Menyusul gejolak politik dengan AS dan kebangkitan Cina, Australia kembali melirik ASEAN untuk membangun poros politik baru. Prospek kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan regional adalah salah satu alasannya.
Ketika Donald Trump giat menebar aroma perceraian dengan sekutu lama Amerika Serikat dan Cina mulai menunjukkan taring di Asia Timur, Australia mendapati diri dalam nostalgia Perang Dunia II.
Saat itu jiran di selatan sedang terdesak oleh ekspansi Jepang di Asia Tenggara. Tapi Inggris yang harusnya melindungi malah kewalahan menghadapi gempuran Jerman di Eropa. Dalam kondisi terdesak Perdana Menteri John Curtin menulis sebuah editorial di Melbourne Herald. Dia menyuarakan haluan politik baru dengan “memutuskan hubungan tradisional dengan Inggris dan menatap ke arah Amerika Serikat.”
Lebih dari 75 tahun kemudian Canberra kembali sibuk mencari poros baru dan menaruh harap pada ASEAN.
mempertimbangkan gagasan untuk bergabung dengan ASEAN sebagai anggota penuh. Kini wacana tersebut kembali diangkat menjelang pertemuan KTT ASEAN di Sydney. Kota di pesisir selatan Samudera Pasifik itu mencatat sejarah karena untuk pertamakalinya pemimpin Asia Tenggara bertemu di negeri kangguru.
Uniknya keanggotaan Australia di ASEAN justru mendapat dukungan dari jiran yang paling sering terlibat konflik dengan Canberra, yakni Indonesia. Saat diwawancara harian The Sydney Morning Herald (SMH), Presiden Joko Widodo menyebut gagasan tersebut sebagai “ide yang bagus.” Dia mengisyaratkan dukungan agar Australia lebih banyak terlibat dalam isu pertahanan dan ekonomi di ASEAN.
“Karena kawasan ini akan menjadi lebih baik, dalam hal stabilitas ekonomi dan politik. Jadi tentu pasti lebih baik,” dalihnya.
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull tidak kalah girang. “Saya ingin membahasnya jika Presiden Jokowi mengangkat isu ini. Kami menunggu undangan,” kata dia kepada SMH.
Turnbull mengundang Jokowi secara ekslusif dalam jamuan makam malam di kediaman pribadinya.
Hubungan kedua negara cepat menghangat setelah insiden penghinaan Pancasila oleh oknum militer Australia beberapa bulan silam. Jokowi menilai undangan pribadi itu membuktikan Indonesia dan Australia “saling berbagi rasa hormat yang besar satu sama lain.” Namun begitu dia tidak meyakini usulan tersebut akan mendapat dukungan dari sisa negara anggota ASEAN.
Wacana keanggotaan Australia di ASEAN digagas bekas PM Paul Keating dalam pidatonya di penghujung 2012. Ia berdalih kemunduran Inggris dan petualangan militer AS di Vietnam dan Teluk yang ikut menyeret Australia memaksa Canberra mencari alternatif baru. “Saya ingin mengajak Australia mengikuti bangsa yang besar dan tua di timur.”
Menurutnya Australia harus keluar dari bayang-bayang AS dan “berkonsentrasi pada kawasan, di mana kita bisa membuat perbedaan. Saya sangat yakin itu adalah Asia Tenggara.”
“ASEAN merepresentasikan arsitektur keamanan di Asia Tenggara. Bersama mereka kita bisa membangun dialog yang substansial dan dalam jangka panjang kita harus menjadi anggotanya. ASEAN adalah rumah alami buat Australia,” kata Keating.
Keating mengacu pada kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan regional. Lembaga Konsultan, McKinsey, saat itu baru membuat studi yang memprediksi kekuatan ekonomi Indonesia pada 2030 akan melebih Inggris dan Jerman.
“Bagaimana perasaan kita hidup bersama adidaya ekonomi di utara, sebuah negara kepulauan yang bakal dihuni oleh 300 juta manusia? Dan negara yang mungkin akan memiliki kekuatan laut dan udara yang sepadan dengan bobot perekonomiannya?”
“Indonesia sedang membangun pondasi untuk bisa berdiri sendiri, baik secara militer atau ekonomi, dan akan melawan siapapun yang menghadang, entah itu dari Laut Cina Selatan atau Samudera Hindia,” imbuhnya. “Pertanyaanya adalah apa artinya kebangkitan Indoensia buat kita? Musuh atau mitra yang saling berbagi kepentingan bersama di kawasan dan dunia?”
Tidak heran jika Keating lalu menyambut dukungan Jokowi terkait keanggotaan Australia di ASEAN. “Saya sangat bersyukur,” ujarnya. “Dengan pernyataannya itu Jokowi menegaskan keyakinan saya bahwa Indonesia adalah mitra terbesar kami dan sangat penting buat Australia.”
source: DW