Masyarakat etnis Tionghoa di Jakarta telah lama mengenal permainan judi. Permainan judi pada era Jakarta masih Bernama Batavia itu dinamakan capjiki. Untuk bermain capjiki, orang hanya memilih satu dari 12 gambar yang tertera di warung penyedia permainan itu. Pemenangnya akan diketahui setiap malam atau besok paginya.

Judi capjiki juga diminati masyarakat dari etnis lain karena mudah dan murah. Selain capjiki, ada judi serupa yang dikenal dengan nama sikia. Permainan ini menawarkan hadiah lebih besar dibandingkan capjiki. Dalam buku Pasar Gambir, Komik Cina, & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an karya Zeffry Alkatiri, capjiki dan sikia disebut sebagai judi ilegal.

Selain dua permainan itu, di kalangan masyarakat China Betawi juga masih dikenal judi angkong yang mirip capjiki. Sementara judi yang dilegalkan Pemerintah Hindia Belanda kurang diminati orang. Izin judi untuk masyarakat Tionghoa Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan Kapitan China membuka beberapa tempat judi di bilangan dalam dan luar Benteng Kota sejak 1620-an. Izin diberikan karena pemerintah melihat animo masyarakat Batavia yang menyukai judi, terlebih dari kalangan etnis Tionghoa.

Pemerintah pun membidik pendapatan pajak dari permainan judi itu. Kala itu, ada dua jenis judi di kalangan masyarakat China, yakni judi kartu dan judi dadu atau Po. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengenalkan judi lotere pada pertengahan abad ke-19. Pada waktu itu, pemerintah memberikan izin dan memungut pajak judi lotere.

Namun, tak semua orang bisa ikut bermain lotere karena harus memasang uang taruhan yang besar. Masyarakat berpenghasilan terbatas lebih suka memasang taruhan pada capjiki atau sikia yang lebih murah. Setelah kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, ketika kondisi ekonomi belum pulih tahun 1960-1970-an, judi marak kembali.

Di Jakarta, muncul permainan judi hua huwe yang mirip capjiki dan sikia, hanya saja ada penambahan gambar sampai 24 buah. Judi hua huwe marak di kampung-kampung. Namun, judi hua huwe akhirnya dilarang karena banyak orang yang kalah judi ini menjadi gila. Melihat peluang judi, pemerintah pun membuat Nalo, Lotto, dan Oto Fair, istilah untuk sumbangan olahraga berupa undian.

Di Jakarta Fair, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengizinkan permainan judi kim, model judi orang Minang. Setiap permainan diiringi oleh band yang memainkan lagu-lagu pop Minang. Tempat judi Kim di Jakarta Fair saling berderetan sehingga memekakkan telinga. Sekitar tahun 1970-an, Bang Ali, sapaan karib Ali Sadikin, mengizinkan judi yang dianggap mendatangkan pajak besar untuk pembangunan kota Jakarta.

Di antaranya permainan greyhound (balap anjing) di Senayan dan Pacuan Kuda Pulo Mas. Ada juga beberapa tempat judi yang tersebar di daerah Kota-Glodok. Pemainan hailai, permainan bola ketangkasan yang dimainkan orang Spanyol dengan penyiduk dari rotan, dibuka di Ancol.

Kebijakan Bang Ali melegalkan judi ditentang para ulama. Tetapi, proyek judi era Bang Ali jalan terus. Tahun 1970-an akhir, Pemda DKI mengizinkan rumah judi untuk permainan kasino, bingo, jackpot, dan pacinko dari Las Vegas. Tempat-tempat judi itu bermunculan di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Melihat keuntungan yang bisa diraup, pemerintah pusat ikut membuat judi legal, seperti porkas, undian harapan, dan sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB). Selain yang legal, judi ilegal tetap marak di sebagian pasar tradisional dan trotoar Jakarta. Bentuknya judi pasangan, dadu batok atau dadu koprok dengan batok dan koba. Ketika perekonomian kembali lemah, masyarakat ke kembali melirik judi. Sekitar pertengahan sampai akhir 1990-an, di Jakarta, mewabah demam judi togel (toto gelap) yang mirip hua huwe.

Hampir setiap warung menyediakan sarapan togel. Berbagai ruko yang tersebar di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, menyediakan berbagai permainan judi ketangkasan bagi para peminatnya. Perlu diingat, judi apapun bentuk dan namanya tidak akan membuat anda menjadi kaya raya apabila anda memainkannya. Ayo, dapatkan informasi menarik lainnya dari indonesiar.com.