republik Indonesia dalam berbagai posisi diplomatik, terutama sebagai Perwakilan Indonesia pertama untuk PBB. . Dia juga memegang kedutaan besar di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat. Prestasi Pak Lambertus Nicodemus sangat luar biasa. Negeri semuda Indonesia dalam keadaan tanpa uang dan ekonomi yang kuat, sudah mampu untuk diakui kedaulatannya sehingga mengurungkan niat para negeri pemenang perang dunia kedua untuk menjajah negeri yang baru lahir pada saat itu.

Pak Lambertus Nicodemus merupakan putra Gerrit Palar dan Jacoba Lumanauw. Pak Lambertus Nicodemus Palar bersekolah di sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)) di Tondano. Dia pindah ke Jawa untuk menghadiri sekolah menengah (Belanda: Algeme (e) ne Middelbare School (AMS)) di Yogyakarta di mana dia tinggal bersama Pak Sam Ratulangi. Pada tahun 1922, Pak Lambertus Nicodemus Palar memulai studinya di Universitas Teknik (Belanda: Technische Hoogeschool) di Bandung, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (Bahasa Indonesia: Institut Teknologi Bandung (ITB)). Di sekolah ini, Pak Lambertus Nicodemus Palar berkenalan dengan nasionalis Indonesia seperti Sukarno. Penyakit parah memaksa Pak Lambertus Nicodemus Palar keluar dari sekolah dan kembali ke Minahasa. Pak Lambertus Nicodemus Palar akhirnya memulai lagi studinya di fakultas hukum (Belanda: Rechts Hoogeschool) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia bergabung dengan organisasi pemuda bernama Young Minahasa (Bahasa Indonesia: Jong Minahasa). Pada 1928, Pak Lambertus Nicodemus Palar kembali merantau ke Belanda.

Pada tahun 1930, Pak Lambertus Nicodemus Palar menjadi anggota Partai Buruh Sosial-Demokrat (Belanda: Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP)) tak lama setelah SDAP mengadakan Kongres Kolonial dan memberikan suara pada proposisi yang termasuk tanpa syarat mengakui hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda. Pak Lambertus Nicodemus Palar kemudian menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Federasi Serikat Buruh Belanda (Belanda: Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV)) mulai Oktober 1933.

Pak Lambertus Nicodemus juga direktur Pers bureau Indonesia (Persindo), yang diberi tugas mengirim artikel yang berkaitan dengan demokrasi sosial Belanda ke Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Pak Lambertus Nicodemus Palar kembali ke tanah airnya bersama istrinya, Johanna Petronella Volmers, yang dinikahinya pada tahun 1935. Ia melakukan perjalanan ke seluruh kepulauan besar Indonesia dan mengumpulkan informasi tentang perkembangan saat ini. Dia menemukan bahwa gerakan nasionalis Indonesia sangat hidup dan kembali ke Belanda menulis tentang pengalamannya.

Pak L.N. Palar (tengah) baru saja mendarat di airport kota Amsterdam Schiphol pada 25 April 1950.

Pak Lambertus Nicodemus Palar, yang berada di Belanda selama Perang Dunia II dan ikut serta dalam perlawanan terhadap pendudukan NAZI Jerman,

Setelah memenangkan kemerdekaan, Indonesia bergabung dengan PBB pada tahun 1950 sebagai anggota ke-60 dan Dr. Pak Lambertus Nicodemus Palar menjadi ketua delegasi. Pada tahun 1953, ia diangkat menjadi Duta Besar untuk India dan tiga tahun kemudian ditugaskan ke Kanada. Dia kembali ke PBB ketika Indonesia terlibat dalam pertikaian dengan Inggris dan Malaysia pada awal 1960-an.

Di tengah keributan perang kemerdekaan, ia menuduh Inggris melumpuhkan dorongan dekolonisasi Majelis Umum dengan menggunakan Malaysia sebagai negeri koloninya. Dikalangan diplomat internasional, ia dikenal sebagai musuh ‘Neokolonialisme’. Pak Lambertus Nicodemus Palar juga merupakan seorang juru bicara terkemuka untuk blok Afrika-Asia, berbicara menentang ” neokolonialisme, ” untuk zona netral dan nuklearfree dan sanksi kuat terhadap kebijakan ras Afrika Selatan.

Pada bulan Januari 1965, setelah Malaysia duduk di Dewan Keamanan, Presiden Sukarno dalam mewakili Indonesia mengecam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai ” alat imperialisme, ” dan Dr. Lambertus Nicodemus Palar menyampaikan catatan yang menginformasikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa Indonesia menarik diri, dan menjadi anggota PBB pertama yang berani melakukannya. Saat itulah ia diangkat menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat.

Pak Nico pindah ke kota New York Manhattan setelah Perang Dunia II untuk melobi Indonesia agar diakui kemerdekaanya. Kantor pusatnya berada di belakang toko bahan makanan di Lexington Avenue.

Pada tahun 1965, selama masa jabatannya, ada pemberontakan Komunis di Indonesia dan ia harus menolak laporan yang diterbitkan di sini bahwa Presiden Sukarno sendiri bersekutu dengan para pemberontak. Pada bulan September 1966 Dr. Palar sekali lagi membawa pesan ke PBB, yang menunjukkan keinginan Indonesia untuk melanjutkan keanggotaan penuh. Dia meninggalkan Washington akhir tahun itu, pensiun dari dinas pemerintahan dan bergabung menjadi peneliti dan tim pengajar di Pusat Studi Timur-Barat di Hawaii pada tahun yang sama.

Demikian juga dukungan Indonesia untuk tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa juga tegas. Pada saat diterima di Organisasi, Duta Besar Indonesia, Pak Lambertus N. Palar berpidato di hadapan Majelis Umum dan berterima kasih kepada teman-teman mancanegaranya karena telah memperjuangkan perjuangan Indonesia. Dia berjanji bahwa Indonesia akan memikul semua kewajiban dan tanggung jawab yang terkandung dalam keanggotaan itu. Dia juga berkomitmen Pemerintahnya untuk tujuan mewujudkan cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana tercantum dalam Piagam.

Tekad ini diwujudkan dalam partisipasi aktif Indonesia dalam isu-isu utama saat itu termasuk, antara lain, perjuangan melawan kolonialisme, apartheid, dan pemberantasan momok kemiskinan yang tidak manusiawi. Pengejaran tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip ini juga sebagian besar menggemakan kebijakan luar negeri Indonesia yang diucapkan oleh Wakil Presiden, Mohommed Hatta pada sesi Komisi Nasional Pusat pada 2 September 1948. Inti dari kebijakan ini mewakili posisi independen dan aktif atau, dalam kata Wakil Presiden, “Mendayung di antara Dua Karang”.

Selama 10 tahun terakhir hidupnya, ia berada di Jakarta bekerja untuk masalah konsultasi di bidang perdagangan dan teknik. Melayani di Parlemen setelah perang, ia berharap bisa menyatukan kembali hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda. Tetapi pada tahun 1947 ia kemudian pindah ke New York untuk memperdebatkan kasus dan hak republik Indonesia di hadapan Dewan Keamanan PBB.

Pak Lambertus Nicodemus Palar meninggal di Jakarta pada 13 Februari 1981. Istrinya, Johanna; dua anak perempuan, Mary Elizabeth Singh dari New Delhi dan Maesi Martowardojo dari Jakarta, seorang putra, Bintoar Palar dari New York, lima cucu dan seorang saudara perempuan, Non Sumual. Beliau kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional ditahun 2013.

———-
Sumber:
https://www.nytimes.com/1981/02/15/obituaries/lambertus-n-palar-dead-at-80-battled-for-indonesia-s-freedom.html