Anton De Kom lahir di Paramaribo, walaupun bapaknya Adolf De Kom yang seorang Budak, ia mampu giat belajar Dan mampu memperbaiki masadepannya dikemudian hari dan merantau ke Belanda. Ia lulus dari Sekolah Menengah, Kemudian Ia pindah ke Haiti selanjutnya ia pergi ke Belanda. Di Belanda ia aktif sebagai kritikus menentang Penjajahan, Diskriminasi dan ia bertemu bergabung dengan pelajar Indonesia yang berjiwa nasionalis. Ia menikah dengan Petronella Borsboom, warga negara Belanda dan di karuniai 4 anak. Anaknya Cees De Kom tinggal di Suriname.

Pada 13 Juli 1929, beberapa pemuda Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia terlihat berdiskusi serius di kafe Hollandaise, Den Haag. Mereka mencari solusi bagaimana kolonialisme Belanda atas Indonesia dapat diakhiri. Berdasarkan laporan dinas intelijen Belanda, sekitar 50 orang hadir dalam pertemuan tersebut. Tiga di antaranya orang Eropa. Tampak juga seorang Suriname mengikuti jalannya diskusi.

Dalam pertemuan itu Haji Agus Salim didaulat bicara. Dia membahas sejarah kolonialisme Belanda dan kondisi para budak pekerja paksa kuli pribumi Indonesia. Menjelang akhir diskusi, Agus Salim bertutur: “Alangkah lebih baik jika kalian dapat mengasah kemampuan berpolitik di sini (Belanda) supaya ketika kelak kalian kembali ke Indonesia, kalian akan lebih peka dalam melihat permasalahan bangsa,” ujar Agus Salim seperti dikutip dari Martijn Blekendaal dalam artikel berjudul Het gekleurde front van Hatta en De Kom.

Di akhir diskusi, seorang pemuda Anton De Kom yang berkulit gelap melontarkan pertanyaan kepada Agus Salim terkait isu kemerdekaan dua koloni Belanda lainnya, Suriname dan Curacao. “Seperti layaknya perjuangan kemerdekaan Indonesia, perjuangan di Hindia Barat juga harus diwujudkan melalui kerjasama dan dukungan internasional,” ujar Agus Salim.

Jawaban itu rupanya membekas di hati pemuda Suriname tadi. Dia adalah Anton de Kom, lengkapnya Cornelis Gerard Anton de Kom, lahir di Paramaribo, Suriname, 22 Februari 1898. Setelah pertemuan itu, Anton berharap agar Suriname dan Curacao dapat bekerjasama dengan Indonesia untuk melepaskan diri dari jerat kolonialisme Belanda.

Anton datang ke Belanda untuk kali pertama pada 1920. Berbeda dari kebanyakan pemuda Indonesia seperti Hatta yang datang ke Belanda untuk kuliah, Anton bekerja sebagai akuntan dan agen bisnis. Ketika tinggal di Belanda kesadaran politik Anton tumbuh semakin kuat. Latar belakang keluarganya sebagai budak yang dibesarkan dalam lingkungan miskin oleh keluarga Afro-Suriname di Frimangron, turut mengasah pemikiran kritis dan kepekaan sosialnya.

Cita-citanya untuk membebaskan Suriname membawanya kepada para pemuda Indonesia dari pelbagai latar belakang ideologi politik, mulai komunis sampai nasionalis. Dalam buku Links Richten tussen Partij en Arbeidersstrijd (Aliran Kiri di Antara Partai dan Perjuangan Kelas), sejak 1926 Anton terlibat aktif di organisasi sayap kiri di Belanda, seperti Links Richten (Arah Kiri), Liga tegen Imperialisme en voor Koloniale Onafhankelijkheid (Liga anti-Imperialisme dan Dukungan Kemerdekaan terhadap Koloni Belanda)), dan Communistische Partij Holland (Partai Komunis Belanda/CPH). Ketiga organisasi tersebut dikenal peduli pada nasib negara-negara koloni.

Selain pernah bertemu Agus Salim, Anton juga mendengar tentang bagaimana Hatta memimpin delegasi PI yang turut berpartisipasi dalam Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme. Kongres yang diselenggarakan pada 10-15 Februari 1927 di Brussels, Belgia itu dihadiri 140 organisasi dari 34 negara. Dalam kongres itu Hatta berhasil memasukkan beberapa butir pernyataan yang isinya menentang penjajahan Belanda di Indonesia ke dalam resolusi akhir.

Pada 1929 Anton menulis untuk majalah De Communistische Gids (The Communist Guide) yang dipimpin David Joseph Wijnkoop, mantan ketua Partai Komunis Belanda. Dia menggunakan nama pena ′Adek′ yang merupakan singkatan dari namanya sendiri. Di dalam tulisannya, Anton berupaya menunjukkan kepada pembaca bahwa posisi Suriname dan Curacao setara dengan Indonesia: sama-sama menderita akibat kolonialisme Belanda.

Di tahun yang sama Anton berbicara dalam kongres akbar ke-18 Partai Komunis Belanda. Dalam pidatonya, dia menyinggung keinginan Suriname untuk merdeka. Ia juga berbicara mengenai kesejahteraan penduduk Suriname, rasisme dan represi terhadap penduduk kulit berwarna di Suriname, dan kebutuhan untuk bekerjasama dengan Indonesia.

Kampanye Anton mulai menampakkan hasilnya. Suriname dan Curacao yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari parlemen Belanda (Tweede Kamer), mulai dibahas secara khusus. Pada Juli 1929, Tweede Kamer menggelar pertemuan dengan tajuk “Indonesia, Suriname, Curacao ingin segera merdeka sepenuhnya dari Belanda.”

Kembali ke Suriname

Pada Desember 1932 Anton pulang ke Suriname. Tujuan utamanya untuk menjenguk ibunya yang sakit keras namun tak pernah sempat dia temui karena keburu wafat. Kesempatan pulang itu dia gunakan untuk mengampanyekan pembebasan Suriname. Polisi kolonial di Suriname tak kalah tangkas. Mereka sudah lebih dulu pasang mata-telinga untuk mengawasi gerak gerik Anton.

Peter Meel dalam Anton De Kom and the Formative Phase of Surinamese Decolonization menulis kedatangan Anton ke Suriname menimbulkan kecemasan bagi pemerintah kolonial. Kekhawatiran terbukti ketika Anton menyebarkan pamflet di kawasan-kawasan strategis Suriname pada awal 1933. Dalam pamfletnya dia menyerukan tuntutan pembebasan nasional, pemerintahan yang merdeka, kebebasan mutlak berorganisasi dan berpendapat bagi para pekerja, sampai dengan mempromosikan emansipasi politik, ekonomi, dan budaya bagi kaum yang tertindas.

Ketika berada di negerinya, Anton mendirikan lembaga konsultasi dan informasi gratis untuk para pekerja di Suriname. Pertemuan antara Anton dan para pekerja kerap dilakukan di rumah orangtua Anton di Pontewerfstraat, Paramaribo. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja dari Jawa dan India yang berharap bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya. “Mereka menemukan harapan itu dalam sosok Anton,” tulis Peter Meel.

Klaus Breunissen dalam Ik Heb Suriname altijd Liefgehad: Het Leven van de Javaan Salikin Hardjo menyebut bahwa bagi para pekerja Jawa, sosok Anton diibaratkan sebagai titisan Gusti Amat, seorang pangeran yang pernah diasingkan oleh Belanda dari Jawa ke Ambon dan dipercaya datang ke Suriname untuk menyelamatkan kaumnya. Pekerja India bahkan melihat sosok Anton sebagai titisan Mahatma Gandhi.

Penangkapan Anton de Kom

Dalam waktu singkat, pengaruh Anton semakin meluas di Suriname. Tak ingin aksi Anton semakin mendapat dukungan besar dari rakyat, pada 1 Februari 1933 pemerintah kolonial Suriname melarang segala macam bentuk pertemuan di sekitar rumahnya. Anton protes keras dan menggugat gubernur. Polisi pun bersiap menangkapnya.

Dalam perjalanan menuju kantor gubernur, polisi memperdaya Anton dengan mengatakan gubernur sedang sakit dan tidak bisa ditemui. Sebagai gantinya, Anton ditawari bertemu jaksa agung guna mendiskusikan masalah pelarangan tersebut. Tapi polisi menyodorkan satu syarat: Anton harus datang sendiri tanpa diiringi pengikutnya. Tawaran disetujui. Namun alih-alih dibawa menemui jaksa agung, polisi langsung membawanya ke kantor polisi.

Massa yang mengetahui kemana Anton dibawa, segera bergerak menuju kantor polisi. Sebagian dari mereka adalah para pekerja Jawa yang bersimpati terhadap perjuangan Anton. Mereka menuntut Anton dibebaskan. Jaksa agung mengabaikan tuntutan tersebut dengan dalih Anton berencana menumbangkan pemerintah. Bentrokan antara polisi dan demonstran tak dapat dihindari. Dua orang demonstran terbunuh dan 23 lainnya luka-luka.

“Akibat kekacauan itu, pemerintah Suriname kemudian menerapkan undang-undang anti-revolusi, meningkatkan kualitas persenjataan polisi, dan membentuk barisan keamanan yang anggotanya diambil dari penduduk setempat,” tulis Peter Meel dalam bukunya.

Anton dijebloskan ke penjara selama 3,5 tahun atas tuduhan subversif. Pada 10 Mei 1933 dia dan keluarganya keluar dari Suriname dan kembali hidup di Belanda sebagai orang buangan politik. Dalam keadaan ekonomi yang morat-marit, Anton tak menghentikan kegiatan politiknya. Pada 1934 Anton menerbitkan karya monumentalnya yang berjudul Wij Slaven van Suriname (Kami Budak dari Suriname). Tulisan Anton itu menurut Martijn Blekendaal terinspirasi dari pidato pembelaan Hatta berjudul “Indonesia Merdeka” yang dibacakan Hatta di pengadilan Belanda pada 22 Maret 1928.

Anton juga terinspirasi karya Multatuli, Max Havelaar: Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda. Kepedulian Anton terhadap nasib kaum pekerja di Hindia Timur diwujudkan dengan mengajak rakyat Suriname untuk memperhatikan nasib para ‘kamerad’ mereka yang ada di Hindia Timur. Sebab bagi Anton de Kom, “…baik kelas pekerja di Hindia Barat maupun Hindia Timur, keduanya merupakan korban dari kolonialisme Belanda,” tulis Van Kempen dalam De Geest van Multatuli: Proteststemmen in Vroegere Europese Kolonien.

Anton memandang kaum-kaum tertindas dari berbagai macam suku bangsa, terutama Suriname, Hindustani, dan Jawa sebagai kaum proletar yang dikhianati oleh sistem. Oleh karenanya, menurut Anton, diperlukan sebuah organisasi dan kesatuan untuk melawan dan merubah sistem tersebut.

“Kami hanya ingin membuktikan satu hal: saudaraku kaum kulit berwarna, kamu adalah budak, dan kamu selamanya akan hidup dalam penderitaan dan kemiskinan bila kamu tidak percaya persatuan kaum proletar…Satu hal kunci yang saya pelajari ketika di luar negeri: organisasi. Mungkin suatu saat saya akan berhasil menghapus sekat-sekat kasta yang selama ini mengkotak-kotakkan kaum kulit berwarna. Namun tentu bukan suatu hal yang mustahil bagi kaum kulit hitam, Hindustani, Jawa, dan kaum pribumi untuk mengerti bahwa hanya solidaritaslah yang dapat menyatukan anak-anak Sranan,” tulis Anton dalam Wij Slaven van Suriname.

Bagi Sandew Hira dalam Van Priary tot en met De Kom: De Geschiedenis van het Herzet in Suriname, 1630-1940, Wij Slaven van Suriname tidak hanya menjadi simbol anti-kolonialisme semata, melainkan juga simbol perjuangan yang dilakukan oleh orang Suriname dan ditulis dari perspektif seorang Suriname. Tidak mengherankan bila Wij Slaven van Suriname menandai babak baru dalam penulisan sejarah Suriname.

Melawan Fasisme

Ketika Perang Dunia kedua, Anton bergabung dengan gerakan anti-fasis Belanda untuk melawan tentara Nazi Jerman yang menduduki Belanda sejak Mei 1940. Empat tahun berjuang melawan Nazi, membuatnya jadi buruan tentara Nazi. Pada 7 Agustus 1944, tentara Nazi berhasil menangkapnya dan mengirim Anton ke penjara Scheveningen. Bersama dengan tahanan lainnya, dia dipindahkan ke kamp konsentrasi Vught di bulan yang sama. Kemudian pada September 1944, Nazi memindahkannya lagi ke kamp Sachsenhaussen di Oranienburg, Jerman.

Kondisi kamp yang buruk dan kerja paksa selama masa penahanannya membuat kesehatan Anton semakin menurun. Dia didera penyakit tuberkolosis dan menyerah pada takdir batas nyawa, 24 April 1945. Anton meninggal di Kamp Sandbonstel, dekat Bremervorde (antara Bremen dan Hamburg). Jenazahnya dikuburkan di kuburan massal dan baru pada 1960 jasadnya dibawa ke Belanda dan dikuburkan di Nationaal Ereveld Loenen, Apeldoorn, Belanda.

Dalam catatan akhir buku Wij Slaven van Suriname, Anton sempat mengutarakan harapannya agar suatu saat dapat kembali lagi ke Suriname. “Sranan tanah kelahiranku. Suatu saat aku berharap untuk bertemu denganmu lagi. Bila hari itu tiba, seluruh kesedihan akan terhapus.” Namun Anton tak pernah sempat kembali ke Sranan, istilah kreol yang merujuk kepada Suriname.

Nama Anton De Kom kemudian diabadikan sebagai nama universitas nasional, mengantikan nama University of Suriname. Pada 24 April 2006, di kawasan Bijlmer, sebelah tenggara Amsterdam, pemerintah Belanda meresmikan patung Anton de Kom. Rakyat Suriname mengenang Anton sebagai pahlawan.

“Oleh kaum miskin Suriname, Anton justru dijuluki de zwarte messias van het Surinaamse proletariat (juruselamat hitam kaum proletar Suriname),” tulis Rene Zwaap dalam majalah De Groene Amsterdammer.

T