Negara kerajaan memang warisan masalalu yang menjadi identitas sebuah bangsa. Pemerintah Jepang mengumumkan pada bulan Desember 2017 bahwa kaisar Jepang Akihito akan turun tahta pada 30 April 2019 (大日本帝國 Dai Nippon Teikoku) dan digantikan oleh putranya. Di Eropa, raja Spanyol yang dahulu Juan Carlos I pun digantikan dengan putranya, Felipe (Philip) VI. Di Indonesia sendiri kita memiliki provinsi DI. Yogyakarata yang memiliki sistem pemerintahan kesultanan Yogyakarta dengan posisi setaraf gubernur namun berpengaruh layaknya raja. Sedangkan di Malaysia, negeri ini sebenarnya kumpulan kerajaan yang bersifat seperti provinsi dan gubernur di Indonesia tetapi pemilihan pemimpin Raja utama (yang dipertuan agong) ditentukan seperti sistem arisan dan kesepakatan bersama setiap raja wilayah.
Di tempat lain di dunia, monarki masih membuat berita dan membentuk peristiwa unik seperti tetangga kita Thailand, negara gunung seperti Bhutan, Belgia, Maroko, Jordania dan Arab Saudi. Bagi dunia moderen, nampaknya negara kerajaan atau monarki seperti menjadi peninggalan kuno yang usang, yang pada akhirnya harus memberi jalan bagi republik. Apakah benar demikian? Lalu mengapa negara kerajaan saat ini malah lebih kaya dan sukses?
Negara-negara yang memiliki raja atau ratu sebagai kepala negara memang terbukti secara rata-rata lebih makmur, layak kredit perbankan dan memiliki neraca ekonomi yang lebih kuat daripada republik. Bahkan ada negara republik yang perlahan menggeser sistem demokrasi tersistem dan teratur melalui pemilu seperti Republik menjadi bentuk kerajaan. Negara Republik rakyat China atau PRC pun sebenarnya lebih mirip kerajaan karena hanya satu partai yang memerintah dan penetapan undang-undang PRC yang menyatakan pemimpin negara tidak lagi memiliki batas waktu periode memimpin.
Kedaulatan negara kerajaan atau monarki memiliki peringkat kredit investasi rata-rata ‘A-‘ menurut laporan baru dari salah satu lembaga pemeringkat terbesar, Standard & Poors, yang menilai 129 negara, 39 di antaranya memiliki penguasa monarki. Sebenarnya ada beberapa keuntungan dalam memiliki bentuk negara monarki pada abad ke-21:
Pertama, seperti yang dikatakan Serge Schmemann di The New York Times, raja dapat naik menguasai dan mengontrol di atas politik dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh kepala negara pilihan manapun. Raja mewakili seluruh negeri berdasarkan garis keturunan maupun sistem pemilu internal kalangan keluarga kerajaan seperti negara Arab Saudi, sedangkan sistem republik wajib melalui pemilu yang sangat mahal dan dilakukan dengan periode 4 atau 5 tahun sekali. Sehingga pilihan untuk posisi politik tertinggi dalam monarki tidak dapat dipengaruhi dan tidak bergantung pada besarnya uang masuk, media, atau partai politik.
Kedua dan terkait erat dengan poin sebelumnya disaat posisi politik yang rusuh dan sulit, negara-negara yang faktanya seperti Thailand, keberadaan seorang raja seringkali merupakan satu-satunya hal yang menahan negara itu dari perang saudara. Monarki juga sangat penting di negara-negara multietnis seperti Belgia karena institusi monarki menyatukan kelompok etnis yang beragam dan sering bermusuhan namun memiliki kesetiaan bersama kepada raja dan bukan ke kelompok etnis atau suku tertentu. Dinasti monarki Habsburg menyatukan sebuah wilayah negara besar dan makmur yang bisa saja cepat berubah menjadi hampir selusin negara tanpa kekuatan identitas raja.
Raja dan sejarah keluarganya bisa mempersatukan rakyat dan menjadi identitas bangsa. Jika restorasi mantan raja Afghanistan, Zahir Shah, yang dihormati oleh semua warga Afghanistan yang beragam suku, dilalui setelah penggulingan Taliban pada tahun 2001, mungkin Afghanistan akan lebih cepat bangkit dari keterpurukan persaingan antara berbagai suku dan panglima perangnya. Contoh lain; pidato kaisar Jepang di radio dan blusukannya berkeliling Jepang sanggup mencegah tentara dan rakyat Jepang yang siap untuk bunuh diri massal setelah dibom nulir oleh Amerika serikat.
Ketiga, monarki mencegah munculnya bentuk-bentuk pemerintahan ekstrim di negara-negara mereka dengan memperbaiki bentuk pemerintahan. Semua pemimpin politik harus melayani sebagai perdana menteri atau menteri dari penguasa. Bahkan jika kekuasaan yang sebenarnya ada pada orang-orang ini, keberadaan seorang raja membuat sulit untuk mengubah secara radikal atau total politik suatu negara. Kehadiran raja-raja di Kamboja, Yordania, dan Maroko menahan kecenderungan terburuk dan ekstrim dari para pemimpin atau faksi politik di negara mereka. Monarki juga menstabilkan negara-negara dengan mendorong perubahan yang lambat dan bertahap alih-alih perubahan ekstrim dalam sifat rezim-rezim. Monarki negara-negara Arab telah membangun masyarakat yang jauh lebih stabil daripada negara-negara Arab non-monarkis, banyak di antaranya telah melalui pergeseran seismik antar negara dan konflik perang selama ini.
Keempat, monarki memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk membuat keputusan terakhir yang sulit, dan perlu – keputusan yang tidak dapat dibuat oleh orang lain. Misalnya, Juan Carlos dari Spanyol secara pribadi memastikan transisi negaranya ke monarki konstitusional dengan lembaga-lembaga parlemen dan menghentikan kudeta militer yang dicoba. Pada akhir Perang Dunia Kedua, Kaisar Jepang Hirohito menentang keinginan panglima militernya untuk terus berperang. Kaisar Hirohito pun akhirnya mampu menyelamatkan banyak nyawa orang-orang Jepang dengan mengadvokasi penyerahan Jepang pada Amerika dan sekutunya.
Kelima, monarki adalah simbol kelestarian tradisi pribumi dan kesinambungan di zaman yang selalu berubah. Mereka mengingatkan sebuah negara tentang identitas sejarah apa yang diwakilinya dan dari mana asal manusianya, fakta-fakta yang sering dapat dilupakan dalam arus politik yang berubah dengan cepat. Bahkan ada anggapan bahwa sekuat apapun korupsi yang dilakukan oleh pemimpin raja pribumi ini, dia tidak akan bisa terlepas dari asal muasal kerajaannya. Keluarga kerajaan memang terlahir dalam kekayaan dan bisa dipastikan rasa rakus ingin kaya sendiri mungkin sudah tidak dimilki lagi.
Akhirnya, bentuk kerajaan monarki sebenarnya dapat melayani kepala negara dengan cara yang lebih demokratis dan beragam daripada politik demokratis yang sebenarnya. Karena siapa pun, tanpa memandang kepribadian, latar-belakang suku atau minat mereka, bisa karena kebetulan terlahir menjadi raja, semua jenis orang dapat menjadi penguasa dalam sistem semacam itu. Dengan demikian, kepala negara dapat membantu mengingatkan, mengawasi dan membangkitkan arah pemerintahan dalam isu-isu dan topik-topik sesuai dengan kepentingan nasional. Politisi di sisi lain, cenderung memiliki kepentingan perut sendiri dan kepribadian tertentu – mereka umumnya ekstrovert, dapat membuat atau mengumpulkan uang, dan memiliki kecenderungan untuk menjadi calo atau setidaknya secara publik memegang pandangan umum yang telah ditentukan sebelumnya. Kehadiran seorang raja sebagai simbol bangsa dan kepala negara memiliki profil psikologis yang berbeda dari seorang politisi yang rakus sehingga dapat mengayomi rakyat banyak. Di DI. Yogyakarta hal seperti ini pun terjadi.
Sebagian besar kritik monarki tidak berlaku lagi hari ini, jika itu berlaku. Kritik ini biasanya beberapa variasi dari dua ide. Pertama, raja dapat menggunakan kekuasaan absolut secara sewenang-wenang tanpa semacam pengawasan, dengan demikian berkuasa sebagai seorang tirani yang lalim. Namun, di era sekarang, sebagian besar kerajaan memerintah dalam semacam kerangka konstitusional atau tradisional yang membatasi dan melembagakan kekuasaan mereka. Bahkan sebelum ini, raja menghadapi kendala yang signifikan dari berbagai kelompok termasuk lembaga agama, aristokrasi, orang kaya, dan bahkan rakyat jelata. Tradisi kerajaan ini selalu membentuk interaksi sosial, juga berfungsi untuk menahan. Bahkan monarki yang mutlak dalam teori hampir selalu terkendala dalam praktik.
Kritik kedua adalah bahwa bahkan raja yang baik pun mungkin memiliki pengganti yang tidak layak. Namun, ahli waris kerajaan apapun hari ini sudah dididik sejak lahir untuk peran masa depan mereka dan hidup dalam sorotan penuh media sepanjang hidup mereka. Ini membatasi perilaku buruk. Lebih penting lagi, karena mereka benar-benar dilahirkan untuk berkuasa, mereka memiliki pelatihan langsung yang terus-menerus tentang cara berinteraksi dengan orang, politisi, dan media. Hal ini sangat berbeda dengan politisi yang sebagian besar berlatar belakang orang partai, preman, mafia maupun pengusaha.
Mengingat semua keunggulan monarki, jelaslah mengapa banyak warga negara demokrasi saat ini memiliki rasa ingin tahu tentang negara kerajaan monarki. Seperti pada abad-abad sebelumnya, monarki akan terus menunjukkan diri sebagai institusi politik yang penting dan menguntungkan di mana pun pasti tetap bertahan.
Sumber: